Monday, 23 September 2013

METODOLOGI STUDI ISLAM


Oleh: Syafieh, M. Fil. I

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Studi-studi agama dewasa ini mengalami perubahan orientasi yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan kajian-kajian agama sebelum abad ke-19. Umumnya pengkajian agama sebelum abad ke-19 memiliki beberapa karakteristik yang antara lain, sinkritisme, penemuan arca baru, dan untuk kepentingan misionari dipicu oleh semangat dan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga orientasi dan metodologi studi islam mengalami perubahan.

Adapun studi islam sendiri merupakan ilmu keislaman mendasar. Dengan studi ini, pemeluknya mengetahui dan menetapkan ukuran ilmu, iman dan amal perbuatan kepada allah swt. Diketahui pula bahwa islam sebagai agama yang memiliki banyak dimensi yaitu mulai dari dimensi keimanan, akal fikiran, politik ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi lingkungan hidup, dan masih banyak lagi yang lainnya. Untuk memahami berbagai dimensi ajaran islam tersebut jelas memerlukan berbagai pendekatan yang digali dari berbagai disiplin ilmu. Selama ini islam banyak dipahami dari segi teologis dan normative.

B.       Rumusan Masalah
Dalam makalah ini agar lebih mudah untuk dipahami maka penulis berupaya untuk memberikan batasan hingga dapat dimengerti dengan jelas isi makalah ini sendiri secara baik dengan rumusan sebagai berikut:
1.        Apakah pengertian studi Islam
2.        Bagaimanakah Ruang lingkup studi Islam
3.        Kedudukan pengantar studi Islam
4.        Objek Kajian Studi Islam

C.      Tujuan Masalah
1.        Mengetahui pengertian studi islam
2.        Mengetahui ruang lingkup studi islam
3.        Mengetahui kedudukan pengantar studi islam
4.        Mengetahui Objek Kajian Studi  Islam 


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Studi Islam
Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies. Maka studi Islam secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Makna ini sangat umum sehingga perlu ada spesifikasi pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian yang sistematis dan terpadu. Dengan perkataan lain, Studi Islam adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memhami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya.[1]
Studi Islam diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada tiga hal: 1) Islam yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri, 2) Islam dapat dimaknai yang mengarah pada keselamatan dunia dan akhirat, sebab ajaran Islam pada hakikatnya membimbing manusia untuk  berbuat kebajikan dan menjauhi semua larangan, 3) Islam bermuara pada kedamaian.[2]
Usaha mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh  kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri tentunya sangat berbeda tujuan dam motivasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk mempelajari seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku di kalangan mat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan (Islamologi). Namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun negative.
Para ahli studi keislaman di luar kalangan umat Islam tersebut dikenal dengan kaum orientalis (istisyroqy), yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi tentang dunia Timur, termasuk di kalangan dunia orang Islam. Dalam praktiknya, studi Islam yang dilaukan oleh mereka, terutama pada masa-masa awal mereka melakukan studi tentang dunia Timur, lebih mengarahkan dan menekankan pada pengetahuan tentang kekurangan-kekurangandan kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan praktik-praktik pemgalaman ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari uamat Islam. Nmaun, pada masa akhir-akhir ini banyak juga di antara para orientalis yang memberikan pandangan-pandangan yang objektif dan bersifat ilmiah terhadap Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu kan bisa bermanfaat bagi pengembangan studi-studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri.
Kenyataan sejarah menunjukkan (terutama setelah masa keemasan Islam dan umat Islam sudah memasuki masa kemundurannya) bahwa pendekatan studi Islam yang mendominasi kalangan umat Islam lebih cenderung bersifat subjektif, apologi, dan doktriner, serta menutup diri terhadap pendekatan yang dilakukan orang luar yang bersifat objektif dan rasional. Dengan pendekatan yang bersifat subjektif apologi dan doktriner tersebut, ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits –yang pada dasarnya bersifat rasional dan adaptif terhadap tuntutan perkembangan zaman- telah berkembang menjadi ajaran-ajaran yang baku dan kaku serta tabu terhadap sentuhan-sebtuhan rasional, tuntutan perubahan, dan perkembangan zaman. Bahkan kehidupan serta keagamaan serta budaya umat Islam terkesan mandek, membeku dan ketinggalan zaman. Ironisnya, keadaan yang demikian inilah yang menjadi sasaran objek studi dari kaum orientalis dalam studi keislamannya.[3]
B.       Ruang Lingkup Studi Islam
Agama sebagai obyek studi minimal dapat dilihat dari tiga sisi:
1.        Sebagai doktrin dari tuhan yang sebenarnya bagi para pemeluknya sudah final dalam arti absolute, dan diterima apa adanya.
2.        Sebagai gejala budaya, yang berarti seluruh yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.
3.        Sebagai interaksi sosial, yaitu realitas umat islam.
Bila islam dilihat dari tiga sisi, maka ruang lingkup studi islam dapat dibatasi pada tiga sisi tersebut. Oleh karena sisi doktrin merupakan suatu kenyakinan atas kebenaran teks wahyu, maka hal ini tidak memerlukan penelitian didalamnya.[4]

C.      Kedudukan Studi Islam Dengan Mata Kuliah Lain
Seiring berkembangnya zaman, mempelajari metodologi studi islam diharapkan dapat mengarahkan kita untuk untuk mengadakan usaha-usaha pembaharuan dalam pemikiran aiaran-ajaran islam yang merupakan warisan doktriner yang dianggap sudah mapan dan sudah mandek serta ketinggalan zaman tersebut, agar mampu beradaptasi serta menjawab tantangan serta tuntutan zaman dan modernisasi dunia dengan tetap berpegang terhadap sunber agama islam yang asli, yaitu al-qur’an dan as-sunnah. Mempelejari metodologi studi islam juga diharapkan mampu memberikan pedoman dan pegangan hidup bagi umat islam agar tetap menjadi muslim yang sejati yang mampu menjawab tantangan serta tuntutan zaman modern maupun era-globalisasi sekarang ini.[5]
Maka dari itu kedudukan studi islam sangatlah penting peranannya dari semua disiplin ilmu lain yang menyangkut tentang aspek islam, karena studi islam merupakan disiplin ilmu yang menerangkan dasar seseorang dalam beragama. Oleh karenanya diharapkan mata kuliah ini harus ada dalam setiap studi ilmu khususnya di Indonesia.
Dengan mempelajari studi islam, Mahasiswa diharapkan mempunyai pegangan hidup yang pada akhirnya dapat menjadi muslim sejati.

D.      Islam Sebagai Objek Kajian
Dari fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat, Islam memang menarik untuk dijadikan sebagai objek kajian dan dalam mengkaji Islam, tentu kita harus berpedoman pada dua sumber otentiknya yakni Alquran dan hadis.
Orang yang memeluk Agama Islam, yang disebut muslim adalah orang yang bergerak menuju ketingkat eksistensi yang lebih tinggi. Demikian yang tergambar dalam konotasi yang melekat dalam kata Islam apabila kita melakukan suatu kajian tentang arti Islam itu sendiri.
Untuk memecahkan masalah yang timbul dalam masyarakat, maka seorang muslim mengadakan suatu penafsiran terhadap Alquran dan hadis sehingga timbullah pemikiran Islam, baik yang bersifat tekstual maupun kontekstual.
Islam sebagai agama, pemikiran atau penafsiran Alquran dan hadis, juga sebagai objek kajian, sebuah sistem yang hidup dan dinamis. Sistem ini meliputi sebuah matriks mengenai nilai dan konsep yang abadi. Hidup dan realistis sehingga memberikan karakter yang unik bagi peradaban. Karena Islam merupakan suatu sistem total, maka nilai dan konsep ini menyerap setiap aspek kehidupan manusia.
Islam sebagai agama teologis juga merupakan agama pengetahuan yang melahirkan beragan pemikiran, lahirnya pemikiran ini memberi indiksi yang kuat bahwa pada dataran pemahaman dan aktualisasi nilai Islam merupakan suatu wujud keterlibatan manusia dalam Islam, dan bukan berarti mereduksi atau mentransformasikan doktrin esensialnya. Bukankah dalam Islam telah memotivasi pelibatan akal pikiran untuk dikenali, diketahui dan diimplementasikan ajarannya (QS. 96;1). Ajarannya yang berbentuk universal hanya bisa ditangkap dalam bentuk nilai, sehingga ketika ia turun dan jatuh ke tangan manusia, ia baru menjadi bentuk (Muhammad Wahyudi Nafis, 7).
Jadi, ketika pemikiran hendak masuk dalam wilayah Islam untuk dikaji dengan beragam intensi dan motif, sudut pandang atau perspektif, metodologi dan berbagai aspeknya, maka dalam proses dan bentuknya kemudian, Islam dapat dipandang sebagai pemikiran. Islam yang ditunjuk di sini tentu bukan saja apa yang terdapat dalam Alquran dan hadis (tekstuan dan skriptual) tetapi mencakup juga Islam yang berupa pemahaan dan pengejawantahan nilai-nilainya.[6]
Islam berbentuk nilai-nilai, jika pemikiran (akal pikiran) dilibatkan dalam proses memahami dan mengaktualisasikannya dalan senarai sejarah Pemikiran Islam terpotret bagaimana pemikiran peminat studi Islam memberi andil kreatif dan signifikan terhadap bangunan pemahaman ajaran Islam dalam berbagai dimensinya yang melahirkan berbagai jenis pengetahuan Islam (ulumul Islam) seperti teologis, filsafat Islam, ulumul Quran dan hadis, ilmu-ilmu syariah dan sebagainya.
Jadi, mengkaji Islam sebagai pemikiran berarti mempelajari apa yang dipahami oleh pemikir-pemikir yang telah mengkaji ajaran-ajaran Islam yang melahirkan bentuk pemahaman atau kajian tertentu.

1.        Islam Normatif
Islam normatif adalah islam pada dimensi sakral yang diakui adanya realitas transendetal yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut realitas ke-Tuhan-an.[7]
Kajian islam normatif Melahirkan tradisi teks : tafsir, teologi, fiqh, tasawuf, filsafat.
Ø  Tafsir      : tradisi penjelasan dan pemaknaan kitab suci
Ø  Teologi   : tradisi pemikiran tentang persoalan ketuhanan
Ø  Fiqh        : tradisi pemikiran dalam bidang yurisprudensi (tata hukum)
Ø  Tasawuf  : tradisi pemikiran dan laku dalam pendekatan diri pada Tuhan
Ø  Filsafat   : tradisi pemikiran dalam bidang hakikat kenyataan, kebenaran dan

2.        Islam Historis
Islam historis adalah islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu. Islam yang terangkai dengan konteks kehidupan pemeluknya. Oleh karenanya realitas kemanusiaan selalu berada dibawah realitas ke-Tuhan-an.[8]
Dalam pemahaman kajian Islam historis, tidak ada konsep atau hukum Islam yang bersifat tetap. Semua bisa berubah. Mereka berprinsip: bahwa pemahaman hukum Islam adalah produk pemikiran para ulama yang muncul karena konstruk sosial tertentu. Mereka menolak universalitas hukum Islam. Akan tetapi, ironisnya pada saat yang sama, kaum gender ini justru menjadikan konsep kesetaraan gender sebagai pemahaman yang universal, abadi, dan tidak berubah. Paham inilah yang dijadikan sebagai parameter dalam menilai segala jenis hukum Islam, baik dalam hal ibadah, maupun muamalah.[9]
Islam historis merupakan unsur kebudayaan yang dihasilkan oleh setiap pemikiran manusia dalam interpretasi atau pemahamannya terhadap teks, maka islam pada tahap ini terpengaruh bahkan menjadi sebuah kebudayaan. Dengan semakin adanya problematika yang semakin kompleks, maka kita yang hidup pada era saat ini harus terus berjuang untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran untuk mengatasi problematika kehidupan yang semakin kompleks sesuai dengan latar belakang kultur dan sosial yang melingkupi kita, yaitu Indonesia saat ini. Kita perlu pemahaman kontemporer yang terkait erat dengan sisi-sisi kemanusiaan-sosial-budaya yang melingkupi kita.
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut histories atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
Kajian islam historis melahirkan tradisi atau disiplin studi empiris: antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama dan sebagainya.
Ø  Antropologi agama    : disiplin yang mempelajari tingkah laku manusia beragama dalam hubungannya dengan kebudayaan.
Ø  Sosiologi agama       : disiplin yang mempelajari sistem relasi sosial masyarakat dalam hubungannya dengan agama.
Ø  Psikologi agama       :  disiplin yang mempelajari aspek-aspek kejiwaan manusia dalam hubungannya dengan agama

3.         Hubungan antara keduanya
Hubungan antara keduanya dapat membentuk hubungan dialektis dan ketegangan. Hubungan Dialektis terjadi jika ada dialog bolak-balik yang saling menerangi antara teks dan konteks. sebaliknya akan terjadi hubungan ketegangan jika salah satu menganggap yang lain sebagai ancaman.
Menentukan bentuk hubungan yang pas antara keduanya adalah merupakan separuh jalan untuk mengurangi ketegangan antara kedua corak pendekatan tersebut. Ketegangan bisa terjadi, jika masing-masing pendekatan saling menegaskan eksistensi dan menghilangkan manfaat nilai yang melakat pada pendekatan keilmuan yang dimiliki oleh masing-masing tradisi keilmuan.
Menurut ijtihad, Amin Abdullah, hubungan antara keduanya adalah ibarat sebuah koin dengangan dua permukaan. Hubungan antara keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi secara tegas dan jelas dapat dibedakan. Hubungan keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang kokoh dan kompak. Makna terdalam dan moralitaskeagamaan tetap ada, tetap dikedepankan dan digaris bawahi dalam memahami liku-liku fenomena keberagaman manusia, maka ia secara otomatis tidak bisa terhindar dari belenggu dan jebakan ruang dan waktu.[10]

E.       Pertumbuhan Studi Islam di Dunia
 Perkembangan Studi Islam di Dunia Islam
1.      Islam mendorong umatnya untuk memperdalam ilmu pengetahuan.
Ø  Al-Qur’an menyatakan: “Allah meninggikan derajat orang yang berilmu…”
Ø   Hadis menyebutkan: “menunutut ilmu adalah kewajiban.”

2.      Masa Rasulullah:
Ø  Transformasi ilmu dilakukan melalui tradisi lisan.
Ø  Rasul telah meletakkan bibit pengembangan studi Islam terutama tafsir dan usul fiqh.
Ø  Hadis adalah penafsiran rasul terhadap Al-Qur’an yang di dalamnya terdapat metode penetapan hukum.
Ø  Kajian awal (fase Mekkah) difokuskan pada masalah-masalah eskatologis, sedangkan periode berikutya (fase Madinah) ditujukan pada penataan system social.

3.      Masa Pasca Rasulullah wafat:
Ø  Mulai muncul tradisi literer, dimulai dengan pengumpulan Al-Qur’an (masa Khulafaur rasyidin).
Ø  Hadis juga mulai dikumpulkan dan ditulis dalam sebuah kitab (masa Dinasti Umayyah). Para Muhaddisin juga menyusun criteria ilmiah bagi penerimaan hadis dengan kategori sahih, hasan, dan da’if). 
Ø  Muncul pusat-pusat intelektual Islam, seperti Hijaz (Mekkah dan Medinah), Iraq (Kufah dan Basrah), dan Syria.
Ø  Perkembangan studi Islam mencapai puncaknya pada masa Abbasiyah. Studi Islam yang dikembangkan meliputi ilmu normative Islam yang bersumber pada teks agama dan ilmu yang berbasis realitas empirik.

Bidang Keilmuan Yang Dikembangkan
1.      Ilmu yang berbasis pada teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadis), seperti:
Ø  Tafsir dan ulumul Qur’an. Kitab Tafsir yang tertua ditulis oleh at-Tabari (w. 301 H) yang dikenal dengan sebutan Tafsir at-Tabari.
Ø  Tata Bahasa Arab dengan tokoh utamanya: Abu al-Aswad ad-Duali (w.688 M). Al-Khalil Ibn Ahmad (w. 786 M) menyusun kamus bahasa Arab (Kitab Al’Ayn). Sibawaih (w. 793 M) menyusun buku teks sistematis tentang tata bahasa Arab yang dikenal dengan al-Kitab.
Ø  Hadis dan Ulumul Hadis yang dipelopori oleh Syihabuddin az-Zuhri, dan dikembangkan oleh Bukhari dan kawan-kawan. Hasilnya adalah Kutub as-sittah yaitu: Kitab Sahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmizi, Sunan an-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah.
Ø  Sejarah Nabi seperti Sirah Nabawiyah yang ditulis oleh Ibnu Ishaq (w. 767 M) dan Ibnu Hisyam (w. 834 M). Ubaid Ibn Syaryah menulis kitab sejarah dengan judul Kitab al-Muluk wa Akhbar al-Madin pada masa daulah Umayyah.
Ø  Fiqh dan Usul Fiqh yang dipelopori oleh para imam mazhab seperti Abu Hanifah, Malik Ibn Anas, Muhammad Idris Ibn Syafi’i, dan Ahmad Ibn Hanbal. Kitab mereka yang terkenal antara lain: Fiqh al-Akbar, al-Muwatta’, Al-Umm, dan Musnad Ahmad Ibn Hanbal.
 2.      Ilmu Yang Berbasis Rasionalitas dan Realitas Empirik
Ø  Ilmu ini berkembang akibat adanya kontak dengan Yunani, Persia, dan India. Hal ini terjadi pada masa Daulah Abbasiyah dengan adanya penerjemahan karya-karya dari luar ke dalam bahasa Arab.
Ø  Ilmu Astronomi dengan tokoh  Ibrahim Al-Fazari (w. 796 M)  merupakan hasil kontak dengan India.
Ø  Ilmu Astrologi dengan tokoh Abu Ma’syar (w.  886 M).
Ø  Matematika dengan tokoh Muhammad Ibn Musa al-Khawarizmi (w. 850 M).
Ø  Kimia dengan tokoh Jabir Ibn Hayyan (w. 776 M).
Ø  Kaligrafi, sebagai akibat sentuhan dengan budaya Persia.
Ø  Zoologi, dengan tokohnya Abu Usman ‘Amr Ibn Bahr al-Jahiz (w. 868 M).
Ø  Filsafat, dengan tokoh  Al-Kindi (w. 873 M), al-Farabi (w. 950 M), dan Ibnu Sina (w. 1037). Ibnu Sina juga terkenal sebagai dokter. Dia menulis kitab at-Tibb, yang menjadi rujukan bagi ilmu kedokteran di dunia Barat.
Ø  Sosiologi dengan tokoh Abdurrahman Ibn Khaldun (1332-1406 M) dengan bukunya Mukaddimah.

Pusat Pusat Kajian Keilmuan.
Ø  Pada awalnya dilakukan di masjid dan diajarkan oleh para Qurra’ (ahli al-Qur’an).
Ø  Sekolah Dasar disebut dengan Kuttab, yang menyatu dengan masjid. Materi pelajarannya adalah ilmu al-Qur’an.
Ø  Al-Ma’mun mendirikan Observatorium untuk kepentingan ilmu astronomi.
Ø  Bait al-Hikmah (didirkan tahun 1830 M oleh Al-Ma’mun), perpustakaan sekaligus pusat kajian ilmu pengetahuan.
Ø  Akademi Nizhamiyah didirikan oleh Nizamul Muluk (dari Dinasti Saljuk) pada tahun 1065 M. Kajiannya masalah Teologi.
Ø  Universitas Granada didirikan oleh Yusuf Abu al-Hajjaj (1333-1354) dari dinasti Nashriyyah. Kurikulumnya meliputi: teologi, hukum, kedokteran, kimia, filsafat, dan astronomi.
Ø  Universitas al-Azhar, didirkan oleh khalifah Al-Aziz (975-996 ) dari dinasti Fatimiyah.

Perkembangan Studi Islam di Dunia Barat

Kontak Islam dengan Barat
·     Pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya masa pemerintahan Al-Ma’mun (813-833) terjadi gerakan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Gerakan ini menimbulkan adanya adaptasi dan adopsi ilmu pengetahuan dari Barat ke dunia Islam. Kebudayaan Islam menjadi perantara antara kebudayaan Yunani Kuno dengan peradaban ilmu pengetahuan modern.
·     Dinasti Umayyah di Timur (756-1031) yang berpusat di Cordova (Spanyol), juga menjadi media transformasi ilmu dari Islam ke Eropa. Banyak orang Eropa yang belajar ilmu pengetahuan di Cordova.
·     Peristiwa perang Salib (1096-1192) antara umat Islam dengan Kristen yang berlangsung selama 200 tahun, menyebabkan pihak Barat mempelajari ulang khazanah intelektual Islam melalui karya-karya ilmuwan muslim.
·     Abad 16 sampai pertengahan abad 19 merupakan fase kolonialisme Barat terhadap dunia Islam. Pada fase ini Barat mengkaji berbagai kemajuan yang pernah di raih umat Islam selama kurang lebih 7 abad.
·     Tahun 1789 Napoleon Bonaparte menguasai Mesir dan membawa antropolog untuk mempelajari bahasa Arab, Al-Qur’an dan Hadis. Peristiwa ini merupakan transformasi pengetahuan dari Islam ke Barat.
·     Kesultanan Turki yang kemudian berubah menjadi Republik Turki juga mengadakan kontak dengan Negara-negara Eropa dan menghasilkan gerakan pembaharuan.

Studi Islam di Barat
·     Kajian Barat terhadap Islam memunculkan orientalisme, yaitu kajian tentang ketimuran. Kajian awal orientalisme yang diselenggarakan di perguruan tinggi di Barat memandang umat Islam sebagai bangsa primitive.
·     Kajiannya difokuskan pada Al-Qur’an dan pribadi Nabi Muhammad secara ilmiah, yang hasilnya menyudutkan ajaran dan umat Islam.
·     Pendekatan yang digunakan para orientalis bersifat lahiriyah (eksternalitas). Agama Islam hanya dipandang dari sisi luarnya saja menurut sudut pandang Barat.
·     Pada masa selanjutnya muncul karya-karya yang mengoreksi dan merekonstruksi kajian orientalis lama, karena adanya anomaly (ketidaktepatan) dalam studi Islam. Tokohnya antara lain Louis Massignon, W. Montgomery Watt, dan Wilfred Cantwell Smith.
·     Islamic Studies menjadi salah satu kajian yang dibuka di universitas Barat dengan sarana pendukung yang lengkap. Pendekatan yang digunakan a.l: filologi, antropologi, sejarah, sosiologi, psikologi, dsb.

Studi Islam Di Indonesia
 Masa Klasik (Abad 7 – 15 M)
·        Melalui kontak informal, saluran perdagangan, perkawinan, dan tasawuf.
·        Para pedagang (dari Arab, Persia, dan India), berperan sebagai mubaligh.
·        Materi pengajaran: kalimat syahadat, rukun iman, dan rukun Islam.
·        Abad 13 muncul pendidikan di langgar dan pesantren.
1.      Pendidikan langgar meliputi: huruf hijaiyah, membaca Al-Qur’an, fiqh (bersuci dan shalat), tauhid, dan akhlak (melalui cerita para Nabi dan orang saleh). Sistem pengajaran: sorogan. Jenjang pendidikan: 1). Tingkat rendah (mempelajari huruf hijaiyah), 2). Tingkat atas (mempelajari Al-Qur’an, qasidah, barzanji, tajwid, kitab fasalatan)
2.      Pendidikan pesantren kurikulumnya meliputi: pokok-pokok agama dan segala cabangnya (bahasa Arab, syari’at (fiqh), Al-Qur’an, hadis, ilmu kalam, dan tauhid). Sistem pengajaran non klasikal, dengan metode: wetonan (kolektif), dan sorogan (privat).

Masa Pra Kemerdekaan (Abad 16 – 19 M)
·     Tahun 1909 muncul pendidikan madrasah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Padang.
·     Tahun 1910, Syekh Thaib Umar mendirikan Madrasah School di Batu Sangkar, tahun 1923 diganti dengan Diniyah School dan tahun 1931 diganti menjadi al-Jami’ah al-Islamiyah.
·     Tahun 1915, Zainuddin Labai al-Yunusi mendirikan Madrasah Diniyah di Padang Panjang.
·     Muhammadiyah (berdiri tahun 1912) mendirikan HIS, Sekolah Guru, SD 5 tahun, dan madrasah.
·     Al-Irsyad mendirikan (berdiri di Jakarta tahun 1913): Madrasah Awaliyah (3 th), Ibtidaiyah (4 th), Tajhiziyah (2 th), Mu’allimin (4 th), dan Takhassus (2 th).
·     Al-Jami’ah al-Wasliyah (berdiri tahun 1930 di Medan) mendirikan: Madrasah Tajhiziyah (2 th), Ibtidaiyah (4 th), Tsanawiyah (2 th), Qismul Ali (3 th), dan Takhassus (2 th).
·     Nahdlatul Ulama (didirikan tahun 1926) mendirikan: Madrasah Awaliyah (2 th), Ibtidaiyah (3 th), Tsanawiyah (3 th), Mu’allimin Wustha (2 th), Mu’allimin Ulya (2 th).

Pasca Kemerdekaan.
·        Tahun 1952 studi Islam pada tingkat dasar sampai menengah diseragamkan melalui jenjang: MI (6 th), MTs (3 th), dan MA (3 th).
·        Pada tahun 1951 didirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kemudian menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) tahun 1960.



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Arah dan tujuan studi Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Untuk mempelajari secara mendalam tentang apa sebenarnya (hakikat)agama Islam itu, dan bagaimana posisi serta hubungannya dengan agama-agama lain dalam kehidupan budaya manusia; 2) Untuk mempelajari secara mendalam pokok-pokok isi ajaran agama Islam yang asli, dan bagaimana penjabaran serta operasionalisasinya dalam pertumbuhan dan perkembangan budaya dan peradaban Islam sepanjang sejarahnya; 3) Untuk mempelajari secara mendalam sumber dasar ajaran agama islam yang tetap abadi dan dinamis, dan bagaimana aktualisasinya; 4) Untuk mempelajari secara mendalam prinsip-prinsip dan nili-nilai dasar ajaran agama Islam, dan bagaimana realisasinya dalam membimbing dan mengarahkan serta mengontrol perkembangan budaya dan peradaban manusia pada zaman modern ini
Sedangkan ruang lingkup studi islam meliputi: 1) Sebagai doktrin dari tuhan yang sebenarnya bagi para pemeluknya sudah final dalam arti absolute, dan diterima apa adanya. Sebagai gejala budaya, yang berarti seluruh yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.3) Sebagai interaksi sosial, yaitu realitas umat islam.
Studi islam mempunyai kedudukan yang lebih tinggi disbanding dengan mata kulaih lain, karena dalam studi islam, mahasiswa dapat belajar secara mendalam tentang dasar beragama dan dapat menjadikan pegangan dalam hidupnya.
Islam normatif merupakan Islam pada dimensi sakral, Islam ideal atau yang seharusnya, Islam sebagai realitas transendental, yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut sebagai realitas ke-Tuhan-an. Sedangkan islam historis merupakan islam yang tidak bisa dilepaskan dari kesejarahan dan kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu, Islam yang senyatanya, yang terangkai oleh konteks kehidupan pemeluknya, dan berada di bawah realitas ke-Tuhan-an.
Hubungan diantara keduanya dapat berbentuk dialektis maupun ketegangan. Perlu kiranya dikaji dan ditelaah ulang secara kritis-analitis-akademis dan sekaligus dialektis sesuai denga kaidah keilmuan historis-empiris pada umumnya. Dengan demikian hubungan antara kedunaya terasa hidup, segar, terbuka, open ended dan dinamis.

B.       Saran
Kami yakin bahwa tulisan kami ini, masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik dari pembaca, penulis harapkan sekali demi penyempurnaan tulisan/tugas makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Ali, Mukti. Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam. Cet. II; Bandung: Mizan, 1993

M. Nurhakim, Metode Studi Islam, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2004)

Muhaimin, et.al.Kawasan dan Wawasan Studi iSlam,(Jakarta: Kencana, 2005)

Muqowim dkk. Pengantar Studi Islam,  Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.

Yusuf, Mundzirin dkk. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.

[1] Muhaimin, et.al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005) hal.2
[2] M. Nurhakim, Metode Studi Islam, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2004), hal.13
[3] Yusuf, Mundzirin dkk. Islam dan Budaya Lokal. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005).
[4] M. Nurhakim, Metode Studi Islam.., hal. 3-4.
[5] Muhaimin, et.al. Kawasan..,  hal.. 13
[6] Ali, Mukti, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam. Cet. II; (Bandung: Mizan, 1993), hal. 15
[7] Abdullah, Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  1996), hal. 5
[8] Ibid hal. 5
[9] Muqowim dkk.. Pengantar Studi Islam. (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005)
[10] Abdullah, Amin. Ibid opcit. hlm 14

1 comment: