Oleh : Syafieh, M. Fil. I
A. PENDAHULUAN
Akhir abad XIX atau memasuki abad XX di Amerika berkembang sebuah aliran filsafat yang begitu besar dampaknya bagi perkembangan negara tersebut sehingga mengubah cara pandang rakyat Amerika salah satunya di bidang pendidikan yang disebut pragmatisme. Tokoh pragmatisme pertama adalah Charles Sander Peirce kemudian diikuti oleh William James kemudian terakhir adalah John.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi diterimanya asal bermanfaat. Rasionalitas dalam pragmatisme telah direduksi menjadi yang berguna, yang bermanfaat, atau yang berfungsi.
Secara teoritis, gerakan pragmatisme berawal dari upaya formulasi yang dilakukan oleh Charles Sanders Peirce , meskipun kemudian pragmatisme dikembangkan oleh William James . Secara metodologis, pragmatisme akhirnya berhasil diserap oleh bidang-bidang kehidupan sehari-hari Amerika Serikat berkat kerja keras John Dewey. Dewey memusatkan perhatiaanya pada masalah-masalah yang menyangkut etika, pemikiran sosial dan pendidikan. Memang ada begitu banyak pandangan-pandangan para filsuf yang berhubungan dengan bidang pragmatisme ini, akan tetapi ketiga tokoh di atas yang populer dan banyak dibicarakan dalam pengembangan pragmatisme. Peirce dipandang sebagai penggagas pragmatisme, James sebagai pengembangnya dan Dewey sebagai orang yang menerapkan pragmatisme dalam pelbagai bidang kehidupan.
Makalah ini membahas tentang epistemologi pragmatisme dari John Dewey di mana tokoh yang terakhir dalam aliran pragmatisme ini lebih suka menyebut pragmatisme dengan istilah instrumentalisme yang pemikirannya terpengaruh oleh pendahulunya yaitu Hegel, Darwin, dan James.
B. PENGERTIAN DAN SEJARAH FILSAFAT PRAGMATISME
Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 – 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works ( apabila teori dapat diaplikasikan), sehingga pertanyaan yang muncul bukanlah what is tetapi what for. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme.
Istilah pragamatisme sebenarnya diambil oleh Charles S. Pierce dari Immanuel Kant. Kant sendiri memberi nama "keyakinan-keyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana yang merupakan suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu”. Manusia memiliki keyakinan-keyakinan yang berguna tetapi hanya bersifat kemungkinan belaka, sebagaimana dimiliki oleh seorang dokter yang memberi resep untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Tetapi Kant baru melihat bahwa keyakinan-keyakinan pragmatis atau berguna seperti itu dapat di terapkan misalnya dalam penggunaan obat atau semacamnya.
Pragmatisme sebagai suatu gerakan dalam filsafat lahir pada akhir abad ke-19 di Amerika. Karena itu sering dikatakan bahwa pragmatisme merupakan sumbangan yang paling orisinal dari pemikiran Amerika terhadap perkembangan filsafat dunia. Pragmatisme dilahirkan dengan tujuan untuk menjebatani dua kecenderungan berbeda yang ada pada saat itu. Kedua kecenderungan yang mau dijembatani itu yakni, pertantangan yang terjadi antara “yang spekulatif” dan “yang praksis”. Tradisi pemikiran yang spekulatif bersumber dari warisan filsafat rasionalistik Descartes dan berkembang melalui idealisme kritis dari Kant, idealisme absolut Hegel serta sejumlah pemikir rasionalistik lainnya.
Warisan ini memberikan kepada rasio manusia kedudukan yang terhormat kerena memiliki kekuatan instrinsik yang besar. Warisan ini pulalah yang telah mendorong para filsuf dan ilmuwan-ilmuwan membangun teori-teori yang mengunakan daya nalar spekulatif rasio untuk mengerti dan menjelaskan alam semesta. Akan tetapi, di pihak lain ada juga warisan pemikiran yang hanya begitu menekankan pentingnya pemikiran yang bersifat praksis semata (empirisme). Bagi kelompok ini, kerja rasio tidak terlalu ditekankan sehingga rasio kehilangan tempatnya. Rasio kehilangan kreativitasnya sebagai instrumen khas manusiawi yang mampu membentuk pemikiran dan mengarahkan sejarah. Hasil dari model pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu terapan. Termasuk di dalamnya yakni Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Menurut teori klasik tentang kebenaran, dikenal dua posisi yang berbeda, yakni teori korespondensi dan teori koherensi. Teori korespondensi menekankan persesuaian antara si pengamat dengan apa yang diamati sehingga kebenaran yang ditemukan adalah kebenaran empiris. Sedangkan teori koherensi menekankan pada peneguhan terhadap ide-ide apriori atau kebenaran logis, yakni jika proposisi-proposisi yang diajukan koheren satu sama lain.
Secara filosofis, pragmatisme berusaha untuk menjebatani dua aliran filsafat tradisional ini. Atas salah satu cara, pragmatisme menyetujui apa yang menjadi keunggulan dari empirisme. William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme.
Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909). Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno.
Melihat apa yang ingin dijembatani ini, pragmatisme mengangkat nilai-nilai positif yang ada pada kedua tradisi tersebut. Prinsip yang dipegang kaum pragmatis yakni: tidaklah penting bahwa saya menerima teori ini atau itu; yang penting ialah apakah saya memiliki suatu teori atau nilai yang dapat berfungsi dalam tindakan.
Karena itulah pragmatisme diartikan sebagai suatu filsafat tentang tindakan. Itu berarti bahwa pragmatisme bukan merupakan suatu sistem filosofis yang siap pakai yang sekaligus memberikan jawaban terakhir atas masalah-masa1ah filosofis. Pragmatisme hanya berusaha menentukan konsekwensi praktis dari masa1ah-masalah itu, bukan memberikan jawaban final atas masa1ah-masalah itu.
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut sama-sama dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial. Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James.
Kekhususan filsafatnya terutama berdasarkan pada prinsip “naturalisme empiris atau empirisme naturalis”. Istilah “naturalisme” ia terangkan sebagai pertama-tama bagi Dewey akal budi bukanlah satu-satunya pemerosesan istimewa dari realitas obyektip secara metafisis. Pokoknya Dewey menolak untuk merumuskan realitas berdasar pada pangkalan perbedaan antara subyek yang memandang obyek. Dewey lebih mau memandang proses intelektual manusia sebagaimana berkembang dari alam.
Menurut Dewey, akal budi adalah perwujudan proses tanggap antara rangsangan dengan tanggapan panca indera pada tingkat biologis. Rangsangan tersebut aslinya dari alam, manusia mula-mula bertindak menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Setelah refleksinya bekerja, ia mulai berhenti dan tidak mau hanya asal beraksi saja terhadap lingkungan. Mulailah ia mempertanyakan lingkungan alam itu. Selama itu pulalah proses tanggapan berlangsung terus. Berkat proses ini, terwujud adanya perubahan dalam lingkungan. Dewey menyebut situasi tempat manusia hidup sebagai situasi problematis. Cara manusia bertindak dalam situasi problematis ini tidak hanya fisik belaka tetapi juga kultural. Maka bila seseorang dalam menghadapi situasi problematis dan terdorong untuk berpikir dan mengatasi soal di dalamnya, pertimbangan moral ia buat sebagai rencana untuk memungkinkan tindakannya, walaupun akal budi sudah mengarah ke tindakan, tindakan itu sendiri belum muncul. Baru setelah orang bertindak dalam situasi problematisnya, tindakannya benar-benar mewujud.
`Dari dasar di atas, Dewey mempunyai gagasan tentang sifat naturalistis sebagai “perkembangan terus-menerus hubungan organisme dengan lingkungannya”. Dari pandangan tersebut bisalah kita menggolongkan Dewey sebagai seorang empiris karena ia bertitik tolak dari pengalaman dan kembali kepengalaman. Si subyek bergumul dengan situasi problematika yang real empiris dan memecahkannya sedapat mungkin sehingga menghasilkan perubahan-perubahan. Pengalaman sendiri boleh dikatakan sebagai transaksi proses “doing dan undergoing”, suatu hubungan aktif antara organisme dengan lingkungannya. Dewey tidak membedakan antara subyek dengan obyek, antara tindak dengan benda material.
John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragmatisme James. Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal abad ini. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak menggunakan pendekatan biologis
Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman.
