Saturday 16 February 2013

PEMIKIRAN PENDIDIKAN RAHMAH EL-YUNUSIA

BAB I

PENDAHULUAN

Mungkin ada yang belum mengetahui, bahwa Indonesia memiliki bunga srikandi yang senantiasa bermekaran dari musim ke musim. Bahkan semerbaknya yang dapat dicium tanpa lekang melewati masa, mampu menginspirasi bagian dunia lain untuk memandang perspektif baru. Ya, dialah Rahmah el Yunusiah. Karena Rahmah-lah, Universitas Al-Azhar, Kairo memulai tradisi baru, memberi gelar Syaikhah (Perempuan Guru Besar) yang belum pernah ada presedennya.

Rahmah el Yunusiah merupakan putri dari pasangan Rafi'ah dan Muhammad Yunus bin Imanuddin yang lahir pada 1 Rajab 1318 atau 20 Desember 1900. Ayahnya adalah seorang tokoh agama terkemuka, sementara garis leluhurnya terhubung dengan Haji Miskin, salah seorang Harimau nan Salapan pada Perang Paderi sekaligus tokoh pembaharu keagamaan.

Menurut Rahmah, seorang perempuan memiliki persoalan yang kompleks dan rumit. Namun kaum perempuan pun enggan bertanya, hingga terus terkungkung dalam jeratan kebodohan. Mereka bahkan menganggap bahwa posisinya sebagai sosok lemah dan serba terbatas adalah kehidupan yang memang harus dijalani.

Padahal perempuan memiliki perang yang penting dalam kehidupan. Darinyalah ia akan mendidik dan mengendalikan jalur kehidupannya. Rumah tangga adalah tiang masyarakat, sedangkan masyarakat adalah tiang negara, demikian gambaran Rahmah tentang fungsi perempuan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI

Rahmah El-Yunusiah adalah Ia anak bungsu dari lima bersaudara, lahir dari pasangan Muhammad Yunus bin Imanuddin dan Rafiah, pada 29 Desember 1900/1
Rajab 1318 H, di Bukit Surungan, Padang Panjang. Ayah Rahmah el-Yunusiyah, Syekh Muhammad Yunus adalah seorang ulama besar di zamannya. Syekh Muhammad Yunus (1846-1906 M) menjabat sebagai seorang Qadli di negeri Pandai Sikat dan pimpinan Tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah. Selain itu Syekh Muhammad Yunus juga ahli ilmu falak dan hisab. Ia pernah menuntut ilmu di tanah suci Mekkah selama 4 tahun. Ulama yang masih ada darah keturunan dengan pembaharu Islam yang juga seorang tokoh Paderi Tuanku Nan Pulang di Rao. Ibunda Rahmah el-Yunusiyah yang biasa disebut Ummi Rafi’ah, nenek moyangnya berasal dari negeri Langkat, Bukittinggi Kabupaten Agam dan pindah ke bukit Surungan Padang Panjang pada abad XVIII M yang lalu. Ummi Rafi’ah masih berdarah keturunan ulama, empat tingkat diatasnya masih ada hubungan dengan mamak Haji Miskin, sang pembaharu gerakan Paderi. Ummi Rafi’ah yang bersuku Sikumbang.

Sejak kecil ia hanya mendapat pendidikan formal sekolah dasar 3 tahun di kota kelahirannya. Kemampuannya baca tulis Arab dan Latin diperoleh melalui sekolah Diniyah School (1915) dan bimbingan kedua abangnya, Zaenuddin Labay
dan Muhammad Rasyid. Sore hari ia mengaji kepada Haji Abdul Karim
Amrullah alias Haji Rasul, ayahanda Haji Abdul Malik Karim Amrullah
(Hamka) di surau Jembatan Besi, Padang Panjang.

Tamat dari Diniyah School, ia mengaji pada Tuanku Mudo Abdul Hamid
Hakim, Syekh Abdul Latif Rasyidi, Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan
Syekh Daud Rasyidi. Sambil mengajar di Diniyah School Putri, ia mengikuti kursus kebidanan di Rumah Sakit Kayu Taman dengan bimbingan Kudi Urai dan Sutan Syahrir, kemudian mendapat izin praktik (1931-1935).

Pada 1 November 1923 dia mendirikan sekolah untuk kaum perempuan dengan nama Madrasah Diniyah lil al-Banat yang dipimpin selama 46 tahun. Ia juga mendirikan Diniyah School Putri di Kwitang dan Tanah Abang pada 2 dan 7 September 1935, di Jatinegara dan Rawasari, Jakarta, pada 1950. Tidak saja untuk pendidikan dasar, tapi berlanjut sampai perguruan tinggi.

Selain berkiprah di dunia pendidikan, ia juga aktif berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Bahkan pada era kemerdekaan, ia bergabung dalam berbagai organisasi sosial dan politik. Kiprahnya dimulai dari pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 2 Oktober 1945, kemudian mengayomi lasykar pejuang yang dibentuk oleh organisasi Islam seperti Hizbullah dan Sabilillah, memimpin dapur umum untuk TNI dan lasykar pejuang di Padang Panjang.

Pada 1952-1954 ia menjadi anggota Dewan Pimpinan Pusat Masyumi di
Jakarta, dan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1955-1958). Pada 1958 itu berseberangan dengan Presiden Soekarno yang kala itu lebih condong kepada PKI. Itu sebabnya ia kembali ke dunia pendidikan dengan meningkatkan kualitas Diniyah School Putri.

Kiprahnya dalam dunia pendidikan mendapat perhatian Rektor Universitas
Al-Azhar, Kairo, Dr. Syekh Abdurrahman Taj, yang sempat berkunjung ke Diniyah School Putri pada 1955. Pada 1957, ia mendapat gelar sebagai Syaihah oleh Universitas Al-Azhar, setara dengan Syekh Mahmoud Salthout, mantan Rektor Al-Azhar. Ia bepulang ke Rahmatullah pada Rabu 26 Februari 1969 (9 Zulhijah 1388).

Core Vreede dan De Stuers menyatakan ketokohan Rahmah dari dua sisi pertama seperti Ki Hajar Dewantara karena mendirikan sebuah lembaga pendidikan atas inisiati sendiri. Kedua seperi Kartini karena berjuang memperbaiki posisi perempuan melalui pendidikan.

B. RAHMAH EL-YUNUSIYAH DAN PENDIDIKAN PEREMPUAN

Rahmah memandang mempunyai peranan penting dalam kehidupan. Perempuan adalah pendidik pertama dan utam bagi anak-anak yang akan menjadi generasi penerus bangsa. Atas dasar itu, untuk meningkatkan kualitas dan memperbaiki kedudukan perempuan diperlukan pendidikan khusus kaum perempuan yang diajarkan oleh kaum perempuan sendiri. Dalam hal ini perlu adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan kaum perempuan, baik di bidang intelektual, kepribadian ataupun keterampilan.

Cita-cita pendidikan Rahmah diwujudkannya dengan mendirikan Diniyah Putri pada 1923. Melalui lembaga pendidikan ini Rahmah el-Yunusiyah, memperluas misi kaum modernis untuk menyediakan sarana pendidikan bagi kaum perempuan yang akan menyiapkan mereka menjadi warga yang produktif dan muslim yang baik. Ia menciptakan wacana baru di Minangkabau dan meletakkan tradisi baru dalam pendidikan bagi kaum perempuan di kepulauan Indonesia. Diniyah Putri adalah akademi agama pertama bagi putri yang didirikan di Indonesia.

Anak–anak perempuan dan perempuan dewasa mungkin saja mendapat dorongan untuk mengaji Al-Qur’an dan shalat; tetapi tidak seperti kaum laki–laki, mereka memiliki sedikit peluang untuk dapat melek aksara Melayu yang menjadi bahasa nasional Indonesia, atau Belanda, sebagai bahasa pendidikan modern. Rahmah el-Yunusiyah percaya bahwa kaum perempuan membutuhkan model pendidikan tersendiri yang terpisah dari laki–laki, karena ajaran Islam memberikan perhatian khusus kepada watak dan peran kaum perempuan dan mereka membutuhkan lingkungan pendidikan tersendiri di mana topik–topik ini bisa dibicarakan secara bebas.

Rahmah merasa bahwa pendidikan bersama (campuran) membatasi kemampuan kaum perempuan untuk menerima pendidikan yang cocok dengan kebutuhan mereka. Rahmah ingin menawarkan kepada anak–anak perempuan pendidikan sekuler dan agama yang setara dengan pendidikan yang tersedia bagi kaum laki–laki, lengkap dengan program pelatihan dalam hal keterampilan yang berguna sehingga kaum perempuan dapat menjadi anggota masyarakat yang produktif. Hal inidapat disimak dari perkataannya sebagai berikut:

“Diniyah School putri akan selalu mengikhtiarkan penerangan agama dan meluaskan kemajuannya kepada perempuan-perempuan yang selama ini susah mendapatkan penerangan agama Islam dengan secukupnya dari kaum lelaki lantaran perempuan segan bertanya kepadanya. Inilah yang menyebabkan terjauhnya perempuan Islam dari penerangan agama sehingga menjadikan kaum perempuan itu rendam karam ke dalam kejahilan. …Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya…Jika kakanda bisa, kenapakah saya, adiknya, tidak bisa. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa.”

Tujuan pendidikan perempuan menurut Rahmah adalah meningkatkan kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat melalui pendidikan modern yang berlandaskan prinsip–prinsip Islam. Ia percaya bahwa perbaikan posisi kaum perempuan dalam masyarakat tidak dapat diserahkan kepada pihak lain, hal ini harus dilakukan oleh kaum perempuan sendiri. Melalui lembaga seperti itu, ia berharap bahwa perempuan bisa maju, sehingga pandangan lama yang mensubordinasikan peran perempuan lambat laun akan hilang dan akhirnya kaum perempuan pun akan menemukan kepribadiannya secara utuh dan mandiri dalam mengemban tugasnya sejalan dengan petunjuk agama. Rahmah selalu memohon petunjuk kepada Allah perihal cita–citanya itu, sebagaimana tertuang dalam doanya yang ditulis di buku catatannya:

Ya Allah Ya Rabbi, bila ada dalam ilmu-Mu apa yang menjadi cita–citaku ini untuk mencerdaskan anak bangsaku terutama anak-anak perempuan yang masih jauh tercecer dalam bidang pendidikan dan pengetahuan, ada baiknya Engkau ridhai, maka mudahkanlah Ya Allah jalan menuju cita–citaku itu. Ya Allah, berikanlah yang terbaik untuk hamba-Mu yang lemah ini. Amin.

Cita – citanya dalam bidang pendidikan perempuan adalah agar semua perempuan Indonesia memperoleh kesempatan penuh menuntut ilmu pengetahuan yang sesuai dengan fitrah wanita sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari–hari dan mendidik mereka sanggup berdiri sendiri di atas kekuatan kaki sendiri, yaitu menjadi ibu pendidik yang cakap dan aktif serta bertanggung jawab kepada kesejahteraan bangsa dan tanah air, dimana kehidupan agama mendapat tempat yang layak Rahmah merumuskan cita-cita pendidikanya menjadi tujuan Perguruan Diniyah Putri yang didirikannya, yaitu: “Melaksanakan pendidikan dan pengajaran berdasarkan ajaran Islam dengan tujuan membentuk putri yang berjiwa Islam dan Ibu Pendidik yang cakap, aktif serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air dalam pengabdian kepada Allah subhanahu wa ta’ala”.

Melihat tekad dan kemauan keras Rahmah, kakaknya Zainuddin Labay mendukung cita–citanya. Dalam menjalankan cita-citanya Rahmah sangat meyakini Al-Qur’an surat Muhammad ayat 7 yang artinya: “Hai orang–orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, maka Allah akan menolong kamu pula”. Begitu yakinnya ia akan janji Allah ini sehingga selalu dijadikannya pegangan dalam berbuat kebajikan. Rahmah juga mendasarkan argumennya kepada hadis yang menyatakan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi semua muslim, laki–laki maupun perempuan. Bunyi hadis ini, kata Rahmah, sering dikutip di hadapan saya oleh laki–laki maupun perempuan Minang sebagai bukti bahwa kaum perempuan muslim diperintahkan oleh Tuhan untuk menuntut ilmu, dan cara terbaik untuk melaksanakan ini adalah dengan masuk sekolah.

Cita–cita dan gagasan Rahmah el-Yunusiyah tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan mungkin dipengaruhi oleh pengalamannya dalam menjalani pendidikannya sendiri. Meskipun Rahmah hanya sempat mengecap pendidikan dasar di Padang Panjang, studinya yang mendalam terhadap agama adalah sesuatu yang tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad kedua puluh di Minangkabau. Ia memperoleh pendidikan melalui pengaturan khusus dengan beberapa ulama modernis yang terkemuka, dalam pola kaum muda di zamannya. Selain itu, Rahmah belajar kerumahtanggaan dengan seorang bibi maternal, dan mempelajari soal kesehatan dan pemberian pertolongan pertama di bawah bimbingan enam orang dokter kelahiran India. Ia belajar senam dengan seorang guru Belanda di Sekolah Menengah Putri di Padang Panjang. Pada dasarnya Rahmah memperoleh pendidikan atas inisiatifnya sendiri, pada saat pendidikan formal bagi kaum perempuan hanya tersedia bagi segelintir orang.

Gagasan Rahmah untuk mendirikan pendidikan bagi kaum perempuan sempat dirundingkannya dengan teman–temannya di Persatuan Murid-murid Diniyah School (PMDS) yang ia pimpin, merekapun menyetujui dan mendukung gagasan itu. Maka pada tanggal 1 November 1923, sekolah itu di buka dengan nama Madrasah Diniyah lil al–Banat, dipimpin oleh Rangkayo Rahmah el–Yunusiyah, yang oleh murid–muridnya dari angkatan tiga puluhan akrab dipanggil “ Kak Amah”. Murid angkatan pertama terdiri dari kaum ibu muda berjumlah 71 orang, dengan menggunakan Mesjid Pasar Usang sebagai tempat belajar. Pada waktu itu proses belajar berlangsung dengan sistem halaqah, dan hanya mempelajari ilmu–ilmu agama dan gramatika bahasa Arab.

Dalam mendirikan gedung perguruan ini Rahmah sangat mandiri. Ketika Rahmah mendirikan gedung perguruannya pada tahun 1927 dan mengalami kekurangan biaya penyelesaian gedung tersebut, ia menolak bantuan yang diulurkan kepadanya dengan halus dan bijaksana. Ia ingin memperlihatkan kepada kaum laki-laki bahwa wanita yang selama ini dipandang lemah dan rendah derajatnya dapat berbuat sebagaimana laki-laki, bahkan bisa melebihinya. Maka secara diplomatis Rahmah mengatakan:

“Usul ini sangat dihargakan oleh pengurus dan guru-guru sekaliannya, akan tetapi buat sementara golongan perempuan (puteri) akan mencoba melayarkan sendiri pencalangnya sampai ke tanah tepi dan mana kala tenaga putri tidak sanggup lagi menyelamatkan pencalang itu, maka dengan sepenuh hati pengharapan guru-guru dan pengurus akan memohonkan kembali usul-usul engku-engku sekarang, kepada engku-engku yang menurut kami patut kami menyerahkan pengharapan kami itu”.

Tampaknya pikiran Rahmah el-Yunusiyah setengah abad yang lalu sejalan dengan pendapat kaum wanita dewasa ini yaitu: “membangun masyarakat tanpa mengikutsertakan kaum wanita adalah sebagai seekor burung yang ingin terbang dengan satu sayap saja. Mendidik seorang wanita berarti mendidik seluruh manusia ”.

C. PERKEMBANGAN MADRASAH DINIYAH PUTERI

Madrasah Diniyah lil Banat (sekolah agama untuk anak-anak wanita) didirikan Rahmah el-Yunusiyah pada tanggal 1 November 1923. Rahmah mampu memimpin dan mengembangkannya secara mandiri dengan semangat pembaharuan pendidikan yang diletakkan Labay (kakaknya). Deliar Noer memandang Rahmah sebagai penerus cita–cita Labay. Secara bertahap Rahmah membenahi sistem pengajaran Diniyah School Putri, baik dari segi kurikulum maupun metode. Di samping itu dengan segala kekuatan yang dimiliki ia mengupayakan pengadaan sarana dan prasarana pendidikannya.

Di samping mendirikan Diniyah School Putri, Rahmah juga mendirikan Menyesal School, yaitu sekolah pemberantasan buta huruf di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Sekolah ini didirikan pada tahun 1925 dan berlangsung selama tujuh tahun yaitu sampai tahun 1932. Kemudian sekolah ini tidak dilanjutkan. Untuk menyebarluaskan cita-cita pendidikannya, ia mengadakan perjalanan berkeliling ke daerah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi dan Seme-nanjung Malaya (tahun 1928 dan tahun 1934).

Pada tahun 1935 ia mendirikan tiga buah perguruan putri di Batavia (Jakarta), yaitu di Kwitang, Jatinegara, dan di Tanah Abang. Pada masa pendudukan Jepang, perguruan tersebut tidak dapat di teruskan. Menjelang berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia, Rahmah sempat pula mendirikan empat buah lembaga pendidikan putri baru lainnya sebagai pengganti lembaga pendidikan terdahulu. Pada tahun 1938 ia mendirikan Yunior Institut Putri, sebuah sekolah umum setingkat dengan Sekolah Rakyat pada masa penjajahan Belanda atau Vervolgschool, Islamitisch Hollandse School (HIS) setingkat dengan HIS (Hollandsch Inlandse School), yaitu sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, sekolah DAMAI (Sekolah Dasar Masyarakat Indonesia) dan Kulliyatul Mu’allimin El Islamiyah (KMI), sekolah Guru Agama Putra pada tahun 1940. KMI Putra ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan guru–guru agama putra yang banyak didirikan oleh masyarakat di Sumatera Barat. Pada zaman Jepang keempat lembaga pendidikan putri tersebut tidak dapat diteruskan.

Pada tahun 1947 Rahmah mendirikan empat buah lembaga pendidikan agama putri dalam bentuk lain, yaitu Diniyah Rendah Putri (SDR) lama pendidikannya tujuh tahun, setingkat dengan Sekolah Dasar enam tahun yang didirikan oleh pemerintah, Sekolah Diniyah Menengah Pertama Putri Bagian A Tiga Tahun (DMP Bagian A), Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian B Lima Tahun (DMP Bagian B), dan Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian C Dua Tahun (DMP Bagian C). Tiga buah sekolah yang disebut terakhir setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama ( SMP ) dengan bidang studi agama dan bahasa Arab menjadi mata pelajaran pokok.

Tahun 1964, Rahmah mendirikan Akademi Diniyah Putri yang lama pendidikannya tiga tahun. Tanggal 22 November 1967, Akademi ini dijadikan Fakultas Dirasat Islamiyah dan merupakan fakultas dari Perguruan Tinggi Diniyah Putri. Fakultas ini “diakui” sama dengan Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) untuk tingkat Sarjana Muda dengan SK Menteri Agama RI No. 117 tahun 1967.

Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Rahmah menganut sistem pendidikan terpadu, yaitu : memadukan pendidkan yang diperoleh dari rumah tangga, pendidikan yang diterima sekolah dan pendidikan yang diperoleh dari masyarakat di dalam pendidikan asrama. Dengan sistem terpadu ini, teori ilmu pengetahuan dan agama serta pengalaman yang dibawa oleh masing–masing murid dipraktekkan dan disempurnakan dalam pendidikan asrama di bawah asuhan guru–guru asrama.

Kurikulum di sekolah-sekolah Rahmah terdiri dari kelompok bidang studi agama, bahasa Arab, ilmu pengetahuan dan kelompok bidang studi ini di orientasikan kepada pembentukan pribadi muslimah dan kualitas diri. Dewasa ini lembaga pendidikan yang dikelola oleh para penerusnya adalah Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian B dan C, Kulliyatul Mu’allimat el- Islamiyah dan perguruan Diniyah Putri. Seperti sekolah–sekolah Islam kontemporer lainnya di Sumatera Barat, Diniyah Putri menawarkan tiga ijasah: satu miliknya sendiri, satu untuk pendidikan sekolah umum, dan satu pendidikan Islam yang diakui oleh pemerintah. Sehingga siswa-siswa memenuhi syarat untuk masuk ke universitas umum maupun universitas Islam.

Di lingkungan Diniyah Putri, corak saling melengkapi antara adat dan Islam ditekankan. Dalam perspektif yang didukung oleh kaum modernis Minang, tatanan sosial dan adat membentuk tatanan moral yang dilegitimasikan oleh Islam. Dalam tatanan suci ini ,adat dan Islam dipandang menyatu bukan dari segi yang spesifik, melainkan dari segi kandungan dan semangatnya. Rahmah mengutamakan bidang pendidikan di atas kepentingan lainnya, meskipun di kemudian hari ia juga berkiprah di dunia politik. Atas dasar ini ia menempatkan sekolah secara independen, bebas dari afiliasi dengan ormas atau orpol manapun. Setahun sebelum Muhammadiyah memasuki Minangkabau, Diniyah School Putri diajak bergabung dengan organisasi sosial–keagamaan dan disarankan agar namanya diganti dengan Asyiyah School atau Fatimiyah School. Namun saran tersebut tidak di terima oleh para guru diniyah School Putri.

Independensi sekolah ini juga ditunjukkan saat diselenggarakan permusyawaratan besar guru-guru agama Islam se-Minangkabau yang ada di bawah Permi di padang panjang pada tahun 1931. Wakil dari guru Diniyah School Putra maupun Putri yang datang sebagai pendengar dan tidak memberi respons; tidak ada seorang pun dari guru-guru sekolah ini yang duduk di Dewan Pengajaran Permi yang bertugas untuk menyatukan pelajaran sekolah-sekolah Islam. Sebagai pemimpin Permi, Mukhtar Lutfi mempertanyakan hal tersebut. Rahmah pun mengemukakan pendapatnya, “Biarkan perguruan ini terasing selama-lamanya dari partai politik, dan tinggalkanlah ia menjadi urusan dan tanggungan orang banyak (umum), sekalipun umum itu dalam aliran politiknya bermacam warna dan ragam, tapi untuk perguruan dan penanggung jawab atasnya haruslah mereka itu satu adanya” .

Lebih jauh independensi sekolah ini juga ditunjukkan Rahmah ketika dia menolak upaya penggabungan sekolah-sekolah Islam di Minangkabau oleh Mahmud Yunus. Seperti diketahui, pada tahun 1930-an ini pembaharuan sekolah agama berkembang pesat, namun tidak ada keseragaman program atau buku standar yang digunakan. Melihat keadan ini Mahmud Yunus alumni Universitas Cairo yang saat itu menjadi Direktur Normal School, ingin menerapkan konsep pembaharuan pendidikannya dan memprakarsai pembentukan Panitia Islah al-Madaris al- Islamiyah Sumatera Barat. Namun Rahmah tetap teguh pada pendirian independensi sekolahnya, maka ia menolak keras ide itu.

Menurutnya, lebih baik memelihara satu saja tapi terawat daripada bergabung tapi porak poranda. Diniyah School pun tidak akan terikat dengan keputusan permusyawa-ratan itu. Kondisi sekolah-sekolah agama tersebut masih seperti semula hingga 1936, yakni setelah konferensi seluruh organisasi berhasil dalam standarisasi sekolah-sekolah agama kaum muda. Berhadapan dengan politik kolonialisme pemerintahan Belanda, Rahmah memilih sikap nonkooperatif dalam memperjuangkan kelangsungan sekolah yang dipimpinnya. Atas dasar sikap ini, ia menolak bekerja sama dengan Belanda termasuk dalam hal pemberian subsidi yang berulangkali ditawarkan. Subsidi pemerintah kolonial akan membuat dirinya terikat, dan mengakibatkan keleluasan pemerintah kolonial mempengaruhi pengelolaan program pendidikan Diniyah School Putri ini. Kondisi seperti itu telah di alami Adabiyah School yang pada tahun 1915 menerima subsidi pemerintah kolonial.

Dengan tegas dan bijaksana Rahmah menyatakan bahwa perguruannya akan berusaha dengan kekuatan sendiri menanggulangi berbagai kesulitan yang dihadapi. Independensi sekolah ini sangat dikhawatirkan oleh pemerintah kalau di kemudian hari akan melahirkan tokoh-tokoh pejuang yang militan, sebagaimana yang pernah dilakukan surau-surau dalam mencetak tokoh-tokoh pembaharu dan pejuang perang paderi. Sikap independen dan nonkooperatif tersebut, di samping menggambarkan ciri khas kepriba-diannya yang gigih, juga merupakan respons terhadap situasi politik saat itu demi kelangsungan visi sekolahnya. Begitu pula organisasi kependidikan dan gerakan yang diprakarsainya, praktis visi yang sama : seperti “Perikatan Guru-Guru Agama Putri Islam” (PGAPI) yang didirikan pada tahun 1933 untuk menghimpun guru-guru yang tidak bergabung dengan Dewan Pengajaran Permi. Kemudian “Komite Penolakan Ordonansi Sekolah Liar” (1933) didirikan untuk menentang kebijaksanaan pemerintah kolonial yang memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar (1932) di Sumatera Barat.

Pada mulanya Diniyah Putri muncul sebagai tantangan terhadap adat, dalam hal ini kaum perempuan ingin melangkah melampaui urusan rumah tangga. Dengan menggapai peran-peran diluar rumah yang dapat didukung oleh penafsiran kaum modernis terhadap Islam, oleh karena itu kaum perempuan memperluas cakrawala, jaringan, dan kemampuan mereka untuk berpartisipasi di dalam wacana muslim dan nasionalis yang lebih luas. Kaum perempuan Minang memiliki strategi alternatif, selain yang disuarakan oleh Diniyah Putri menyangkut soal bagaimana menjadi Seorang Muslim dan seorang Minang. Namun demikian Diniyah terus memperlihatkan keinginan untuk menghadapi isu-isu kontemporer yang relevan bagi kaum perempuan dan masyarakat.

BAB III

PENUTUP

Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia sikap apriori terhadap perempuan yang bersekolah masih merupakan domain utama kehidupan sehari-hari. Lihat saja, bagaimana istilah dapur- sumur-kasur begitu populer di kalangan masyarakat. Ungkapan ini ingin menegaskan bahwa sehebat dan secerdas apapun seorang perempuan, pada akhirnya “kodrat” dan “takdir” perempuan akan kembali pada kehidupan rumah tangga yang hanya mengurusi urusan memasak, mencuci dan seks.

Anggapan demikian sudah berlangsung sejak ratusan tahun dan bukan merupakan hal baru. Dalam masyarakat matrilinial sekalipun, seperti Sumatera Barat tempat kelahiran dan perjuangan Rahmah, asumsi bahwa perempuan tidak layak belajar kerap diperbincangkan.

Rahmah merupakan satu dari sedikit perempuan yang menolak  stereotype demikian. Baginya, perempuan memiliki hak belajar dan mengajar yang sama dengan laki-laki. Bahkan, dibanding laki-laki, perempuan juga mampu memiliki kecerdasan yang tak kalah hebat. Persoalan terletak pada akses pendidikan. Saat itu, jauh sebelum Indonesia merdeka, sistem pendidikan di Nusantara masih sangat jauh dari yang diharapkan dan perempuan belum memiliki akses pendidikan yang sama dengan laki-laki.

Baginya, seorang perempuan sekalipun hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetap memiliki tanggung jawab sosial atas kesejahteraan masyarakat, agama, dan tanah airnya. Tanggung jawab itu dapat diberikan melalui pendidikan, baik di lingkungan keluarga (domestik) maupun di sekolah (publik). Barangkali, seandainya Rahmah masih hidup ia akan sepakat dengan gagasan masa kini yang menyebutkan bahwa membangun masyarakat tanpa melibatkan perempuan bagaikan seekor burung yang terbang dengan satu sayap. Mendidik seorang perempuan berarti mendidik semua manusia. Karena, sebagaimana diyakini oleh banyak orang, pendidikan dapat memberikan sumbangan yang besar bagi upaya memodernisasi suatu masyarakat. Dan nampaknya Rahmah telah bekerja untuk itu.

Daftar Pustaka

Buku Peringatan 15 Tahun Diniyah School Putri, Padang Panjang, 1962

Cora Vreede dan De Steurs, The Indonesian Women, Strugles and Achievement, Mouton dan Co.s Graven Hague, 1960

Hasbullah., 1999 Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hurgronje, C. Snouck 1992 Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, Terjemahan Sudarso Soekarno. Jakarta: INIS.

Munawaroh, Junaidatul, 2000 Rahmah El Yunusiyah Pelopor Pendidikan Perempuan, dalam Ulama perempuan Indonesia; editor Jajat Burhanuddin, (Jakarta : PT.Gramedia Pustaka utama bekerjasama dengan PPIM IAIN Jakarta.

Noer, Deliar. 1996 Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942. Jakarta: LP3ES.

Nuraida. 1990 Rahmah El-Yunusiyah Dalam Perspektif Sejarah Perjuangan Wanita di Indonesia. Skripsi Sarjana Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta: t.p.

Rasyad, Aminuddin. 1978 Rahmah El Yunusiyah, Kartini dari Perguruan Islam, dalam “Manusia dalam Kemelut Sejarah.” Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta.

__________.1982 Perguruan Diniyah Puteri Padang Panjang 1923-1978: Suatu Studi Mengenai Perkembangan Sistem Pendidikan Agama. Disertasi PPS IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: t.p.

No comments:

Post a Comment