Thursday 28 March 2013

EPISTEMOLOGI ISLAM MUHAMMAD ABID AL-JABIRI

A.       Pendahuluan

Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan.[1] Pengetahuan adalah semua yang diketahui.[2]Epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari.[3]

Dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi penting, sebab ia menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya. Bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lain.[4] Perbedaan titik tekan dalam epistemologi memang besar sekali pengaruhnya dalam konstruksi bangunan pemikiran manusia secara utuh. Pandangan dunia manusia akan terpengaruh bahkan dibentuk oleh konsepsinya tentang epistemologi.[5] Oleh karena itu perlu pengembangan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas. Sehingga diharapkan epistemologi Islami akan lahir dan memberi jawab atas kegelisahan umat dewasa ini.[6] Sehubungan dengan masalah tersebut maka di sini akan dibahas tentang epistemologi Islam yang digagas oleh Muhammad Abid al-Jabiri, seorang cendekiawan muslim yang kini banyak dirujuk oleh cendekiawan muslim Indonesia.

B.        Sekilas Biografi Muhammad Abid Al Jabiri

Muhammad Abid Al Jabiri adalah dosen filsafat dan pemikiran Islam di Fakultas Sastra, Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko. Dilahirkan di Figuig, Maroko Tenggara, tahun 1936. Beliau pertama kali masuk sekolah agama, kemudian sekolah swasta nasional (madrasah hurrah wathaniah) yang didirikan oleh gerakan kemerdekaan. Dari tahun 1951-1953, beliau belajar disekolah lanjutan setingkat dengan SMA milik pemerintahan Casablanca. Seiring dengan kemerdekaan Maroko, beliau melanjutkan pendidikan  sekolah tingginya setingkat diploma pada Sekolah Tinggi Arab dalam bidang Ilmu Pengetahuan (science section). Pada tahun 1959 Al-Jabiri memulai studi filsafat di Universitas Damaskus, Syria, tetapi satu tahun kemudian beliau masuk di Universitas Rabat yang baru didirikan. Pada tahun 1967 beliau menyelesaikan ujian Negara dengan tesisnya yang berjudul, “The Philosophy of History of Ibn Khaldun” , (filsafat al-tarikh ‘inda Ibn Khaldun dibawah bimbingan M. Aziz Lahbabi). Dan menyelesaikan program doktornya pada almamater yang sama pada tahun 1970,  dengan disertasi berjudul “Fikr Ibn Khaldun al-Asabiyyah wa ad-Daulah: Ma’alim Nazariyyah Khalduniyyah fi at-Tarikh al-Islami” (Pemikiran Ibn Khaldun. Asabiyah dan Negara: Rambu-Rambu Paradigmatik Pemikiran Ibn Khaldun dalam Sejarah Islam).[7]

            Pada decade 50-an, ketika masih kuliah di Universitas Muhammad V, Jabiri banyak membaca dan mempelajari ajaran Marxisme yang memang tumbuh subur di dunia Arab saat itu. Ia bahkan mengaku sebagai seorang yang mengagumi ajaran Marx. Kenyataan ini bukanlah sesuatu yang aneh. Sebagai seseorang ynag lahir dan tumbuh di negara bekas protektoriat Prancis, al-jabiri tidak kesulitan untuk mengakses buku atau pemikiran berbahasa Prancis, termasuk pemikiran kaum strukturalis. post-strukturalis maupun post-modernis  yang rata-rata lahir di Prancis. Akan tetapi Ia kemudian meragukan efektifitas pendekatan Marxian dalam konteks sejarah pemikiran Islam.[8]

            Berdasarkan metode yang digagasnya, al-Jabiri mulai meneliti tentang kebudayaan dan pemikiran Islam. Namun, dalam hal ini dia membatasi diri hanya pada Islam-Arab, pada teks-teks yang ditulis dengan bahasa Arab, tidak mencakup teks-teks non-Arab seperti teks-teks Persia, meski ditulis oleh cendikiawan muslim. Selain itu Ia juga membatasi diri pada persoalan epistemologi, yakni mekanisme berfikir yang mendominasi kebudayaan Arab dalam babak-babak tertentu. Karena itu, karya-karya al-Jabiri tidak akan membahas persoalan-persoalan seperti, ortodoksi, wahyu, mitos, imajiner, symbol atau persoalan teologis yang lain seperti yang dominant terdapat dalam karya-karya tokoh lain contohnya Arkoun.[9]