C. JOHN DEWEY: RIWAYAT HIDUP DAN KARYANYA
1. Riwayat Hidup John Dewey
John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika, teoretikus, reformator pendidikan dan kritikus sosial yang lahir di Burlington, Vermont dalam tahun 1859, tepatnya pada tanggal 20 Oktober. Dewey kecil adalah seorang yang gemar membaca namun tidak menjadi seorang siswa yang brilian di antara teman-temannya ketika itu. Ia masuk ke Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884 ia meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut. Di universitas terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang menggagas munculnya pragmatisme. Disinilah beliau bersentuhan dengan filsafat pragmatism.
Walaupun demikian, pengaruh terbesar datang dari guru dan sahabatnya George Sylvester Morris, seorang idealis yang sangat bersemangat mengajarkan filsafat Hegel sehingga Dewey pun menjadi pengikut filsafat idealisme tersebut. Setelah menyelesaikan doktornya, pada tahun 1884 hingga 1886, beliau mengajar filsafat dan psikologi di Universitas Michigan atas undangan Morris. Dari tahun 1884 samai 1888, Dewey mengajar pada Universitas Michigan dalam bidang filsafat.
Tahun 1889 ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat. Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894, dimana ia pindah ke Universitas Chicago yang membawa banyak pengaruh pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan sekolah di kemudian hari. Salah satu keberatan Dewey terhadap program dan metode pendidikan saat itu adalah bahwa mereka gagal memperhitungkan penemuan psikologi tentang aktivitas belajar. Di Universitas Chicago beliau menjabat sebagai kepala departemen filsafat, psikologi dan pedagogi. Ia berpaling dari filsafat Hegel ke teori yang meyakini bahwa pengalaman sehari-hari dan pengalaman ilmiah menyiapkan landasan penting bagi realitas maupun pemikiran. William James kemudian memproklamirkan Chicago University yang berada di bawah pengaruh Dewey, sebagai mazhab filsafat yang baru.
Masa di Chicago mungkin adalah masa keemasannya. Di sinilah Dewey menjadi terkenal dalam bidang pendidikan. Sedemikian kuat ketertarikannya pada bidang ini sampai-sampai ia menegaskan bahwa semua filsafat adalah filsafat pendidikan. Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan pemecahan masalah. Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme yang telah mempengaruhi sejak pertemuan dengan Morris. Jadi selain menekuni pendidikan, ia juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika.
Pengalaman Dewey tidak hanya berhenti sampai di Universitas Chicago. Karena bertentangan dengan rektor mengenai manajemen pembiayaan departemen pendidikan, Dewey meninggalkan Chicago dan hijrah ke Universitas Columbia di New York. Terakhir ia berkarya sebagai dosen di Universitas Colombia dalam tahun 1904. Di universitas ini, Dewey berkarya sebagai seorang profesor filsafat sampai ia pensiun pada tahun 1929. Setelah pindah ke New York, Dewey kerapkali menulis di berbagai media massa antara lain the New Republic. Beliau juga terlibat dalam berbagai organisasi seperti the American Civil Liberties Union di mana dia adalah pendiri dan ketuanya; dan Asosiasi Professor Universitas Amerika sebagai pendiri dan presiden pertamanya.
Dalam periode ini, Dewey banyak mengadakan perjalanan antara lain ke negara-negara Eropa serta Jepang, Cina, Meksiko, dan Rusia. Di Jepang, misalnya, ia memberikan kuliah-kuliah dalam bentuk ceramah yang kemudian akan menjadi dasar pengembangan filsafat rekunstruksinya. Dalam tahun 1924, ia juga berkunjug ke Turky untuk mengadakan rekunstruksi terhadap sistem pendidikan yang dijalankan di sana. Hal yang sama juga dilakukan dalam kunjugannya ke Meksiko dan Rusia dalam tahun 1928.
Sejak ia berhenti dari universitas Colombia, ia aktif dalam pengembangan filsafat dan melanjutkan karya-karya dokrinnya. Dengan pelbagai usaha dan kerja yang dilakukannya selama masih bekerja di universitas-universitas maupun setelah itu, ia kemudian dikenal sebagai seorang yang mengembangkan filsafat secara baru di Amerika. Pemikirannya banyak mempengaruhi perkembangan filsafat, politik, pendidikan, religiusitas dan kesenian di Amerika.
Pada November 1951 tulang pinggulnya patah dan gagal disambung kembali dengan baik. Pada 1 Juni 1952 Dewey wafat akibat pneumonia meninggalkan 6 orang anak kandung dan 2 orang anak angkat. Beliau adalah tokoh yang sangat dihormati semasa hidupnya dilihat dari banyaknya undangan ceramah yang datang dari bebagai negara dan bangsa.
2. Karya-Karya John Dewey
Sudah sedikit disinggung di atas bahwa karya-karya Dewey banyak mempengaruhi corak berpikir Amerika. Pengaruh ini juga banyak berasal dari buku-buku atau karya-karya yang dihasilkannya. Bukunya yang pertama yakni Psychology yang diterbitkan dalam tahun 1891. Dalam tahun 1891, bukunya Outlines of a Critica Theory of Etics diterbitkan. Tiga tahun kemudian, 1894, terbit lagi The Study Of Etics: A Syllabus. Ketika ia berkarya di Universitas Chicago, berturut-turut ia menerbitkan My Pedagogic Creed (1897), The School and Society (1903), dan Logical Conditions of a Scientific Treatment of Morality (1903). Ia juga banyak menghasilkan uku-buku ketika berada di Universitas Colombia seperti Ethics (1908), How We Think (1910), The Influence of Darwin and Other Essays in Contemporary Thought (1910), School of Tomorrow (1915), Democraty and Education (1916), Essays in Experimental Logic (1916), Recunstruction in Philosophy (1920), Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), The Quest for Certainty (1929), Art as Experience (1934), A Common Faith (1934), Experience and Education (1938), Logic: The Theory of Inquiry (1938), Theory of Valuation (1939), Education Today (1940), Problem of Men (1946), dan Knowing and The Known (1949).
Nampak jelas dari tulisan-tulisan Dewey bahwa ia menaruh minat besar pada bidang logika, metafisika dan teori pengatahuan. Tetapi perhatian Dewey di bidang pragmatisme terutama dicurahkan pada realitas sosial daripada kehidupan individual. Hal ini nampak dalam tema-tema bukunya: pendidikan, demokrasi, etika, agama, dan seni.
D. KONSEP DEWEY TENTANG PENGALAMAN DAN PIKIRAN
Konsep kunci dalam filsafat Dewey adalah pengalaman. Pengalaman (Experience) adalah salah satu kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat Dewey adalah “mengenai” (about) dan “untuk” (For) pengalaman sehari-hari. Pengalaman adalah keseluruhan drama manusia dan mencakup segala proses “ saling memengaruhi” (take and give) antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Dewey menolak orang yang mencoba menganggap rendah pengalaman manusia atau menolak untuk percaya bahwa seseorang telah berbuat demikian. Dewey mengatakan bahwa pengalaman bukannya suatu tabir yang menutupi menusia sehingga tidak melihat alam. Pengalaman adalah satu-satunya jalan bagi manusia untuk memasuki rahasia-rahasia alam.
Bagi Dewey, pengalaman sebagai suatu yang bersifat personal dan dinamis adalah satu kesatuan yang mengultimatumkan suatu interelasi. Tidak ada pengalaman yang bergerak secara terpisah dan semua pengalaman itu memainkan suatu kompleksitas sistem yang organik. Menurutnya, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan menuju pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera dan kita dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan pada dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam dunia kita. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang terkandung di dalamnya pemisahan subyek dan obyek, pemisahan antara pelaku dan sarananya. Di dalam pengalaman itu keduanya bukan dipisahkan, tetapi dipersatukan. Apa yang dialami tidak dipisahkan dari yang mengalaminya sebagai satu hal yang penting atau yang berarti. Jikalau terdapat pemisahan di antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman, melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran, itulah yang menyusun sasaran pengetahuan. Atas dasar ini pula, Dewey merumuskan tujuan filsafat sebagai memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tidak bermanfaat. Dalam konteks ini, filsafat digunakan sebagai dasar dan fungsi sosial.
Pokok pandangan ini muncul sebagai kritiknya atas pokok dari filsafat jaman sebelumnya yang mengemukakan pandangan tentang realitas dan fungsi pengetahuan yang membingungkannya. Menurutnya, kaum empiris telah beranggapan bahwa pikiran selalu menunjuk pada obyek-obyek dari alam, dan bahwa setiap ide selalu berhubungan dengan suatu realitas. Dengan kata lain, pengetahuan seakan-akan dibentuk setelah subyek berhadapan dengan atau memandang sesuatu di luar dirinya. Inilah yang disebut “a spectator theory of knowledge”. Menurut teori ini, subyek pengetahuan bertindak bagaikan seorang penonton yang hanya dengan memandang sudah mendapatkan ide tentang obyeknya. Inilah pandangan kaum rasionalis. Menurut pandangan ini, rasio merupakan suatu instrumen untuk memperhatikan apa yang tetap dan pasti pada alam. Alam dan rasio adalah dua hal yang terpisah dan berbeda.
Dewey beranggapan bahwa baik apa yang dikembangkan oleh kaum empiris maupun kaum rasionalis terlalu statis di satu pihak dan terlampau mekanistik di lain pihak. Atas pengaruh Hegelian, Dewey mengakui bahwa antara manusia dan lingkungan alamiahnya terdapat dialektika yang konfliknya “terselesaikan” dalam pengalaman. Hal ini disebabkan karena setiap pengalaman adalah kekuatan yang berdaya guna. Maksudnya, pengalaman merupakan pertemuan antara manusia dengan lingkungan alam yang mengitarinya dan itu membawa manusia pada pemahaman yang baru. Pengalaman juga bersifat dinamis karena lingkungan juga bercorak dinamis. Inteligensi pada hakikatnya merupakan kekuatan yang dimiliki manusia untuk menghadapi lingkungan hidup yang terserap dalam pengalamannya. Dalam konteks ini, berpikir adalah suatu aktivitas inteligensi yang lahir karena adanya pengalaman manusia dan bukan suatu akivitas yang terisolasi dalam pikiran semata.
Berdasarkan pendangannya tentang hubungan pengalaman dan corak berpikir di atas, Dewey membagi aspek pemikiran dalam dua aspek. Pada mulanya aspek pimikiran selalu berada dalam a) situasi yang membingkungkan dan tidak jelas, b) situsi yang jelas di mana masalah-masalah terpecahkan. Menurutnya, aktivitas berpikir selalu merupakan sarana untuk memecahkan masalah-masalah. Hal ini mengandaikan bahwa aktivitas inteligensi lebih luas dari sekedar aktivitas kognitif, yaitu meliputi keinginan–keinginan yang muncul dalam diri subyek ketika berhadapan dengan kesekitarannya. Inilah yang disebut Dewey teori instrumentalia tentang pengetahuan. Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Teori ini juga yang mendorongnya untuk menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme daripada disebut sebagai pragmatisme.
Dunia yang ada sekarang ini, yakni dunia pria dan wanita, dunia sawah dan pabrik, dunia tumbuhan dan binatang, dunia yang kita hiruk pikuk dan bangsa-bangsa yang berjuang, adalah dunia pengalaman kita. Kita harus berusaha memakainya dan kemudian berusaha membentuk suatu masyarakat diamana setiap orang dapat hidup dalam kemerdekaan dan kecerdasan.
Dalam perjalanan pengalaman seseorang, pikiran selalu muncul untuk memberikan arti dari sejumlah situasi-situasi yang terganggu oleh pekerjaan diluar hipotesis atau membimbing kepada perbuatan yang akan dilakukan. Kata Dewey, kegunaan kerja pikiran tidak lain hanya merupakan cara jalan untuk melayani kehidupan. Makanya, ia dengan kerasnya menuntut untuk menggunakan metode ilmu alam (Scientific Method) bagi semua lapangan pikiran, terutama dalam menilai persoalan akhlak(etika), estetika, politik dan lain-lain. Dengan demikian, cara penilaian bisa berubah dan bisa disesuaikan dengan lingkungan dan ebutuhan hidup.
Menurut Dewey yang dimaksud dengan Scientific Method ialah cara yang dipakai oleh seseorang sehingga bisa melampaui segi pemikiran semata-mata pada segi amalan. Dengan demikian, suatu pikiran bisa diajukan sebagai pemecahan suatu kesulitan (to solve problematic situation), dan kalau berhasil maka pikiran itu benar.
Dengan demikian, pengalaman merupakan salah satu kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman tidak akan bisa terlepas, karena pengalaman berintegrasi dengan alam dan kehidupan manusia. Pengalaman tidak bisa kita lupakan karena, pengalaman bisa menjadi tolak ukur kita untuk melangkah ke depan dengan lebih baik. Pandangan John Dewey dalam pemikiran dan pengalaman ada istilah yang disebut instrumental. Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai to conceive of both knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in experienced existence. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Teori ini juga yang mendorongnya untuk menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme daripada disebut sebagai pragmatisme.
E. KONSEP DEWEY TENTANG MANUSIA DAN LINGKUNGAN SOSIALNYA
Padangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk, akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia manurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangannya juga turut didukung oleh masyArakat yang ada di sekitarnya.
Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sangat fleksibel. Fleksibilitasnya tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan Dewey di sini sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologis manusia atau kodrat manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial kesekitaran manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi kesekitaran, itu disebabkan karena “kebiasaan”, cara seseorang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan kesekitarannya.
Dewey juga berbicara tentang kejahatan (evil) manusia. Kejahatan bukanlah sesuatu yang tidak dapat dirubah. Sebaliknya, kejahatan merupakan hasil dari cara tertentu manusia yang dibentuk dan dikondisikan oleh budaya. Oleh karena itu, syarat mutlak untuk mengatasi kejahatan adalah mengubah kebiasaan-kebiasaan masyarakat, yaitu kebiasaannya dalam berpikir dan bereaksi terhadap kesekitaran.
F. KONSEP DEWEY TENTANG DEMOKRASI DAN PENDIDIKAN
Dewey memandang bahwa tipe dari pragmatismenya diasumsikan sebagai sesuatu yang mempunyai jangkauan aplikasi dalam masyrakat. Pendidikan dipandang sebagai wahana yang strategis dan sentral dalam upaya kelangsungan hidup dimasa depan. Pendidikan nasional Amerika, Menurut Dewey, hanya mengajarkan muatan-muatan yang sudah usang (out of date) dan hanya mengulang-ngulang sesuatu yang sudah lampau, yang sebenarnya tidak layak lagi diajarkan kepada anak didik. Pendidikan yang demikian hanya mengebiri intelektualitas anak didik. Dalam bukunya Democracy and Education (1961), Dewey menawarkan suatu konsep pendidikan yang adaptif and progresif bagi perkembangan masa depan.
“Dewey elaborated upon his teory that school reflect the community and be patterned after it so that when children graduate from school they will be properly adjusted to asumse their place in sociaty.”
Kutiapan diatas dapat dipahami secara bebas bahwa pendidikan harus mampu membekali anak didik sesuai dengan kebutuhan yang ada pada lingkungan sosialnya. Sehingga, apabila anak didik telah lulus dari lembaga sekolah, ia bisa beradaptasi dengan masyarakat.
Untuk merealisasikan konsep tersebut, Dewey menawarkan dua metode pendekatan dalam pengajaran. Pertama, problem solving method. Dengan metode ini anak dihadapkan pada berbagai situasi dan masalah-masalah yang menantang, dan anak didik diberi kebebasam sepenuhnya. untuk memecahkan suatu maslah-masalah tersebut sesuai dengan perkembangan kemampuannya. Dalam proses belajar mengajar model ini guru bukan hanya satu-satunya sumber, bahka kedudukan seorang guru hanya membantu siswa dalam memecahkan kesulitan yang dihadainya. Dengan metode semacam ini, dengan sendirinya pola lama yang hanya mengandalkan guru sebagai satu-satunya pusat informasi (metode pedagogy) diambil alih kedudukan oleh metode andragogy yang lebih menghargai perbedaan individu anak didik. Kedua, learning by doing, konsep ini diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan dalam masyarakat. Supaya anak didik bisa eksis dalam masyarakat bila telah selesai menyelesaikan pendidikannya. Maka, mereka dibekali keterampilan-keterampilan prkatis sesuai dengan kebutuhan masyarakat sosialnya.
Dari uraian diatas dapat saya simpulkan bahwa pendidikan progresif menurut John Dewey dalah pendidikan yang mampu membekali peserta didik agar bisa menyesuaikan, berpartisipasi maupun eksis dalam masyarakat. John Dewey menawarkan 2 metode pendekatan dalam pengajaran dengan cara problem solving method dan learning by doing. Metode problem solving method lebih menekankan tantangan dan kebebasan kepada peserta didik, dan guru bukan satu-stunya yang menjadi sumber. Metode learning by doing peserta didik dituntut agar dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Selain dituntut, peserta didik juga dibekali beberapa materi atau keterampilan agar mereka ketika keluar atau lulus dari sekolahnya dapat menyesuaikan dengan lingkungannya maupun masyarakatnya.
Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya pengormatan pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang. Gagasan ini juga bertolak dari gagasannya tentang perkembangan seperti yang sudah di bahas sebelumnya. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama, dan membangun kembali yang baru. Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, daripada mengisisnya secara sarat dengan formulasi-formulasi secara sarat teoretis yang tertib. Pendidikan harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang bertolak dan merupakan kontuinitas dari refleksi atas pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak didik. Dengan demikian, belajar dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dalam proses ini, ada perjuangan terus-menerus untuk membentuk teori dalam konteks eksperimen dan pemikiran.
Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokrtatis adalah dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia menyatakan bahwa ide pokok demokrasi adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perlunya partisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur kehidupan bersama. Ia menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis dalam bentuk aturan sosial politik. Dari pernyataan ini, bagi Dewey demokrasi bukan sekedar menyangkut suatu bentuk kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demokrasi berarti setiap orang mengalami kebebasannya untuk berkreasi dan mengungkapkan pengalaman humanitasnya dalam partisipasi bersama. Untuk tujuan ini, maka sekolah menjadi medium yang mengungkapkan bagaimana hidup dalam suatu komunitas yang demokratis. Dewey selalu mengatakan bahwa sekolah merupakan suatu kelompok sosial yang kecil (minoritas); yang menggambarkan atau menjadi cerminan dari kelompok sosial yang lebih besar (mayoritas). Ia menegaskan bahwa sosialisasi nilai-nilai demokratis harus dilaksanakan oleh sekolah yang demokratis. Dan ini diusahakan antara lain dengan menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam lingkungan pendidikan. Ia dengan secara tidak langsung menyatakan bahwa kebebsan akademik diperlukan guna mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpu pada interaksi dan kerjasama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu sama lain; berpikir kreatif menemukan solusi atas problem yang dihadapi bersama, dan bekerjasama untuk merencanakan dan melaksanakan solusi. Secara implisit hal ini berarti sekolah yang demokratis harus mendorong dan memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, merencanakan kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut.
G. PROBLEM ESTETIKA
Penedekatan Dewey pada seni berbeda dengan para Idealis. Dia tidak prihatin dengan segala usaha untuk menemukan suatu yang lebih dahulu sebagai standar yang indah dalam analisa para genius . Maksud utama dari seni ini adalah memberikan suatu ilmu sosiologi dan penjelasan empiris dari setiap subyek. Seni tidak berakhir dalam pencarian lewat diri sendiri. Itu dibuat dengan fungsi untuk menjadikan suatu kehidupan indah. Kekeliruan teori dari estetika yang klasik adalah pembagian antara seni dan ilmu, antara seni dan moral.
Dalam pendidikan seni, pengaruh Dewey telah masuk didalamnya. Dia membiarkan partisipasi ilmu lain pada seni untuk dipelajari oleh para pelajar.
Pada zaman Dewey, terdapat reaksi yang bertentangan dengan semangat yang ada dalam seni. Banyak kritik yang diberikan terhadap konsep seni pada abad pertengahan dan zaman renessance. Paham industrialis memunculkan kembali apa yang terjadi pada zaman klasik dimana moral dan seni disatukan.
Dewey lebih percaya para ahli seni tidak hanya berada dalam sekolah-sekolah dan museum tetapi berada juga di pabrik dan di rumah-rumah. Dengan cara ini hal pokok dari seni adalah berkehendak menemukan apa yang menjadi bagian dari harian hidup manusia.
H. ANALISIS KRITIS KEKUATAN DAN KELEMAHAN PRAGMATISME
Didalam aliran pragmatisme terdapat kekuatan maupun kelemahannya. Kekuatan dan kelemahannya sebagai berikut:
1. Kekuatan Pragmatisme
a. Kemunculan pragmatisme sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer, khususnya di Amerika Serikat, telah membawa kemajuan-kemajuanyan yang pesat baik dalam pengetahuan maupun teknologi. Pragmatisme telah berhasil “membumikan” dari corak yang bersifat Tender Minded yang cenderung berfikir metafisi, idealis, abstrak, intelektualis, dan cenderung berfikir hal-hal yang memikirkan atas kenyataan, matrealis, dan didasrkan atas kebutuhan-kebutuhan disini(dunia), bukan nanti diakhirat. Dengan demikian, filsfat pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekadar mempercayai(belief) pada hal-hal yang sifatnya rill, indrawi, dan yang manfaatnya bisa dinikmati secara praktis-pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.
b. Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir yang liberal, bebas dan selalu menyangsikan segala yang ada. Berangkat dari sifat skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong dan memberi semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan suatu konsep melalui penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian, dan eksperimen-eksperimen sejingga muncullah temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan dibidang sosial dan ekonomi.
c. Sesuai dengan coraknya yang “sekuler”, pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu kepercayaan dapat diterima apabila terbukti kebenaranya lewat pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya sesuatu yang sakral dan mitos. Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatism merupakan pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia, dan gerak-gerakan progresif dalam masyarakat modern.
2. Kelemahan Pragmatisme
a. Karena pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran absolut (kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara ilmiah, dan percaya bahwa dunia ini mampu “dibikin” manusia sendiri, secra tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang trensendental. Kemudian pada perkembangan lanjut, pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam upaya mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada sikap Ateisme.
b. Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, dan langsung dapat dinikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptakan pola pikir masyarakat yang materealis. Manusia berusaha secra keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ruhanyah, maka dalam otak masyarakat pragmatisme telah dihinggapi oleh penyakit materealisme.
c. Untuk mencapai tujuan materealisme, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa memperdulikan lagi bahwa dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal waktu hanya sekadar memenuhi kebutuhan materinya, maka dalam struktur masyarakatnya manusia hidup semakin egois individualis. Dari sini, masyarakat pragmatisme menderita penyakit humanisme.
Dengan demikian, bahwa di Negara Amerika serikat atau seluruh dunia yang menganut paham filsafat John Dewey dan William James kebanyakan mengarah kearah materealis, ateis, dan dehumanis.Paham pragmatisme mendewakan akal. Padahal akal itu terbatas, maka hal inilah yang tidak disadari oleh pakar ilmuan barat, pada hakikatnya yang dilakuakn manusia pasti ada campur tangan tuhan.
I. PENUTUP
Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis, epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu dilihat dalam rangka konsekuansi praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam hidup manusia. Dan konsekuensi praktis yang berguna dan memuaskan manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi.
Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi, melainkan langsung mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkret.
Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku, yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis. Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak yang muluk-muluk, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuansi praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.
Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat.
Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang.
Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.
Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian yang tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan terhadap yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Armin, Adi, Richard Rorty, (Jakarta:Teraju, 2003)
Abdullah, Muhammad, Makalah Pragmatisme: Sebuah Tinjauan Sejarah Intelektual Amerika.
Dewey, John, Experience and Education, terj. Ireine V. Pontoh, (Indonesia Publishing, 2009)
Dewey, John, Experience and Education, dalam “Great Book of Western World” (USA: Encyclopedia Britanica Inc, 1996)
Hadwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat ( Yogyakarta: Kanisius, 1994)
Hanafi, A. Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981)
Maksum, Ali, Pengantar Filsafat , Cetakan Keenam, ( Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012)
Mayer, Frederick, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951)
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu Positivisme, Postpositivisme, PostModernisme, (Yogyakarta: 2001)
Richard J. Bernstein, Dewey John, dalam “The Encyclopedia of Philosophy.
Samuel, E. Stumpf, Philosophy: History and Problems, third edition (New York: McGraw-Hill Book Company, 1983)
Sahakian, William. S. History Of Phylosophy,(New York: Baner and Boble, 1986)
Stroh, W. Guy, American Philosophy, ( Princenton: Duven Nostrand Company, Inc h, 1968)
Titus, Harold H. Persoalan-Persoalan Filsafat, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
Ohoitimur, J. Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer (Pineleng: Traktat Kuliah, 2003)
Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civikl Society, (Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2001)
A. PENDAHULUAN
Akhir abad XIX atau memasuki abad XX di Amerika berkembang sebuah aliran filsafat yang begitu besar dampaknya bagi perkembangan negara tersebut sehingga mengubah cara pandang rakyat Amerika salah satunya di bidang pendidikan yang disebut pragmatisme. Tokoh pragmatisme pertama adalah Charles Sander Peirce kemudian diikuti oleh William James kemudian terakhir adalah John.
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi diterimanya asal bermanfaat. Rasionalitas dalam pragmatisme telah direduksi menjadi yang berguna, yang bermanfaat, atau yang berfungsi.
Secara teoritis, gerakan pragmatisme berawal dari upaya formulasi yang dilakukan oleh Charles Sanders Peirce , meskipun kemudian pragmatisme dikembangkan oleh William James . Secara metodologis, pragmatisme akhirnya berhasil diserap oleh bidang-bidang kehidupan sehari-hari Amerika Serikat berkat kerja keras John Dewey. Dewey memusatkan perhatiaanya pada masalah-masalah yang menyangkut etika, pemikiran sosial dan pendidikan. Memang ada begitu banyak pandangan-pandangan para filsuf yang berhubungan dengan bidang pragmatisme ini, akan tetapi ketiga tokoh di atas yang populer dan banyak dibicarakan dalam pengembangan pragmatisme. Peirce dipandang sebagai penggagas pragmatisme, James sebagai pengembangnya dan Dewey sebagai orang yang menerapkan pragmatisme dalam pelbagai bidang kehidupan.
Makalah ini membahas tentang epistemologi pragmatisme dari John Dewey di mana tokoh yang terakhir dalam aliran pragmatisme ini lebih suka menyebut pragmatisme dengan istilah instrumentalisme yang pemikirannya terpengaruh oleh pendahulunya yaitu Hegel, Darwin, dan James.
B. PENGERTIAN DAN SEJARAH FILSAFAT PRAGMATISME
Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 – 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works ( apabila teori dapat diaplikasikan), sehingga pertanyaan yang muncul bukanlah what is tetapi what for. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme.
Istilah pragamatisme sebenarnya diambil oleh Charles S. Pierce dari Immanuel Kant. Kant sendiri memberi nama "keyakinan-keyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu sarana yang merupakan suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu”. Manusia memiliki keyakinan-keyakinan yang berguna tetapi hanya bersifat kemungkinan belaka, sebagaimana dimiliki oleh seorang dokter yang memberi resep untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Tetapi Kant baru melihat bahwa keyakinan-keyakinan pragmatis atau berguna seperti itu dapat di terapkan misalnya dalam penggunaan obat atau semacamnya.
Pragmatisme sebagai suatu gerakan dalam filsafat lahir pada akhir abad ke-19 di Amerika. Karena itu sering dikatakan bahwa pragmatisme merupakan sumbangan yang paling orisinal dari pemikiran Amerika terhadap perkembangan filsafat dunia. Pragmatisme dilahirkan dengan tujuan untuk menjebatani dua kecenderungan berbeda yang ada pada saat itu. Kedua kecenderungan yang mau dijembatani itu yakni, pertantangan yang terjadi antara “yang spekulatif” dan “yang praksis”. Tradisi pemikiran yang spekulatif bersumber dari warisan filsafat rasionalistik Descartes dan berkembang melalui idealisme kritis dari Kant, idealisme absolut Hegel serta sejumlah pemikir rasionalistik lainnya.
Warisan ini memberikan kepada rasio manusia kedudukan yang terhormat kerena memiliki kekuatan instrinsik yang besar. Warisan ini pulalah yang telah mendorong para filsuf dan ilmuwan-ilmuwan membangun teori-teori yang mengunakan daya nalar spekulatif rasio untuk mengerti dan menjelaskan alam semesta. Akan tetapi, di pihak lain ada juga warisan pemikiran yang hanya begitu menekankan pentingnya pemikiran yang bersifat praksis semata (empirisme). Bagi kelompok ini, kerja rasio tidak terlalu ditekankan sehingga rasio kehilangan tempatnya. Rasio kehilangan kreativitasnya sebagai instrumen khas manusiawi yang mampu membentuk pemikiran dan mengarahkan sejarah. Hasil dari model pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu terapan. Termasuk di dalamnya yakni Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Menurut teori klasik tentang kebenaran, dikenal dua posisi yang berbeda, yakni teori korespondensi dan teori koherensi. Teori korespondensi menekankan persesuaian antara si pengamat dengan apa yang diamati sehingga kebenaran yang ditemukan adalah kebenaran empiris. Sedangkan teori koherensi menekankan pada peneguhan terhadap ide-ide apriori atau kebenaran logis, yakni jika proposisi-proposisi yang diajukan koheren satu sama lain.
Secara filosofis, pragmatisme berusaha untuk menjebatani dua aliran filsafat tradisional ini. Atas salah satu cara, pragmatisme menyetujui apa yang menjadi keunggulan dari empirisme. William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704). Pragmatisme telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme.
Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909). Pada awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme akhirnya berkembang menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani kuno.
Melihat apa yang ingin dijembatani ini, pragmatisme mengangkat nilai-nilai positif yang ada pada kedua tradisi tersebut. Prinsip yang dipegang kaum pragmatis yakni: tidaklah penting bahwa saya menerima teori ini atau itu; yang penting ialah apakah saya memiliki suatu teori atau nilai yang dapat berfungsi dalam tindakan.
Karena itulah pragmatisme diartikan sebagai suatu filsafat tentang tindakan. Itu berarti bahwa pragmatisme bukan merupakan suatu sistem filosofis yang siap pakai yang sekaligus memberikan jawaban terakhir atas masalah-masa1ah filosofis. Pragmatisme hanya berusaha menentukan konsekwensi praktis dari masa1ah-masalah itu, bukan memberikan jawaban final atas masa1ah-masalah itu.
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut sama-sama dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial. Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James.
Kekhususan filsafatnya terutama berdasarkan pada prinsip “naturalisme empiris atau empirisme naturalis”. Istilah “naturalisme” ia terangkan sebagai pertama-tama bagi Dewey akal budi bukanlah satu-satunya pemerosesan istimewa dari realitas obyektip secara metafisis. Pokoknya Dewey menolak untuk merumuskan realitas berdasar pada pangkalan perbedaan antara subyek yang memandang obyek. Dewey lebih mau memandang proses intelektual manusia sebagaimana berkembang dari alam.
Menurut Dewey, akal budi adalah perwujudan proses tanggap antara rangsangan dengan tanggapan panca indera pada tingkat biologis. Rangsangan tersebut aslinya dari alam, manusia mula-mula bertindak menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Setelah refleksinya bekerja, ia mulai berhenti dan tidak mau hanya asal beraksi saja terhadap lingkungan. Mulailah ia mempertanyakan lingkungan alam itu. Selama itu pulalah proses tanggapan berlangsung terus. Berkat proses ini, terwujud adanya perubahan dalam lingkungan. Dewey menyebut situasi tempat manusia hidup sebagai situasi problematis. Cara manusia bertindak dalam situasi problematis ini tidak hanya fisik belaka tetapi juga kultural. Maka bila seseorang dalam menghadapi situasi problematis dan terdorong untuk berpikir dan mengatasi soal di dalamnya, pertimbangan moral ia buat sebagai rencana untuk memungkinkan tindakannya, walaupun akal budi sudah mengarah ke tindakan, tindakan itu sendiri belum muncul. Baru setelah orang bertindak dalam situasi problematisnya, tindakannya benar-benar mewujud.
`Dari dasar di atas, Dewey mempunyai gagasan tentang sifat naturalistis sebagai “perkembangan terus-menerus hubungan organisme dengan lingkungannya”. Dari pandangan tersebut bisalah kita menggolongkan Dewey sebagai seorang empiris karena ia bertitik tolak dari pengalaman dan kembali kepengalaman. Si subyek bergumul dengan situasi problematika yang real empiris dan memecahkannya sedapat mungkin sehingga menghasilkan perubahan-perubahan. Pengalaman sendiri boleh dikatakan sebagai transaksi proses “doing dan undergoing”, suatu hubungan aktif antara organisme dengan lingkungannya. Dewey tidak membedakan antara subyek dengan obyek, antara tindak dengan benda material.
John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragmatisme James. Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk memecahkan masalah-masalah individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam rangka mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang timbul di awal abad ini. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan psikologis, berbeda dengan James yang tidak menggunakan pendekatan biologis
Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman.
C. JOHN DEWEY: RIWAYAT HIDUP DAN KARYANYA
1. Riwayat Hidup John Dewey
John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika, teoretikus, reformator pendidikan dan kritikus sosial yang lahir di Burlington, Vermont dalam tahun 1859, tepatnya pada tanggal 20 Oktober. Dewey kecil adalah seorang yang gemar membaca namun tidak menjadi seorang siswa yang brilian di antara teman-temannya ketika itu. Ia masuk ke Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884 ia meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut. Di universitas terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang menggagas munculnya pragmatisme. Disinilah beliau bersentuhan dengan filsafat pragmatism.
Walaupun demikian, pengaruh terbesar datang dari guru dan sahabatnya George Sylvester Morris, seorang idealis yang sangat bersemangat mengajarkan filsafat Hegel sehingga Dewey pun menjadi pengikut filsafat idealisme tersebut. Setelah menyelesaikan doktornya, pada tahun 1884 hingga 1886, beliau mengajar filsafat dan psikologi di Universitas Michigan atas undangan Morris. Dari tahun 1884 samai 1888, Dewey mengajar pada Universitas Michigan dalam bidang filsafat.
Tahun 1889 ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat. Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894, dimana ia pindah ke Universitas Chicago yang membawa banyak pengaruh pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan sekolah di kemudian hari. Salah satu keberatan Dewey terhadap program dan metode pendidikan saat itu adalah bahwa mereka gagal memperhitungkan penemuan psikologi tentang aktivitas belajar. Di Universitas Chicago beliau menjabat sebagai kepala departemen filsafat, psikologi dan pedagogi. Ia berpaling dari filsafat Hegel ke teori yang meyakini bahwa pengalaman sehari-hari dan pengalaman ilmiah menyiapkan landasan penting bagi realitas maupun pemikiran. William James kemudian memproklamirkan Chicago University yang berada di bawah pengaruh Dewey, sebagai mazhab filsafat yang baru.
Masa di Chicago mungkin adalah masa keemasannya. Di sinilah Dewey menjadi terkenal dalam bidang pendidikan. Sedemikian kuat ketertarikannya pada bidang ini sampai-sampai ia menegaskan bahwa semua filsafat adalah filsafat pendidikan. Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan pemecahan masalah. Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme yang telah mempengaruhi sejak pertemuan dengan Morris. Jadi selain menekuni pendidikan, ia juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika.
Pengalaman Dewey tidak hanya berhenti sampai di Universitas Chicago. Karena bertentangan dengan rektor mengenai manajemen pembiayaan departemen pendidikan, Dewey meninggalkan Chicago dan hijrah ke Universitas Columbia di New York. Terakhir ia berkarya sebagai dosen di Universitas Colombia dalam tahun 1904. Di universitas ini, Dewey berkarya sebagai seorang profesor filsafat sampai ia pensiun pada tahun 1929. Setelah pindah ke New York, Dewey kerapkali menulis di berbagai media massa antara lain the New Republic. Beliau juga terlibat dalam berbagai organisasi seperti the American Civil Liberties Union di mana dia adalah pendiri dan ketuanya; dan Asosiasi Professor Universitas Amerika sebagai pendiri dan presiden pertamanya.
Dalam periode ini, Dewey banyak mengadakan perjalanan antara lain ke negara-negara Eropa serta Jepang, Cina, Meksiko, dan Rusia. Di Jepang, misalnya, ia memberikan kuliah-kuliah dalam bentuk ceramah yang kemudian akan menjadi dasar pengembangan filsafat rekunstruksinya. Dalam tahun 1924, ia juga berkunjug ke Turky untuk mengadakan rekunstruksi terhadap sistem pendidikan yang dijalankan di sana. Hal yang sama juga dilakukan dalam kunjugannya ke Meksiko dan Rusia dalam tahun 1928.
Sejak ia berhenti dari universitas Colombia, ia aktif dalam pengembangan filsafat dan melanjutkan karya-karya dokrinnya. Dengan pelbagai usaha dan kerja yang dilakukannya selama masih bekerja di universitas-universitas maupun setelah itu, ia kemudian dikenal sebagai seorang yang mengembangkan filsafat secara baru di Amerika. Pemikirannya banyak mempengaruhi perkembangan filsafat, politik, pendidikan, religiusitas dan kesenian di Amerika.
Pada November 1951 tulang pinggulnya patah dan gagal disambung kembali dengan baik. Pada 1 Juni 1952 Dewey wafat akibat pneumonia meninggalkan 6 orang anak kandung dan 2 orang anak angkat. Beliau adalah tokoh yang sangat dihormati semasa hidupnya dilihat dari banyaknya undangan ceramah yang datang dari bebagai negara dan bangsa.
2. Karya-Karya John Dewey
Sudah sedikit disinggung di atas bahwa karya-karya Dewey banyak mempengaruhi corak berpikir Amerika. Pengaruh ini juga banyak berasal dari buku-buku atau karya-karya yang dihasilkannya. Bukunya yang pertama yakni Psychology yang diterbitkan dalam tahun 1891. Dalam tahun 1891, bukunya Outlines of a Critica Theory of Etics diterbitkan. Tiga tahun kemudian, 1894, terbit lagi The Study Of Etics: A Syllabus. Ketika ia berkarya di Universitas Chicago, berturut-turut ia menerbitkan My Pedagogic Creed (1897), The School and Society (1903), dan Logical Conditions of a Scientific Treatment of Morality (1903). Ia juga banyak menghasilkan uku-buku ketika berada di Universitas Colombia seperti Ethics (1908), How We Think (1910), The Influence of Darwin and Other Essays in Contemporary Thought (1910), School of Tomorrow (1915), Democraty and Education (1916), Essays in Experimental Logic (1916), Recunstruction in Philosophy (1920), Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), The Quest for Certainty (1929), Art as Experience (1934), A Common Faith (1934), Experience and Education (1938), Logic: The Theory of Inquiry (1938), Theory of Valuation (1939), Education Today (1940), Problem of Men (1946), dan Knowing and The Known (1949).
Nampak jelas dari tulisan-tulisan Dewey bahwa ia menaruh minat besar pada bidang logika, metafisika dan teori pengatahuan. Tetapi perhatian Dewey di bidang pragmatisme terutama dicurahkan pada realitas sosial daripada kehidupan individual. Hal ini nampak dalam tema-tema bukunya: pendidikan, demokrasi, etika, agama, dan seni.
D. KONSEP DEWEY TENTANG PENGALAMAN DAN PIKIRAN
Konsep kunci dalam filsafat Dewey adalah pengalaman. Pengalaman (Experience) adalah salah satu kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat Dewey adalah “mengenai” (about) dan “untuk” (For) pengalaman sehari-hari. Pengalaman adalah keseluruhan drama manusia dan mencakup segala proses “ saling memengaruhi” (take and give) antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Dewey menolak orang yang mencoba menganggap rendah pengalaman manusia atau menolak untuk percaya bahwa seseorang telah berbuat demikian. Dewey mengatakan bahwa pengalaman bukannya suatu tabir yang menutupi menusia sehingga tidak melihat alam. Pengalaman adalah satu-satunya jalan bagi manusia untuk memasuki rahasia-rahasia alam.
Bagi Dewey, pengalaman sebagai suatu yang bersifat personal dan dinamis adalah satu kesatuan yang mengultimatumkan suatu interelasi. Tidak ada pengalaman yang bergerak secara terpisah dan semua pengalaman itu memainkan suatu kompleksitas sistem yang organik. Menurutnya, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan menuju pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera dan kita dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan pada dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam dunia kita. Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang terkandung di dalamnya pemisahan subyek dan obyek, pemisahan antara pelaku dan sarananya. Di dalam pengalaman itu keduanya bukan dipisahkan, tetapi dipersatukan. Apa yang dialami tidak dipisahkan dari yang mengalaminya sebagai satu hal yang penting atau yang berarti. Jikalau terdapat pemisahan di antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman, melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran, itulah yang menyusun sasaran pengetahuan. Atas dasar ini pula, Dewey merumuskan tujuan filsafat sebagai memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tidak bermanfaat. Dalam konteks ini, filsafat digunakan sebagai dasar dan fungsi sosial.
Pokok pandangan ini muncul sebagai kritiknya atas pokok dari filsafat jaman sebelumnya yang mengemukakan pandangan tentang realitas dan fungsi pengetahuan yang membingungkannya. Menurutnya, kaum empiris telah beranggapan bahwa pikiran selalu menunjuk pada obyek-obyek dari alam, dan bahwa setiap ide selalu berhubungan dengan suatu realitas. Dengan kata lain, pengetahuan seakan-akan dibentuk setelah subyek berhadapan dengan atau memandang sesuatu di luar dirinya. Inilah yang disebut “a spectator theory of knowledge”. Menurut teori ini, subyek pengetahuan bertindak bagaikan seorang penonton yang hanya dengan memandang sudah mendapatkan ide tentang obyeknya. Inilah pandangan kaum rasionalis. Menurut pandangan ini, rasio merupakan suatu instrumen untuk memperhatikan apa yang tetap dan pasti pada alam. Alam dan rasio adalah dua hal yang terpisah dan berbeda.
Dewey beranggapan bahwa baik apa yang dikembangkan oleh kaum empiris maupun kaum rasionalis terlalu statis di satu pihak dan terlampau mekanistik di lain pihak. Atas pengaruh Hegelian, Dewey mengakui bahwa antara manusia dan lingkungan alamiahnya terdapat dialektika yang konfliknya “terselesaikan” dalam pengalaman. Hal ini disebabkan karena setiap pengalaman adalah kekuatan yang berdaya guna. Maksudnya, pengalaman merupakan pertemuan antara manusia dengan lingkungan alam yang mengitarinya dan itu membawa manusia pada pemahaman yang baru. Pengalaman juga bersifat dinamis karena lingkungan juga bercorak dinamis. Inteligensi pada hakikatnya merupakan kekuatan yang dimiliki manusia untuk menghadapi lingkungan hidup yang terserap dalam pengalamannya. Dalam konteks ini, berpikir adalah suatu aktivitas inteligensi yang lahir karena adanya pengalaman manusia dan bukan suatu akivitas yang terisolasi dalam pikiran semata.
Berdasarkan pendangannya tentang hubungan pengalaman dan corak berpikir di atas, Dewey membagi aspek pemikiran dalam dua aspek. Pada mulanya aspek pimikiran selalu berada dalam a) situasi yang membingkungkan dan tidak jelas, b) situsi yang jelas di mana masalah-masalah terpecahkan. Menurutnya, aktivitas berpikir selalu merupakan sarana untuk memecahkan masalah-masalah. Hal ini mengandaikan bahwa aktivitas inteligensi lebih luas dari sekedar aktivitas kognitif, yaitu meliputi keinginan–keinginan yang muncul dalam diri subyek ketika berhadapan dengan kesekitarannya. Inilah yang disebut Dewey teori instrumentalia tentang pengetahuan. Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Teori ini juga yang mendorongnya untuk menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme daripada disebut sebagai pragmatisme.
Dunia yang ada sekarang ini, yakni dunia pria dan wanita, dunia sawah dan pabrik, dunia tumbuhan dan binatang, dunia yang kita hiruk pikuk dan bangsa-bangsa yang berjuang, adalah dunia pengalaman kita. Kita harus berusaha memakainya dan kemudian berusaha membentuk suatu masyarakat diamana setiap orang dapat hidup dalam kemerdekaan dan kecerdasan.
Dalam perjalanan pengalaman seseorang, pikiran selalu muncul untuk memberikan arti dari sejumlah situasi-situasi yang terganggu oleh pekerjaan diluar hipotesis atau membimbing kepada perbuatan yang akan dilakukan. Kata Dewey, kegunaan kerja pikiran tidak lain hanya merupakan cara jalan untuk melayani kehidupan. Makanya, ia dengan kerasnya menuntut untuk menggunakan metode ilmu alam (Scientific Method) bagi semua lapangan pikiran, terutama dalam menilai persoalan akhlak(etika), estetika, politik dan lain-lain. Dengan demikian, cara penilaian bisa berubah dan bisa disesuaikan dengan lingkungan dan ebutuhan hidup.
Menurut Dewey yang dimaksud dengan Scientific Method ialah cara yang dipakai oleh seseorang sehingga bisa melampaui segi pemikiran semata-mata pada segi amalan. Dengan demikian, suatu pikiran bisa diajukan sebagai pemecahan suatu kesulitan (to solve problematic situation), dan kalau berhasil maka pikiran itu benar.
Dengan demikian, pengalaman merupakan salah satu kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman tidak akan bisa terlepas, karena pengalaman berintegrasi dengan alam dan kehidupan manusia. Pengalaman tidak bisa kita lupakan karena, pengalaman bisa menjadi tolak ukur kita untuk melangkah ke depan dengan lebih baik. Pandangan John Dewey dalam pemikiran dan pengalaman ada istilah yang disebut instrumental. Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai to conceive of both knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in experienced existence. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Teori ini juga yang mendorongnya untuk menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme daripada disebut sebagai pragmatisme.
E. KONSEP DEWEY TENTANG MANUSIA DAN LINGKUNGAN SOSIALNYA
Padangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk, akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia manurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangannya juga turut didukung oleh masyArakat yang ada di sekitarnya.
Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sangat fleksibel. Fleksibilitasnya tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan Dewey di sini sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologis manusia atau kodrat manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial kesekitaran manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi kesekitaran, itu disebabkan karena “kebiasaan”, cara seseorang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan kesekitarannya.
Dewey juga berbicara tentang kejahatan (evil) manusia. Kejahatan bukanlah sesuatu yang tidak dapat dirubah. Sebaliknya, kejahatan merupakan hasil dari cara tertentu manusia yang dibentuk dan dikondisikan oleh budaya. Oleh karena itu, syarat mutlak untuk mengatasi kejahatan adalah mengubah kebiasaan-kebiasaan masyarakat, yaitu kebiasaannya dalam berpikir dan bereaksi terhadap kesekitaran.
F. KONSEP DEWEY TENTANG DEMOKRASI DAN PENDIDIKAN
Dewey memandang bahwa tipe dari pragmatismenya diasumsikan sebagai sesuatu yang mempunyai jangkauan aplikasi dalam masyrakat. Pendidikan dipandang sebagai wahana yang strategis dan sentral dalam upaya kelangsungan hidup dimasa depan. Pendidikan nasional Amerika, Menurut Dewey, hanya mengajarkan muatan-muatan yang sudah usang (out of date) dan hanya mengulang-ngulang sesuatu yang sudah lampau, yang sebenarnya tidak layak lagi diajarkan kepada anak didik. Pendidikan yang demikian hanya mengebiri intelektualitas anak didik. Dalam bukunya Democracy and Education (1961), Dewey menawarkan suatu konsep pendidikan yang adaptif and progresif bagi perkembangan masa depan.
“Dewey elaborated upon his teory that school reflect the community and be patterned after it so that when children graduate from school they will be properly adjusted to asumse their place in sociaty.”
Kutiapan diatas dapat dipahami secara bebas bahwa pendidikan harus mampu membekali anak didik sesuai dengan kebutuhan yang ada pada lingkungan sosialnya. Sehingga, apabila anak didik telah lulus dari lembaga sekolah, ia bisa beradaptasi dengan masyarakat.
Untuk merealisasikan konsep tersebut, Dewey menawarkan dua metode pendekatan dalam pengajaran. Pertama, problem solving method. Dengan metode ini anak dihadapkan pada berbagai situasi dan masalah-masalah yang menantang, dan anak didik diberi kebebasam sepenuhnya. untuk memecahkan suatu maslah-masalah tersebut sesuai dengan perkembangan kemampuannya. Dalam proses belajar mengajar model ini guru bukan hanya satu-satunya sumber, bahka kedudukan seorang guru hanya membantu siswa dalam memecahkan kesulitan yang dihadainya. Dengan metode semacam ini, dengan sendirinya pola lama yang hanya mengandalkan guru sebagai satu-satunya pusat informasi (metode pedagogy) diambil alih kedudukan oleh metode andragogy yang lebih menghargai perbedaan individu anak didik. Kedua, learning by doing, konsep ini diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan dalam masyarakat. Supaya anak didik bisa eksis dalam masyarakat bila telah selesai menyelesaikan pendidikannya. Maka, mereka dibekali keterampilan-keterampilan prkatis sesuai dengan kebutuhan masyarakat sosialnya.
Dari uraian diatas dapat saya simpulkan bahwa pendidikan progresif menurut John Dewey dalah pendidikan yang mampu membekali peserta didik agar bisa menyesuaikan, berpartisipasi maupun eksis dalam masyarakat. John Dewey menawarkan 2 metode pendekatan dalam pengajaran dengan cara problem solving method dan learning by doing. Metode problem solving method lebih menekankan tantangan dan kebebasan kepada peserta didik, dan guru bukan satu-stunya yang menjadi sumber. Metode learning by doing peserta didik dituntut agar dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Selain dituntut, peserta didik juga dibekali beberapa materi atau keterampilan agar mereka ketika keluar atau lulus dari sekolahnya dapat menyesuaikan dengan lingkungannya maupun masyarakatnya.
Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya pengormatan pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang. Gagasan ini juga bertolak dari gagasannya tentang perkembangan seperti yang sudah di bahas sebelumnya. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama, dan membangun kembali yang baru. Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, daripada mengisisnya secara sarat dengan formulasi-formulasi secara sarat teoretis yang tertib. Pendidikan harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang bertolak dan merupakan kontuinitas dari refleksi atas pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak didik. Dengan demikian, belajar dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dalam proses ini, ada perjuangan terus-menerus untuk membentuk teori dalam konteks eksperimen dan pemikiran.
Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokrtatis adalah dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia menyatakan bahwa ide pokok demokrasi adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perlunya partisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur kehidupan bersama. Ia menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis dalam bentuk aturan sosial politik. Dari pernyataan ini, bagi Dewey demokrasi bukan sekedar menyangkut suatu bentuk kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demokrasi berarti setiap orang mengalami kebebasannya untuk berkreasi dan mengungkapkan pengalaman humanitasnya dalam partisipasi bersama. Untuk tujuan ini, maka sekolah menjadi medium yang mengungkapkan bagaimana hidup dalam suatu komunitas yang demokratis. Dewey selalu mengatakan bahwa sekolah merupakan suatu kelompok sosial yang kecil (minoritas); yang menggambarkan atau menjadi cerminan dari kelompok sosial yang lebih besar (mayoritas). Ia menegaskan bahwa sosialisasi nilai-nilai demokratis harus dilaksanakan oleh sekolah yang demokratis. Dan ini diusahakan antara lain dengan menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam lingkungan pendidikan. Ia dengan secara tidak langsung menyatakan bahwa kebebsan akademik diperlukan guna mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpu pada interaksi dan kerjasama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu sama lain; berpikir kreatif menemukan solusi atas problem yang dihadapi bersama, dan bekerjasama untuk merencanakan dan melaksanakan solusi. Secara implisit hal ini berarti sekolah yang demokratis harus mendorong dan memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, merencanakan kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut.
G. PROBLEM ESTETIKA
Penedekatan Dewey pada seni berbeda dengan para Idealis. Dia tidak prihatin dengan segala usaha untuk menemukan suatu yang lebih dahulu sebagai standar yang indah dalam analisa para genius . Maksud utama dari seni ini adalah memberikan suatu ilmu sosiologi dan penjelasan empiris dari setiap subyek. Seni tidak berakhir dalam pencarian lewat diri sendiri. Itu dibuat dengan fungsi untuk menjadikan suatu kehidupan indah. Kekeliruan teori dari estetika yang klasik adalah pembagian antara seni dan ilmu, antara seni dan moral.
Dalam pendidikan seni, pengaruh Dewey telah masuk didalamnya. Dia membiarkan partisipasi ilmu lain pada seni untuk dipelajari oleh para pelajar.
Pada zaman Dewey, terdapat reaksi yang bertentangan dengan semangat yang ada dalam seni. Banyak kritik yang diberikan terhadap konsep seni pada abad pertengahan dan zaman renessance. Paham industrialis memunculkan kembali apa yang terjadi pada zaman klasik dimana moral dan seni disatukan.
Dewey lebih percaya para ahli seni tidak hanya berada dalam sekolah-sekolah dan museum tetapi berada juga di pabrik dan di rumah-rumah. Dengan cara ini hal pokok dari seni adalah berkehendak menemukan apa yang menjadi bagian dari harian hidup manusia.
H. ANALISIS KRITIS KEKUATAN DAN KELEMAHAN PRAGMATISME
Didalam aliran pragmatisme terdapat kekuatan maupun kelemahannya. Kekuatan dan kelemahannya sebagai berikut:
1. Kekuatan Pragmatisme
a. Kemunculan pragmatisme sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer, khususnya di Amerika Serikat, telah membawa kemajuan-kemajuanyan yang pesat baik dalam pengetahuan maupun teknologi. Pragmatisme telah berhasil “membumikan” dari corak yang bersifat Tender Minded yang cenderung berfikir metafisi, idealis, abstrak, intelektualis, dan cenderung berfikir hal-hal yang memikirkan atas kenyataan, matrealis, dan didasrkan atas kebutuhan-kebutuhan disini(dunia), bukan nanti diakhirat. Dengan demikian, filsfat pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekadar mempercayai(belief) pada hal-hal yang sifatnya rill, indrawi, dan yang manfaatnya bisa dinikmati secara praktis-pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.
b. Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir yang liberal, bebas dan selalu menyangsikan segala yang ada. Berangkat dari sifat skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong dan memberi semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan suatu konsep melalui penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian, dan eksperimen-eksperimen sejingga muncullah temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan dibidang sosial dan ekonomi.
c. Sesuai dengan coraknya yang “sekuler”, pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu kepercayaan dapat diterima apabila terbukti kebenaranya lewat pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya sesuatu yang sakral dan mitos. Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatism merupakan pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia, dan gerak-gerakan progresif dalam masyarakat modern.
2. Kelemahan Pragmatisme
a. Karena pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran absolut (kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara ilmiah, dan percaya bahwa dunia ini mampu “dibikin” manusia sendiri, secra tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang trensendental. Kemudian pada perkembangan lanjut, pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam upaya mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada sikap Ateisme.
b. Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, dan langsung dapat dinikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptakan pola pikir masyarakat yang materealis. Manusia berusaha secra keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ruhanyah, maka dalam otak masyarakat pragmatisme telah dihinggapi oleh penyakit materealisme.
c. Untuk mencapai tujuan materealisme, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa memperdulikan lagi bahwa dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal waktu hanya sekadar memenuhi kebutuhan materinya, maka dalam struktur masyarakatnya manusia hidup semakin egois individualis. Dari sini, masyarakat pragmatisme menderita penyakit humanisme.
Dengan demikian, bahwa di Negara Amerika serikat atau seluruh dunia yang menganut paham filsafat John Dewey dan William James kebanyakan mengarah kearah materealis, ateis, dan dehumanis.Paham pragmatisme mendewakan akal. Padahal akal itu terbatas, maka hal inilah yang tidak disadari oleh pakar ilmuan barat, pada hakikatnya yang dilakuakn manusia pasti ada campur tangan tuhan.
I. PENUTUP
Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis, epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu dilihat dalam rangka konsekuansi praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam hidup manusia. Dan konsekuensi praktis yang berguna dan memuaskan manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi.
Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi, melainkan langsung mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkret.
Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku, yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis. Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak yang muluk-muluk, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuansi praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.
Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat.
Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang.
Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.
Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian yang tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan terhadap yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Armin, Adi, Richard Rorty, (Jakarta:Teraju, 2003)
Abdullah, Muhammad, Makalah Pragmatisme: Sebuah Tinjauan Sejarah Intelektual Amerika.
Dewey, John, Experience and Education, terj. Ireine V. Pontoh, (Indonesia Publishing, 2009)
Dewey, John, Experience and Education, dalam “Great Book of Western World” (USA: Encyclopedia Britanica Inc, 1996)
Hadwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat ( Yogyakarta: Kanisius, 1994)
Hanafi, A. Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981)
Maksum, Ali, Pengantar Filsafat , Cetakan Keenam, ( Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012)
Mayer, Frederick, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951)
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu Positivisme, Postpositivisme, PostModernisme, (Yogyakarta: 2001)
Richard J. Bernstein, Dewey John, dalam “The Encyclopedia of Philosophy.
Samuel, E. Stumpf, Philosophy: History and Problems, third edition (New York: McGraw-Hill Book Company, 1983)
Sahakian, William. S. History Of Phylosophy,(New York: Baner and Boble, 1986)
Stroh, W. Guy, American Philosophy, ( Princenton: Duven Nostrand Company, Inc h, 1968)
Titus, Harold H. Persoalan-Persoalan Filsafat, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
Ohoitimur, J. Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer (Pineleng: Traktat Kuliah, 2003)
Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civikl Society, (Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2001)
No comments:
Post a Comment