Oleh : Syafieh, M. Fil. I
A. Pendahuluan
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode - metode dan alasan - alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
B. Ibnu Sina
1. Biografi dan Pendidikannya
Ibnu Sina , nama asli beliau adalah Abu Ali Hosain ibnu bdullah ibnu Sina. Di Eropa (dunia Barat) ia lebih dikenal dengan sebutan Avicenna. Ia lahir di sebuah desa Afsyana, di daerah dekat Bukhara pada tahun 340 H. Bertepatan dengan tahun 980 M. Saat ia lahir kota kelahirannya sedang dalam keadaan kacau, karena saat itu kekuasaan Abbasiyah mulai mundur dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaannya kini mulai melepaskan diri untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad sebagai pusat pemerintahannya dikuasai oleh golongan Banu Buwaih pada tahun 334 H, hingga tahun 447 H.[1]
Menurut sejarah hidup yang disusun oleh Ibnu Sina, bernama Jurjani, dari sejak kecil Ibnu Sina telah banyak mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang ada di zamannya. Ilmu-ilmu itu adalah Ilmu fisika, matematika, kedokteran, hukum dan lain-lain. Sewaktu Ibnu Sina masih berusia 17 tahun, ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati Pangeran Nuh Ibnu Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Setelah orang tua Ibnu Sina meninggal saat ia brusia 22 tahun, ia pindah ke Jurjan, suatu kota di dekat Laut Kaspia, dan di sanalah ia mulai menulis ensiklopedinya tentang ilmu kedokteran yang kemudian terkenal dengan nama al-Qanun fi al-Tibb (The Qanun). Kemudian ia pindah ke Ray, suatu kota di sebelah Teheran, dan bekerja untuk Ratu Sayyedah dan anknya Majd al-Dawlah. Kemudian Sultan Syams al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan (di bahagian Barat dari Iran) mengangkat Ibnu Sina menjadi Menterinya. Kemudian ia pindah ke Isfahan dan meninggal di tahun 1037 M, pada usia 58.[2]
Dalam pendidikannya, Ibnu Sina sangat haus dengan pendidikan, hidupnya selalu diwarnai dengan belajar, diantara guru yang mendidiknya ialah ’Abu Abdallah Al-Natali dan Isma’il sang Zahid. Karena kecerdasan otaknya yang luar biasa ia dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya dengan sempurna dari sang guru, bahkan melebihi pengetahuan sang guru.[3] Ibnu Sina juga secara tidak langsung berguru kepada al-Farabi, bahkan dalam otobiografinya disebutkan tentang utang budinya kepada guru kedua ini. Hal ini terjadi ketika ia kesulitan untuk memahami Metafisika Aristoteles, sekalipun telah ia baca sebanyak 40 kali dan hampir hafal diluar kepala. Akhirnya, ia tertolong berkat bantuan risalah kecil al-Farabi.[4] Sirajuddin Zar menambahkan, anekdot ini juga dapat diartikan bahwa Ibnu Sina adalah seorang pewaris Filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan al-Farabi. Dengan istilah lain, Ibnu Sina adalah pelanjut dan pengembang filsafat Yunani yang sebelumnya telah dirintis al-Farabi dan dibukakan pintunya oleh al-Kindi.[5]
Kehebatan Ibnu sina dalam belajar bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi sistem yang is miliki menampakkan sebuah keaslian, menunjukkan jenis jiwa yang genius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasionalis murni dan tradisi Intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam. Dapatlah dikemukan bahwa; keaslian yang menyebabkan dirinya disebut unik tidak hanya terjadi di dalam Islam, tetapi juga terjadi di Abad pertengahan, karena itu terjadi pula perumusan kembali teologi Katolik Roma yang dilakukan oleh Albert Yang Agung, terutama oleh Thomas Aquinas yang secara mendasar terpengaruh oleh Ibnu Sina.[6]
2. Karya-Karya Ibnu Sina
Ibnu Sina tidak hanya seorang yang mempunyai andil dalam kenegaraan tetapi ia juga seorang agamawan. Di dalam kehidupannya selama ia menuntut ilmu, ia juga menyibukkan dirinya untuk menulis beberapa buku. Jumlah karya tulis Ibnu Sina diperkirakan antara 100 sampai 250 buah judul.[7]
Adapun hasil karya Ibnu Sina yang terkenal antara lain:
a. As-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar, terdiri dari 4 bagian, yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan). Buku tersebut mempunyai beberapa naskah yang tersebar diberbagai perpustakaan Barat dan Timur. Bagian Ketuhanan dan fisika pernah di cetak dengan cetakan batu di Teheran. Pada tahun 1956, Lembaga Keilmuan Cekoslowakia (LKC) di Praha menerbitkan pasal keenam dari buku ini perihal ilmu jiwa, denga terjemahannya ke dalam bahasa Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch. Bagian logika diterbitkan di Kairo pada tahun 1945, dengan nama Al Burhan, di bawah asuhan Dr. Abdurrahman Badawi.
b. An-Najat, buku ini merupakan ringkasan buku yang paling populer, yakni As-Syifa, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku Al-Qanun dalam ilmu ketdokteran pada tahun 1593 M, di Roma dan pada tahun 1331 M, di Mesir.
c. Al-Syarat Wat-Tanbihat, buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, bahkan buku ini pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M. Sedangkan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahas Prancis, kemudian diterbitkan lagi di Kairo pada tahun 1947 M di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunya.
d. Al-Hikmat Al-Masyriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang karena tidak jelasnya maksud dan judul buku, di tambah lagi naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi menurut Carlos Nallino, berisi filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat.
e. Al-Qanun, atau Canon of Medicine, menurut penyebutan orang-orang Barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standard untuk Universitas Eropa, sampai akhir Abad ke 17 H. Buku tersebut pernah diterbitkan di Roma tahun 1593 M dan India tahun 1323 M.[8]
Selain itu, Ibnu Sina meninggalkan sejumlah esai dan sya’ir. Beberapa esainya yang terpenting adalah Hayy ibn Yaqzhan, Risalah Ath-Thair, Risalah fi Sirr Al-Qadar, Risalah fi Al-’Isyq, dan Tahshil As-Sa’adah. Sedangkan puisi terpentingnya adalah Al-Urjuzah fi Ath-Thibb, Al-Qashidah Al-Muzdawiyyah, dan Al-Qashidah Al-’Ainiyyah. Bahkan masih banyak karya lain lagi yang ditulis dalam bentuk puisi ke dalam bahasa Persia.[9]
3. Pemikirannya
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang di antara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam. Di antara filsafat Ibnu Sina, antara lain sebagai berikut:
a. Filsafat Wujud
Mengenai Wujud Tuhan, Ibnu Sina memiliki pendapat yang berbeda dari Ibnu Farabi. Ibnu Sina bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat; sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya (wajibul Wujudul Lighairi dan Mumkinul Wujudul Lidzatihi) dalam bahasa Inggris (Necessary by virtue of the Necessary Being dan Possible in essence). Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan, timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit.[10]
Walaupun Ibnu Sina memiliki pandangan yang berbeda dari akal, namun ada pendapat Ibnu Sina yang sama dengan al-Farabi, tentang wujud Tuhan bersifat emanasionistis. Perkataannya dari Tuhannlah Kemaujudan Yang Mesti mengalir Inteligensi pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal, yang mutlak, sesuatu dapat mewujud. Akan tetapi, sifat inteligensi pertama itu tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, inteligensi pertama memunculkan dua kemaujudan, yaitu: pertama, Inteligensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas. Kedua, lingkup pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya kemungkinan alamiahnya.
Dua proses pemancaran ini berjalan terus menerus sampai kita mencapai inteligensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, oleh sebab demikian banyak para filsafat Muslim yang disebut ”Malaikat Jibril”. Nama ini diberikan karena ia memberikan bentuk atau ”memberitahukan” materi dunia ini, yaitu materi fisik dan akal manusia. Oleh karena itu, ia juga disebut ”pemberi bentuk”.[11]
Menurut Ibnu Sina, bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud Tunggal secara mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena ketunggalannya, apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud, tetapi satu unsur anatomik dalam wujud yang Tunggal. Tentang apakah Tuhan itu dann hakikat Tuhan adalah identik dengan eksistensi-Nya. Hal ini bukan merupakan kejadian bagi wujud lainnya, karena tidak ada kejadian lain yang eksistensinya identik dengan esensinya. Dengan kata lain, seorang suku Eskimo yang tidak pernah melihat gajah, maka ia tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan itu sendiri mengetahui bahwa gajah itu ada. Demikian halnya, adanya Tuhan adalah satu keniscayaan, sedangkan adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada mengandung kontradiksi, karena dengan demikian yang lain pun juga tidak akan ada.[12]
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Dialah Allah, maka ia tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi cukup dalil adanya Wujud Pertama, yakni ; Wajibul Wujud. Sedangkan jagad raya ini, yakni mumkinul wujud memerlukan sesuatu sebab (’illat) yang mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah, kita tidak memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Sebagai pembuktian dari wacana di atas, al-Qur’an menggambarkannya dalam Surat Fushshilat ayat 53 yang berbunyi:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”.
b. Filsafat Jiwa
Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tidak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, yakni jiwa yang masih berhajat pada badan.
Pendapatnya juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles menolak suatu pandangan dua subtansi, dua subtansi ini di yakininya sebagai bentuk dari dualisme radikal. Sejauhmana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian merupakan suatu pertanyaan yang berbeda, tentunya Ibnu Sina tidak menggunakan dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan jiwa raga. Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih langsung tentang subtansialitas nonbadan, jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen, tetapi sebagai pembuka mata.[13] Jiwa manusia , sebagai jiwa-jiwa lain segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal kesepuluh.[14] Kemudian Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :
i. Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul Nabatiyah), yakni meliputi beberapa daya;
1. Makan (nutrition),
2. Tumbuh (Growth),
3. Berkembang biak (reproduction)
ii. Jiwa binatang (an-Nafsul Hayawaniah), yakni meliputi bebrapa daya;
1. Gerak (locomotion),
2. Menangkap (perception).
Dua daya ini dibagi lagi menjadi dua bahagian :
a. Menangkap dari luar (al-Mudrikah minal kharij) dengan pancaindera.
b. Menangkap dari dalam (al-Mudrikah minad dakhil) dengan indera-indera yang meliputi : 1) Indera bersama yang menerima segala apa yang dirangkap oleh pancaindera, 2) Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama, 3) Imaginasi yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi, 4) Estimasi yang dapat manangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, umpama keharusan lari bagi kambing dari anjing srigala, 5) Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
iii. Jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) meliputi dua daya ;
Praktis (practical) yang hubungannya adalah dengan badan.
Teoritis (theoritical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak.[15]
Dengan demikian, sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiea tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai Malaikat dan dekat pada kesempurnaan.
Ibnu Sina, meski ia seorang dokter, namun ia sadar bahwa penjelasan mengenai jiwa bukan tugas seorang dokter dan tidak masuk dalam disiplin ilmu tersebut. Oleh karenanya dalam al-qur’an di jelaskan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan jiwa beserta berbagai potensinnya, yang mana para dokter dan filosof berbeda pendapat dalam hal ini. Oleh sebab itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa maalah jiwa adalah urusan filosof. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan ini tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad 10 M. Sampai akhir abad 19 M, maupun pada filsafat scholastik Yahudi dan Masehi terutama tokoh-tokohnya, seperti: Gundisalus, Guillaume, Albert Yong Agung, St. Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Duns Scotf, serta berhubungan dengan pemikiran Descartes tentang hakikat dan adanya jiwa.
c. Filsafat Tentang Ke-Nabian
Mengenai pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi adalah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari filosof karena Nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah payah. Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad.
Banyak para filosof yang membuat tingkatan akal menjadi empat bahagian, di antaranya, Al-Farabi, Nashiruddin Ath-Tusi, dan lainnya. kalau diklasifikasikan akal-akal tersebut seperti di bawah ini:
i. Akal Materil (al’aklul hayulaani) materil intellect yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
ii. Intellectus in habitu (al’aklu bilmalakah) yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak.
iii. Akal Aktuil (al’aklu bilfiil) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
iv. Akal Mustafad (al’aklu mustafaadu) acquired intellect) yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu pada daya dan upaya. Akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini. Akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif (al’aklu fa’aala).[16]
Setelah melihat penjelasan di atas mempunyai empat tingkat dan yang terendah di antaranya ialah ada akal materil atau (al’aklul hayulan). Biasanya akal materil tidak bisa sepenuhnya menangkap hal-hal yang abstrak, namun ketika manusia mempergunakan akal materil ini, Allah menganugerahkan kepada manusia agar akal materil dapat bekerja lebih besar lagi. Dalam hal ini Ibnu Sina memberi nama al-hadas yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materil serupa ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akhirnya aka ini menjadi tinggi, dan diperoleh bagi manusia-manusia terkhusus pada pilihan Allah mereka yang mendapatkannya adalah para Nab-Nabi Allah.
Jadi wahyu dalam pengertian di atas yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak diragukan lagi karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong? Kecuali kalau Nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, Nabi berhak mendapat mendapatkan derajat seorang filosof.
Salah satu ungkapan Ibnu Sina tentang perihala Nabi yakni; Ada wujud yang berdiri sendiri dan ada pula yang tidak berdiri sendiri. Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua. Ada bentuk dan substansi yang tidak berada dalam meteri dan ada pula yang berada dalam materi. Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua, selanjutnya ada hewan yang rasional (manusia) dan ada pula hewan yang tidak rasional (binatang). Yang pertama lebih unggul daripada yang kedua …selanjutnya ada manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara langsung (tanpa latihan, tanpa belajar keras) dan ada pula yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara tidak langsung (yakni melalui latihan dan studi), maka yang pertama yakni para Nabi yang lebih unggul daripada yang kedua, yakni para filsuf. Para Nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan dalam lingkungan makhluk-makhluk materi. Karena yang lebih unggul harus memimpin segenap manusia yang diunggulinya.[17]
Menurut Ibnu Sina, seorang Nabi sangat identik dengan akal aktif, dan sepanjang identitas ini masih berlaku, akal aktif itu disebut ‘Aql Mustafad (akal yang telah dicapai). Namun, Nabi manusia tidak identik dengan akal aktif. Dengan demikian, pemberi wahyu dalam satu internal dengan Nabi, dalam hal lain, yaitu sepanjang pengertian pemberi wahyu , yaitu manusia yang eksternal dengannya. Oleh sebab itu, Nabi dalam hal sebagai manusia secara “aksidental” bukan secara esensial, adalah akal aktif (untuk pengertian istilah “aksidental”).[18]
C. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Sina sependapat dengan al-Farabi mengenai filsafat jiwanya. Ibnu Sina dapat berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat, yaitu: Sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan Sifat mungkin wujudnya, jika ditinjau dari hakikat dirinya.
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa yaitu tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuhan atau hewan mempengaruhi seseorang maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan proses emanasi tersebut memancar segala yang ada.
Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).
Pemikiran tentang kenabian menjelaskan bahwa nabi merupakan manusia yang paling unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha yang keras.
DAFTAR PUSTAKA
A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986
Dahlan, Abdul Azis, Filsafat” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Cet. Ke. 2 Jilid. 4, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam terj. R. Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986
Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004
Nasution, Harun, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
---------------------, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Universitas Indonesi, 1983
Nasution, Hasyimsah, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002
Syarif, M.M. History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
[1] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 188
[2] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX,( Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 34
[3] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam terj. R. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hlm. 191
[4] Ibid., hal. 190
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 93
[6] M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), hal. 102
[7] Shams Innati, Ibnu Sina dalam, Sayyed Hosen Naser dan Oliver Leaman (edt), Ensiklopedia …, hlm. 286.
[8] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 190
[9] Shams Innati, Ibnu Sina dalam, Sayyed Hosen Naser dan Oliver Leaman (edt), Ensiklopedia …, hlm. 287
[10] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ... , hlm. 35
[11] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam … , hlm.129
[12] M. M. Syarif, Para filosof …, hlm. 104
[13] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam … , hlm.138
[14] Akal Kesepuluh dimaksud adalah akal Mustafad (al’aklu mustafad), yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya; akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini; akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif (aklul fa’al). Lihat, Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam …, hlm. 37.
[15] Ibid , hlm. 36
[16] Ibid,. hlm.37
[17] Abdul Azis Dahlan, Filsafat” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Cet. Ke. 2 Jilid. 4, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003), hlm. 202
[18] M. M. Syarif, Para filosof …, hlm.104
Materi kuliah filsafat islam ini gan.., sangat membantu dan lengkap sekali thank you :)
ReplyDeleteberhati-hatilah wahai para ilmuan, bahwa anda mulia dengan ilmu anda tetapi ketika anda terseret ke dunia politik yg hanya ada intrik-intrik saja maka bisa jadi habis masa kebesarannya
ReplyDeleteTerimakasih Gan, artikelnya sangat bermanfaat, bisa dijadikan picuan bagi generasi muda umat Islam
ReplyDeleteKARENA INI SALAH SATU MATERI KULIAH SAYA MAKA ARTIKEL INI SANGAT MEMBANTU DALAM PEMBENDAHARAAN REFERENSI SAYA
ReplyDeleteKALAU BISA MASALAH ILMU FILSAFAT INI DIPERBANYAK AGAR KITA/ MASYARAKAT LEBIH FAHAM LAGI
ReplyDeleteTerimah Kasih Atas Infonya cukup bermanfaat bagi saya
ReplyDeleteTerimah Kasih Atas Penjelasannya Cukup Menarik
ReplyDeleteTerimah Kasih Atas Penjelasannya Cukup Menarik
ReplyDeleteterimahkasih infonya
ReplyDeleteBaca tentang kesesatan ibnu sina
ReplyDeletehttps://aslibumiayu.wordpress.com/2014/07/19/ibnu-sina-banyak-kaum-muslimin-yang-kagum-padanya-tahukah-anda-apa-akidahnya/
Ibnu Sina itu Seorang ATHEIS, Yang KUFUR KEPADA ALLAH, kepada para MalaikatNya, Kufur kepada Kitab-kitab Nya, Kufur kepada Rasul-Rasul Nya dan Kufur kepada hari Kiamat.”(Ighatsatul.Lahfan 11 : 267)
ReplyDeleteIbnul Jauzi al-Qurasyiy al-Baghdadiy rahimahullah berkata : “Kebanyakan AhIi Filsafat berkeyakinan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak mengetahui sesuatu?? Ibnu Sina berkeyakinan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak mengctahui yang partial?? Mereka adalah orang-orang yang PANDIR YANG TELAH DIHIASI OLEH IBLIS.”
ReplyDelete(Talbiisu Iblis oleh Ibnu Jauzi hal : 47, Tahqiq Mahmud Mahdi al-Istambuli cet. Muassasah ‘ulumul Qur’an-Damaskus).
Berkata Dr.Shabir Tha’iimah rahimahullah: “Aqidah kebathinan yang dianut oleh sekte Qaramithah, Isma’iliyah dan Nushairiyah adalah KAFIR karena mereka menolak Rukun Iman dan hukum-hukum Islam, dan mereka telah dipengaruhi oleh Filsafat Yunani, Persia dan India. Mereka mengaku-ngaku dirinya sebagai orang-orang Muslim? Padahal mereka sangat jauh dari Islam dan kaum Muslimin. Di antara tokoh-tokohnya ialah : Ibnu Mulkan, Ibnu Sab’in, IBNU ‘ARABY, AL-HALLAJ, IBNU SINA DAN dan yang selain mereka.” (Lihat al-’Aqaaid al-Bathiniyyah wa hukmul Islam fiiha halaman 242 s/d 249).
ReplyDeleteorang ini lebih berbahaya daripada orang kafir asli
ReplyDeletebenar
DeleteMasya Allah, ijin Share kak
ReplyDeletegood
ReplyDelete