            Proyek al-Jabiri yang sangat monumental adalah Naqd al-‘Aql al-‘Arabi (kritik nalar arab).[10] Mungkin menjadi pertanyaan dalam bentuk kaum muslimin mengapa buku tersebut “Nalar Arab” bukan “Nalar Islam”. Al-Jabiri tidak menjelaskan posisinya mengapa memakai sebutan “Nalar Arab”, bukan “Nalar Islam”, selain alasan-alasan bahwa literature-literatur yang digelutinya adalah literatur klasik berbahasa Arab dan lahir dalam lingkungan geografis, cultural, dan social-politik masyarakat Arab.[11]

            Dalam buku tersebut al-Jabiri menjelaskan, bahwa apa yang dikatakan oleh teks dan apa yang tidak dikatakan (not-said), dalam pandangannya, merefleksikan ketegangan antara beberapa jenis nalar yang muncul saat itu. Dan ini penting bagi al-Jabiri yang ingin menjadikan teks tersebut sebagai titik tolak bagi kemunculan apa yang disebutnya sebagai nalar bayani, ‘irfani dan burhani. Kritik nalar Arab ini terbagi atas dua seri, seri pertama yang berjudul “Takwin al-‘Aql al-‘Arabi”, Muhammad Abid al-Jabiri mengkonsentrasikan analisisnya pada proses-proses histories, baik epistemologis, maupun ideologis, yang memungkinkan terbentuknya nalar-nalar bayani, ‘irfani, dan burhani, termasuk interaksi diantara ketiga nalar tersebut beserta kritis-kritis yang menyertainya.[12]

Sementara pada Bunyah al-‘Alq al-Arabi,[13] seri yang kedua, ia berupaya menyingkap struktur internal masing-masing ketiga nalar ini, lengkap dengan segenap basis epistemologinya. Kelebihan seri kedua ini terletak pada konklusi yang diberikan al-Jabiri pada bagian akhir, yang diantaranya menyatakan bahwa nalar (dalam pengertian yang dikemukakan diatas) yang kita terima saat ini yang kita pakai untuk menafsirkan, menilai, dan memproduksi pengetahuan, adalah nalar yang tidak pernah berubah sejak awal diresmikan dari masa tadwin, sehingga dari sini ia menegaskan perlunya membangun satu babak tadwin  baru agar kita bias melampaui konservatisme jenis nalar tersebut yang tidak berubah sejak dua belas abad lalu hingga kini. Tentu banyak argument yang dikerahkan oleh al-Jabiri untuk menunjukkan asal-usul dan factor-faktor apa saja yang mendorong konservatisme tersebut.[14] Namun demikian dalam tulisan ini tidak mengupas secara mendetail paparan Muhammad al-Jabiri tentang seluk-beluk ketiga epistemologi tersebut.

C.        Epistemologi Bayani

1.      Pengertian Bayani

Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus lisan al Arab mengartikan sebagai al fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannya dengan metodologi dan al dhuhur wa al idhar (jelas dan penjelasan) berkaitan dengan visi dari metode bayani.[15]

Sementara itu, secara terminology bayan mempunyai dua arti (1) sebagai aturan penafsiran wacana, (2) sebagai syarat-syarat memproduksi wacana. Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna etimologis ini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwin). Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahiami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.

2.      Perkembangan Bayani

Pada masa Syafi’i (767-820 M), bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul/pokok dan yang berkembang hingga ke furu’ atau cabang. Dari segi metodologi, Syafi’i membagi bayan dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu: 1) Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam al Qur’an sebagai ketentuan bagi makhlukNya, 2) Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, 3) Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, 4) Bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al Qur’an, 5) Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al Qur’an maupun sunnah. Dari lima derajat bayan tersebut, Syafi’I kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada tiga yaitu al Qur’an, sunnah dan qiyas, kemudian ditambah ijma.[16]

Al-Jahizh (868 M) mengkritik konsep Syafi’i di atas. Menurutnya, apa yang dilakukan Syafi’i baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Padahal, menurutnya inilah yang terpenting dari proses bayani. Karena itu, sesuai dengan asumsinya bayan adalah syarat syarat untuk memproduksi wacana dan bukan sekedar aturan aturan penafsiran wacana. Jahizh menetapkan lima syarat bagi bayani yaitu : 1) kefasihan ucapan, 2) seleksi huruf dan lafat, 3) adanya keterbukaan makna, 4) adanya kesesuaian antara kata dan makna, 5) adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan kebenaran yang disampaikan dan mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri.

Sampai disini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sekedar penjelas atas kata kata sulit dalam al-Qur’an tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana memahami sebuah teks, Membuat kesimpulan atasnya, Kemudian memberikan uraian secara sistematis atas pemahaman tersebut kepada pendengar bahkan sebagai alat untuk memenangkan perdebatan. Akan tetapi, Apa yang ditetapkan jahiz pada masa berikutnya dianggap kurang tetap dan sistematis. Menurut Ibnu Wahab, Bayani bukan diarahkan untuk mendidik pendengar tetapi sebuah metode untuk membangun konsep ashul furu’ caranya dengan menggunakan paduan pola yang dipakai ulama fikih dan kalam.

Paduan antara metode fikih yang eksplanatoris dan theology yang dialektik dalam rangka membangun epistemology bayani baru ini sangat penting, Karena menurutnya apa yang perlu penjelasan tidak hanya teks suci tetapi mencakup 4 hal yaitu : 1) Wujud materi yang mengandung aksiden dan subtansi, 2) Rahasia hati yang member keputusan bahwa sesuatu itu benar-salah dan subhat, saat terjadi proses perenungan, 3) Teks suci dan ucapan yang mengandung banyak dimensi, 4) Teks-teks yang merupakan representasi pemikiran dan konsep. Dari 4 macam obyek ini Ibnu Wahab menawarkan 4 macam bayani yaitu: 1) Bayan Al itibar, 2) Bayan Al itiqod, 3) Bayan Al ibaroh, 4) Bayan Al-kitab

Pada periode terakhir , muncul alsyatibi ( 1388 M ) menurutnya , sampai sejauh itu bayan belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti (qoth’i) tapi baru derajat dugaan ( dhzon) sehingga tidak bisa di pertanggung jawabkan secara rasional. Dua teori utama dalam bayani yaitu istinbat dan qiyas hanya berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan. Oleh karena itu Al-Syatibi menawarkan 3 teori yaitu : 1) Al-istintaj, 2) Al-isthiqro’, 3) Al-maqosid asyari’.

3.      Metode Bayani

Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas (analog) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Dalam kajian ushul fikih, qiyas diartikan memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, Karena adanya kesamaan illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas: 1) Adanya al-Ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran, 2) al-far yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash,3) hukum al-ashl yakni ketetapn hukum yang diberikan oleh ashl, 4) illah yakni keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar ketetapan hukum Ashl .[17]

Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari qurmah. Arak dari perasan kurma disebut far (cabang ) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash dan ia akan di qiyaskan dalam khomr. Khamr adalah ashl atau pokok sebab terdapat dalam teks (nash) Dan hukumnya haram, alasanya (illah) Karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr , yakni sama sama memabukkan.

Menurut jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam epistemologi bayani digunakan dalam 3 aspek yaitu : 1) qiyas jali , dimana far mempunyai persaolan hokum yang kuat di banding ashl , 2) qiyas fi makna an nash dimana ashl dan far mempunyai derajat hokum yang sama, qiyas al-kahfi dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid. Menurut Abd al jabar, seorang pemikir teologi muktazilah, metode qiyas bayani diatas tidak hanya untuk menggali pengetahuan dari teks tetapi juga bisa dikembangkan dan digunakan untuk mengungkapkan persoalan non fisik ( ghoib).[18]

D.       Epistemologi Irfani

1.      Pengertian Irfani

Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘arafah semakna dengan makrifat berarti pengetahuan. Tapi ia berbeda dengan ilmu. Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman sedangkan ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasianalitas (aql). Karena itu, secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambaNya setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta.[19]

2.      Perkembangan Irfani

Perkembangan irfani secara umum dibagi dalam 5 fase. Pertama, fase pembibitan, Terjadi pada abad pertama hijriyah. Apa yang disebut baru ada dalam bentuk prilaku zuhud. Kedua, Fase kelahiran terjadi pada abad kedua hijriyah. Jika awalnya zuhud dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini, ditangan Robiah al adawiyah ( 801 M ) zuhud dilakukan atasa dasar cinta pada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala. Ketiga, Fase pertumbuhan terjadi abad 3 – 4 H, Para tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlak). Keempat, fase puncak terjadi pada abad ke- 5 H. Pada periode ini Irfan mencapai masa gemilang. Irfan menjadi jalan yang jelas karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan. Kelima, fase spesikasi terjadi abad ke-6 dan 7 H berkat pengaruh al ghozali yang besar, Irfan menjadi semakin dikenal dan berkembang dalam masyarakat islami . Pada fase ini, secara epistemologi irfan telah terpecah dalam 2 aliran yaitu irfan sunni dan irfan teoristis. Keenam, fase kemunduran terjadi abad ke -8 sejak abad itu, irfan tidak mengalami perkembangan bahkan mengalami kemunduran.

3.      Metode Irfani

Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.[20]

Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak (1) Taubat, (2) Wa r a `, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhât, (3) Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia. (4) Faqir, mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan, dan tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt, (5) Sabar, menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela. (6)Tawakkal, percaya atas segala apa yang ditentukan-Nya. (7) Ridla, hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan sukacita.

Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd) yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘ilmu huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self-object-knowledge).

Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.

Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi batin yang diperoleh darikasyf tersebut diungkapkan? Pertama, diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalamkasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Kedua, diungkapkan lewatsyathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atau Ana al-Haqq dari al-Hallaj (w. 913 M). Karena itu, syathahat menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran

E.        Epistemologi Burhani

1.      Pengertian Burhani

Dalam bahasa Arab al-burhan berarti argumen yang jelas. Bahasa latinnya berarti demonstration yang berarti al-isyarah (isyarat/tanda), al-washf (sifat), al-bayan (penjelasan), al-idzhar (menampakkam).[21] Secara umum ia berarti pembuktian untuk membenarkan sesuatu.[22]

Sebagai aktifitas kognitif, demonstrasi adalah inferensi rasional yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan konklusi yang bernilai.[23] Sebagai lapangan kognitif, demonstrasi ini adalah dunia pengetahuan filsafat dan sains yang diderivasikan dari gerakan tranlasi buku-buku asing, khususnya karya Aristoteles ke dalam peradaban Arab. Karena penerjemahan buku-buku itu dilatari oleh kehendak politik untuk mendukung akal retoris melawan serbuan tren akal gnostis, maka tidak heran kalau dalam praktiknya latar belakang ini mempunyai pengaruh yang dominan. Dan terjadilah hubungan yang sangat erat antara keduanya dalam tataran pemikiran teologi / filsafat.[24]

Dari sini, kita bisa menganalisis proses akulturasi tren ini ke dalam peradaban Arab menurut perspektif epistemologisnya, menurut dua poros berikut. Pertama, dalam kaitannya dengan metodologi yaitu dengan menggunakan pendekatan pasangan epistemologisnya (al-lafdz/al-ma’na) yang sejajar dengan pasangan pertama dalam tren akal retoris dan kedua berkaitan secara khusus dengan pola pandang, yaitu dengan menggunakan pasangan epistemologis al-ashl/al-far’ dan pasangan al-jauhar/al-‘ardh dalam tren akal retoris.[25]

2.      Perkembangan Burhani

Prinsip burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan istilah metode analitik (tahlili) yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan atas proposisi tertentu. Pada masa Alexander Aprodisi murid serta komentator Aristoteles, digunakan istilah logika dan ketika masuk pada khasanah pemikiran Islam berganti nama menjadi Burhani. Cara berfikir analitik Aristoteles ini masuk kedalam pemikiran Islam pertama kali lewat progam penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan Al makmun. Sarjana pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode Burhani adalah al Khindi. Namun , karena masih dominannya kaum bayani dan minimnya referensi maka metode burhani tidak begitu bergema. Metode Burhani ini semakin berkembang dalam system pemikiran Islam Arab setelah masa al-Rozi. Metode Burhani akhirnya benar benar mendapat tempat dalam system pemikiran islam setelah masa al farabi.

3.      Metode Burhani

Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, burhani menggunakan aturan silogisme. Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat, (1) mengetahui latar belakang dari penyusunan premis, (2) adanya konsistensi logis antara alasan dan keismpulan, (3) kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian lain.

Al-Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan, menyakinkan. Suatu premis bisa dianggap menyakinkan bila memenuhi tiga syarat; (1) kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik, (2) kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain darinya, (3) kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya. Selain itu, burhani bisa juga menggunakan sebagian dari jenis-jenis pengetahuan indera, dengan syarat bahwa objek- objek pengetahuan indera tersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati, dimanapun dan kapanpun, dan tidak ada yang menyimpulkan sebaliknya.

Derajat dibawah silogisme burhani adalah ‘silogisme dialektika’, yang banyak dipakai dalam penyusunan konsep teologis. Silogisme dialektik adalah bentuk silogisme yang tersusun atas premis-premis yang hanya bertarap mendekati keyakinan, tidak sampai derajat menyakinkan seperti dalam silogisme demonstratif. Materi premis silogisme dialektik berupa opini-opini yang secara umum diterima (masyhûrât), tanpa diuji secara rasional. Karena itu, nilai pengetahuan dari silogisme dialektika tidak bisa menyamai pengetahuan yang dihasilkan dari metode silogisme demonstratif. Ia berada dibawah pengetahuan demontratif.

F.         Kesimpulan

Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.

Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi padakasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.

Berbeda dengan bayani danirfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi furû` kepada yang asal; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio inilah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

Abied Shah, Muhammad Aunul dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri”,

Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, Kritik Pemikiran Islam Wacana Baru Filsafat Islam, alih bahasa, Burhan, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003

Al-Jabiri, Muhammad Abed,  Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991

Al Jabiri, Muhammad Abed, Post Tradisionalisme Islam, Terj, Ahmad Baso, Yogyakarta: LKiS, 2000

Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid,  Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991). Dan telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.  Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab Kritik Tradis Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interrelegius, alih bahasa, Imam Khoiri, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003

Hadi, P. Hardono,  Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), Yogyakarta: Kanisius, 1994

Nicholson, Reynold A. Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, terj. A. Nashir Budiman, Jakarta: Rajawali, 1987

Syafrin, Nirwan, “Kritik terhadap ‘Kritik Akal Islam’ al-Jabiri”, Islamia, THN I No. 2/Juni-Agustus 2004

Soleh, A. Khudori,  M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam, dalam, A. Khudori Soleh, (edt), Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003

Tafsir, Ahmad,  Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006

[1] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 243

[2] Dilihat dari segi motif pengetahuan diperoleh melalui dua cara. Pertama, pengetahuan yang diperoleh begitu saja, tanpa niat, tanpa motif, tanpa keingintahuan dan tanpa usaha. Kedua, pengetahuan yang didasari motif ingin tahu. Pengetahuan jenis ini sangat penting karena ia didasarkan logika dan bukti empiris. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 4-6.

[3] Namun ia diperlukan sebagai upaya untuk mendasarkan pembicaraan sehari-hari pada pertangungjawaban ilmiah. P. Hardono Hadi, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 6-7

[4] Nirwan Syafrin, “Kritik terhadap ‘Kritik Akal Islam’ al-Jabiri”, Islamia, THN I No. 2/Juni-Agustus 2004, 43.

[5] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, 261.

[6] Ibid, 262

[7] Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Kritik Pemikiran Islam Wacana Baru Filsafat Islam, alih bahasa, Burhan, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), dalam pengantar, hlm. vi-viii.

[8] A. Khudori Soleh, M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam, dalam, A. Khudori Soleh, (edt), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 232.

[9] A. Khudori Soleh, M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam, dalam, A. Khudori Soleh, (edt), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 232.

[10] Muhammad Abed Al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991).

[11] Muhammad Abed Al Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, Terj, Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS, 2000), kata pengantar, hlm. xxviii.

[12] Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991). Dan telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab Kritik Tradis Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interrelegius, alih bahasa, Imam Khoiri, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003).

[13] Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991).

[14] Muhammad Abed Al Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, alih bahasa, Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS, 2000), kata pengantar, hlm. xxviii.

[15] Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 60

[16] A. Khudori Soleh, M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam, dalam, A. Khudori Soleh, (edt), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 182

[17] Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Bairut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1992), hlm. 146-147; Bandingkan dengan A. Khudori Sholeh, Wacana Baru…,   hlm. 188-189.

[18]Ibid

[19] Reynold A. Nicholson, Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, terj. A. Nashir Budiman (Jakarta: Rajawali, 1987), hlm. 68

[20] A. Khudori shaleh, Wacana Baru …, hlm. 204

[21] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Araby, 383

[22] Ibid

[23] Muhammad Aunul Abied Shah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri”, 317

[24] Ibid

[25] Ibid.,318 

5 comments: