Monday, 12 May 2014

KONSEP AL-KASB AL-ASY’ARIYYAH DAN MODERNISASI DALAM ISLAM


Oleh: Syafieh, M.Fil. I[1]

ABSTRAK

Kajian ini membahas tentang konsep al-Kasb al-Asy’ariyyah dan modernisasi dan Modernisasi dalam Islam. Permasalahan kajian adalah bagaimanakah eksistensi aliran  al-Asy’ariyyah dalam kehidupan umat Islam, apakah aliran ini telah membelenggu fikiran dan kebebasan manusia dan menggiring penganutnya kepada sikap patalisme, determinisme, atau Jabariyyah, bagaimanakah peranan aliran al-Asy’ariyyah terhadap modernisasi. Temuan kajian menyimpulkan bahwa Teologi al-Asy’ariyyah bersifat terbuka, realistis, dan  pragmatis, serta bersikap positif terhadap kemajuan sains dan teknologi. Karena itu, menilai aliran al-Asy’ariyyah sebagai aliran fatalisme, determinisme atau Jabariyyah tidaklah tepat, karena teologi ini sangat menghormati akal sebagai anugerah ilahi, juga menghormati dan menjunjung tinggi naqal sebagai tuntunan ilahi yang senantiasa aktual.


A.      Pendahuluan
Al-Asy’ariyah adalah pengikut Abu Hasan Ali bin Isma'il al-Asy’ariy,[2] yang kemudian berkembang menjadi salah satu aliran teologi yang penting dalam Islam, yang selanjutnya dikenal dengan aliran al-Asy’ariyah, yaitu nama yang dinisbahkan kepada Abu Hasan al-Asy’ariy sebagai peletak dasar-dasar aliran ini. Al-Asy’ariy hidup antara tahun 260-324 H.[3] atau lahir akhir abad III dan awal abad IV H. Pada abad ini dikenal ada tiga aliran dalam peta sejarah pemikiran Islam, yaitu pertama, Aliran Salafiah, yang dipelopori oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal. Aliran ini dikenal sangat tekstual, yaitu menjadikan nash sebagai satu-satunya poros dan alat dalam memahami aqidah-aqidah  Islam; kedua, Aliran Filosof Islam yang memahami aqidah-aqidah Islam dan membelanya harus berdasarkan akal dan naql dengan bertolak pada kebenaran - kebenaran akal sebagai satu - satunya sumber pengetahuan;  ketiga, aliran Mu'tazilah, aliran yang memadukan antara  akal dan naql dengan tetap menjadikan akal sebagai penentu bila  lahiriah nash bertentangan dengan kebenaran - kebenaran  akal (dalil - dalil logika).[4]

Al - Asy’ariy pada mulanya termasuk pengikut aliran Mu'tazilah sampai beliau berumur 40 tahun.[5] dan pada akhirnya beliau membentuk ‘orak pemikiran yang berbeda dari ketiga  aliran tersebut, beliau berusaha memadukan keduanya dengan tetap  berpedoman bahwa akal harus tunduk pada nash. Metode al-Asy’ariy ini, diikuti oleh ulama yang datang setelahnya dan menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada al-Asy’ariyah, mereka inilah yang berperan dalam mengembangkan pendapat-pendapat al-Asy’ariy dengan menggunakan dalil-dalil logika yang rasional menghampiri kerasionalan Mu'tazilah.[6] Tokoh tersebut ialah al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-Ghazali.

Sebagai aliran jalan tengah antara kaum Muktazilah yang rasionalis-metaforis dan kaum ahli Hadis yang ekstrim tekstualis, maka al-Asy’ariyyah dalam metodologi kalamnya di samping menggunakan sumber primer berupa teks-teks su’i dari al-Qur'an dan al-Sunnah, separti yang dilakukan oleh ahli Hadis, juga menggunakan metode rasional berupa mantik atau logik Aristotle, sehingga dia menggunakan akal dan naqal se’ara seimbang. 

Beberapa abad setelah aliran al-Asy’ariyyah mencapai perkembangan dan penyebarannya yang sempurna, umat Islam di bawah Khilafah Uthmaniyyah, mulai mundur, sementara dunia Barat mulai bangkit bersama kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Sebahagian pemikir Islam menyimpulkan bahwa salah satu penyebab yang membawa umat Islam kepada kemunduran itu adalah sikap fatalisme yang menyelubungi mental umat Islam. Di antara para penulis dan peneliti ada yang menuduh bahwa teologi al-Asy’ariyyahlah yang harus bertanggung jawab atas berkembangnya sikap fatalisme tersebut. Mereka menuduh bahwa teologi al-Asy’ariyyahlah yang membelenggu fikiran dan kebebasan manusia, sehingga umat Islam, yang mayoritas menjadi penganutnya tergiring kepada sikap fatalisme atau Jabariyyah.

Berdasarkan latar belakang di atas, pembahasan ini di fokuskan pada eksistensi aliran  al-Asy’ariyyah dalam kehidupan umat Islam dan apakah betul aliran ini telah membelenggu fikiran dan kebebasan manusia serta menggiring penganutnya kepada sikap patalisme, determinisme, atau Jabariyyah.
Untuk menjawab itu semua, penulis menggunakan akan membahas lewat karya-karya Abū al- Hasan al- Asy’arī, al-Bāqillānī, al-Juwaynī, dan al-Gazālī yang berkaitan dengan metodologi pemikiran dan ajaran teologi mereka. Keempat-empat tokoh ini dianggap sebagai tokoh-tokoh utama yang  telah berhasil mengantar mazhab al-Asy’ariyyah kearah lebih sempurna sehingga mereka dianggap sebagai tokoh-tokoh refresentatif yang dapat mewakili tokoh-tokoh al-Asha’irah lainnya dari segi aspek kemajuan, perkembangan dan kesempurnaan  aliran al-Asy’ariyyah.

B.       Modernisasi Dalam Islam
Kata modernisasi lahir dari dunia barat, adanya sejak terkait dengan masalah agama. Dalam masyarakat barat kata modernisasi mengandung pengertian pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya. Agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.
Pembaharuan Islam adalah upaya untuk menyesuiakan paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi modern. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Sesuai dengan perkembangannya zaman, hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecendrungan, pengetahuan, situasional, dan sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang mungkin masih banyak yang relevan dan masih dapat digunakan, tetapi mungkin sudah banyak yang tidak sesuai lagi.
Kata tajdid sendiri secara bahasa berarti “mengembalikan sesuatu kepada kondisinya yang seharusnya”. Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Atau dengan ungkapan yang lebih jelas, Thahir ibn ‘Asyur mengatakan,
Pembaharuan agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di dunia. Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan agamisnya dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya menguatkan kekuasaan agama.
Pada era modern ada anggapan umum bahwa sekularisme adalah suatu keniscayaan dan agama tidak lagi berperan penting. Bila manusia semakin rasional, maka agama tidak lagi dibutuhkan untuk mengetahui mana yang baik dan yang buruk, mana yang pantas dan tidak pantas. Masa ini adalah masa di mana agama mulai terpinggirkan oleh teknologi dan industri. Orang sudah bosan dengan ajaran-ajaran agama yang menurut mereka adalah mitos dan tidak masuk akal, logos dan rasio menjadi dewa yang mereka puja dan mereka yakini bisa mengubah kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Trend keagamaan ini sebenarnya telah tumbuh sejak abad 17 dan 18 yang ditandai dengan munculnya Deisme. Kitab suci, otoritas religious dan agama tidak dibutuhkan lagi untuk mengetahui keberadaan tuhan. Pada masa itu orang Kristen di Inggris, Perancis dan Amerika mulai mempertanyakan ajaran agama mereka dan meragukan mukjizat, kitab suci dan kepercayaan-kepercayaan yang tidak masuk akal yang mereka sebut dengan takhayul. Namun di akhir tahun 1970-an kaum agamis  atau tepatnya fundamentalis mulai melawan hegemoni kaum sekular.[7]
Modernisasi yang terjadi selama kurang lebih 300 tahun di Barat telah mengubah barat menjadi negara industri yang kaya. Modernitas Barat kemudian menjadi impian negara-negara berkembang. Negara yang tidak modern adalah negara miskin yang kalah dalam pentas dunia. Kita bisa saksikan negara-negara Islam pada abad ke-19 berada dalam garis kemiskinan. Data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia, dan organisasi lainnya menunjukkan bahwa negara-negara Arab dalam hal menciptakan lapangan kerja, pendidikan, teknologi, dan produktifitas sangat jauh tertinggal dibanding negara-negara Barat. Bahkan masih jauh tertinggal dibanding dengan negara-negara yang baru memodernkan diri dengan cara mengikuti modernitas Barat, seperti Taiwan, Singapore dan Korea.[8]
Modernisasi di negara Islam berbeda prosesnya dengan yang terjadi di Barat. Modernisasi di Barat mempunyai proses yang panjang dan alamiah. Umat Islam sudah tertinggal sangat jauh untuk bisa menjadi modern seperti Barat. Tahapan-tahapan yang sudah dilalui Barat selama 3 ratusan tahun untuk menjadi modern tidak mungkin lagi dilakukan oleh umat Islam, kecuali umat Islam rela untuk semakin jauh tertinggal. Tidak ada pilihan lain bagi pemimpin-pemimpin negara-negara Islam selain melakukan imitasi terhadap modernitas Barat. Hal yang terjadi kemudian adalah modernisasi yang terlalu dipaksakan sehingga dasarnya rapuh dan mudah runtuh.[9] Oleh karena modernisasi di negara Islam dilakukan dengan cara menjiplak Barat, maka yang terjadi sebenarnya adalah westernisasi. Winfield menyatakannya dalam kata-katanya "….Western nations modernized themselves while non-western nations were generally subje’ted to a westernization imposed through the yoke of ‘olonial and imperial domination".[10]
Modernisasi atau tepatnya westernisasi yang dilakukan oleh negara-negara Islam tersebut tidak selalu mulus. Prosesnya sangat sulit dan hampir tak bisa di atasi. Modernisasi adalah proses yang penuh pergolakan yang memerlukan berbagai pertumpahan darah serta ketercerabutan spiritual. Modernisasi di Barat saja diterpa badai protes oleh kaum agamis khususnya fundamentalis Kristen. Fundamentalisme yang muncul di Barat sebagai reaksi atas modernisme juga muncul di negara-negara Islam setelah Islam bersentuhan dengan modernitas Barat, namun yang muncul di dunia Islam bukan hanya sekedar fundamentalisme yang anti sekuler tapi juga anti Barat. Apa yang dibawa dari Barat ke negara-negara Islam meskipun itu adalah nilai-nilai universal dipandang sebagai penjajahan. "What is universalism to the west is imperialism to the rest".[11] Teror kaum fundamentalis terhadap Barat, baik berupa perusakan fasilitas, perlawanan terhadap pemerintahan negara Barat, atau bahkan terhadap yang dicurigai sebagai antek-antek Barat adalah bukti nyata bahwa perlawanan terhadap sekularisme yang berlangsung adalah perlawanan terhadap Barat.[12] 


C.      Konsep al-Kasb Asy’ariyah
Untuk menengahi kedua faham tersebut Abu Hasan al-Asy’ari mengajukan konsep al-kasb, dengan pengertian bahwa yang mewujudkan perbuatan manusia adalah Allah,[13] namun manusia diberi daya dan pilihan untuk berbuat atas kehendak Allah. Manusia dalam perbuatannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Allah. Oleh karena itu, manusia, dalam pandangan al-Asy’ari, bukan fa’il, tetapi kasib. Berdasarkan itulah mun’ul teori al-kasb. Al-Shahrustani memperjelas pengertian al-kasb dengan menyatakan bahwa lahirnya perbuatan manusia adalah dengan jalan Allah memperlakukan sunnah-Nya melalui daya yang baru diciptakan bersama-sama dengan terjadinya perbuatan. Berkaitan dengan itu, lahirlah konsep al-iktisab.[14]
            Arti al-iktisab, menurut al-Asy’ari, ialah bahwa sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul.[15] Di dalam al-Luma’, al-Asy’ari memberikan penjelasan yang sama. Arti yang sebenarnya dari al-kasb ialah bahwa sesuatu timbul dari al-muktasib (a’quirer, yang memperoleh) dengan perantaraan daya yang diciptakan.[16]
Argumen yang dimajukan oleh al-Asy’ari tentang diciptakannya  kasb oleh Allah adalah firman Allah yang bermaksud: “Dan Allah men’iptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”.[17] Berdasarkan ayat ini, mereka berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia diciptakan oleh Allah.[18] Tidak ada pembuat atau fa’il bagi kasb kecuali Allah.[19] Dengan perkataan lain, yang menentukan wujudnya kasb atau perbuatan manusia, dalam pandangan al-Asy’ari, sebenarnya adalah Allah sendiri.
Dari keterangan diatas dapat difahami bahwa; sejak masa Al-Asy’ari, polemik dan kontroversi tentang perbuatan manusia, dalam teologi dikenal dengan istilah af’al al-’ibad, hingga kini tetap hangat diperbincangkan. Terutama kaum Muktazilah yang selalu memunculkan ide qadariyyah atau free will yang menjadi anutan mereka. Dalam suasana demikian al-Ash’arī, sebagai tokoh kalam sunni terpanggil mengemukakan idenya seiring dengan metodologi yang ia kembangkan untuk menjembatani antara dua kelompok ekstrim, Jabariyyah dan Qadariyyah[20] dengan menawarkan konsep ‘teologi poros tengah’ (moderat).
            Dalil naql yang dijadikan dasar diciptakannya kasb[21] itu adalah firman Allah s.w.t.:والله خلقكم وما تعملون   “Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”.[22] Kata   وما تعملون  dalam ayat tersebut diartikan oleh al-Ash’arī dengan “apa yang kamu perbuat” dan bukan “apa yang kamu buat”. Hal ini berarti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu. Jadi, menurut al-Asy’arī, perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Allah, dan Dia pulalah yang membuat kasb.[23] Dengan kata lain, bahwa Allah yang mewujudkan kasb atas perbuatan manusia. Dengan demikian, berarti Allah sebenarnya yang menjadikan (pembuat) perbuatan manusia, sedangkan manusia hanya merupakan tempat berlakunya perbuatan-perbuatan Allah tersebut.
            Al-Asy’ari membagi perbuatan atau gerakan manusia terbahagi kepada idtirar (perbuatan tanpa sengaja, di luar kemampuan) dan perbuatan kasb. Masing-masing perbuatan itu mempunyai dua unsur. Bagi idtirar memiliki unsur penggerak yang mewujudkan gerak, dan unsur badan yang bergerak. Penggerak adalah Allah, sementara badan yang bergerak adalah manusia, sebab badan yang bergerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani. Sedangkan Allah mustahil mempunyai tempat jasmani.[24] Adapun unsur bagi kasb, mengikut al-Asy’ari, ialah pembuat dan yang memperoleh perbuatan sebagaimana yang terjadi pada gerakan idtirar. Oleh itu, pembuat kasb yang sebenarnya adalah Allah, sedangkan yang memperoleh kasb adalah manusia.[25]
            Al-Asy’ari berusaha membedakan antara perbuatan idtirar dan kasb. Pada  perbuatan pertama terdapat unsur ‘keterpaksaan’ manusia melakukan sesuatu tanpa dapat dihindarinya, walaupun ia berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan hal itu. Sedangkan dalam perbuatan yang kedua, tidak terdapat unsur ‘paksaan’ di dalamnya. Namun keduanya itu adalah perbuatan Allah.[26] Argumen ini, sesuai dengan firman Allah: وما تشاءون الا أن يشاء الله  [27] “Kamu tidak menghendaki kecuali bila dikehendaki oleh Allah”. Maksud ayat ini, menurut al-Asy’ari, adalah bahwa manusia tidak dapat menghendaki sesuatu tanpa dikehendaki oleh Allah. Jika seseorang berkehendak untuk pergi ke Mekkah, maka kehendaknya ini akan terlaksana jika Allah menghendakinya. Jadi kehendak manusia satu dengan kehendak Allah, dan kehendak yang ada dalam diri manusia itu tidak lain adalah kehendak Allah.[28]
             Al-Asy’ari sebenarnya tidak menginginkan umat terjatuh dalam lingkaran Jabariyyah dan juga Qadariyyah. Oleh sebab itulah dia mengemukakan sebuah ajaran yang mengambil posisi jalan tengah, dalam tulisan ini diistilahkan dengan teologi ‘Poros Tengah’, melalui teori kasb tersebut. Sebagai ajaran pertengahan, tentu yang dimaksudkan oleh al-Asy’ari adalah bahwa manusia, dalam perbuatannya, bebas tapi terikat; terpaksa tapi masih mempunyai kebebasan. Demikianlah maksud al-Asy’ari tersebut. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa di sinilah letak keunikan teologi al-Asy’ari. Ia memberi peluang kepada generasi berikutnya untuk memberikan interpretasi dan penjelasan-penjelesan positif, terutama dari tokoh-tokoh al-Asy’ariyyah.
            Al-Bāqillāni dan al-Juwayni, misalnya, berpendapat bahwa perbuatan terjadi dengan daya manusia, dengan demikian perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan manusia itu sendiri.[29] Namun, ada perbuatan yang manusia itu terpaksa melakukannya. Misalnya, manusia manpu berdiri, duduk dan bicara dengan keinginannya sendiri, tetapi manusia tidak mampu bergerak ketika ia lunpuh dan Sakit. Sehubungan dengan itu, al-Bāqillāni menyatakan bahwa manusia hanya mampu berbuat dengan kudrat yang diciptakan Allah padanya. Ini terlihat bahwa seseorang hanya dapat berbuat sesuatu pada suatu waktu, tetapi tidak dapat berbuat yang serupa pada waktu yang lain.[30]
            Selanjutaya, menurut al-Bāqillāni, manusia tidak mampu berbuat sebelum terjadi perbuatan (iktisab). Manusia hanya manpu berbuat ketika terjadi perbuatan (fi hal al-iktisāb), sebab ia tidak diberikan kudrat sebelumnya.[31] Berkaitan dengan itu, al-Bāqillāni mengatakan bahwa kudrat yang ada pada manusia tidak tetap. Karena, apabila ia tetap dengan sendirinya mestilah ia tetap ada pada waktu yang sama atau pada waktu yang berlainan, hal ini adalah mustahil.[32]  Karena itu, kemampuan manusia hanya ada bersamaan dengan perbuatan. Apabila manusia telah mempunyai kemampuan sebelum terjadi perbuatan, maka pada waktu terjadi perbuatan itu ia tidak lagi memerlukan bantuan Allah. Maka yang demikian itu, menurut al-Bāqillāni, mustahil.[33] Jadi, dapat dikatakan bahwa Allah lah yang menciptakan daya pada manusia dan kebebasan manusia terletak pada penggunaan daya tersebut. Allah s.w.t. memberikan kudrat tidak untuk dua perbuatan yang bertentangan atau yang sama, atau yang berbeda. Dengan kata lain, Allah memberikan satu kudrat untuk satu perbuatan.[34] Pandangan separti ini, menurut al-Bāqillāni, tidak menunjukkan seseorang terpaksa dalam perbuatannya. Orang yang terpaksa berbuat adalah orang yang dibebani sesuatu yang tidak disukainya. Sementara orang yang dikatakan mampu berbuat adalah orang yang berbuat dengan kemauannya sendiri. Orang yang terpaksa berbuat dan yang mampu berbuat berbeda dengan orang yang tidak mampu berbuat sama sekali. Maka dalam hal ini, orang yang tidak berbuat apa yang diperintahkan kepadanya adalah orang yang tidak mampu melakukannya.[35] Selain itu, al-Bāqillani mengatakan bahwa Allah memberikan kudrat untuk berbuat kepada manusia yang sebelumnya tidak ada. Kudrat itu ada bersamaan dengan terlaksananya perbuatan. Sebagaimana sebuah cincin bergerak bersamaan dengan kejadian gerakan tangan. Begitu juga seseorang baru mengetahui rasa sakit bersamaan dengan adanya sakit itu sendiri.[36] Argumen ini diperkuat dengan firman Allah :   لا يكلف الله نفسا إلا وسعــهــا [37] “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. Firman Allah: لا يكلف الله نفســا إلا مــا ءاتاهـــا [38] “Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang diberikan Allah kepadanya”. Kedua-dua ayat ini, menurut al-Bāqillani, menunjukkan bahwa tidak ada kudrat sebelum perbuatan.[39] Dan dalam al-Quran dijelaskan kewajipan bagi orang yang berat menjalankan suatu perbuatan untuk membayar fidyah.[40] Hal ini, kata al-Bāqillani jelas menunjukkan tidak adanya kudrat.[41]
            Dari keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa al-Asy’ari dan al-Bāqillāni  sependapat dalam memandang perbuatan manusia sebagai ciptaan Allah, namun al-Bāqillāni  telah menyempurnakan pendapat gurunya, al-Asy’ari, dengan mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan di dalam perbuatannya. al-Bāqillāni  memandang al-kasb sebagai gerakan orang yang disertai kudrat pada waktu terjadinya perbuatan, berbeda dengan orang yang lumpuh, yang tidak dapat bergerak. Ia membedakan antara gerakan tangan orang yang sehat, sebagai gerakan yang tidak terpaksa, dengan gerakan orang yang gementar karena sakit, yaitu yang bergerak karena terpaksa. Oleh karena al-kasb merupakan perbuatan melalui jalan ikhtiar, maka al-kasb bukan perbuatan yang terpaksa.[42] Dengan demikian, konsep al-kasb al-Bāqillāni  mengandung faham kebebasan. Manusia mempunyai peran efektif di dalam perbuatannya, Allah hanya menciptakan gerak di dalam diri manusia, sedangkan bentuk dari gerakan itu, yang kemudian disebut perbuatan seperti duduk, berdiri, berbicara dan sebagainya, adalah perbuatan manusia.[43]
            Pandangan teologis al-Bāqillāni di atas diteruskan oleh al-Juwayni dengan formulasi bahwa manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya,[44]karena ia diberi hak untuk menentukan pilihan, mempergunakan daya yang telah diciptakan Allah di dalam dirinya dan megamalkan pengetahuan yang diberikan Allah secara global kepadanya supaya direalisasikan dalam bentuk perbuatan. Selanjutnya, al-Juwayni menyatakan bahwa Allah menciptakan daya di dalam diri manusia sebelum terjadinya perbuatan. Daya itu bersifat ‘ard (a’’identil) dan setiap ‘ard tidak kekal. Jadi, karena ‘ard sifatnya tidak kekal (al-’ard la yabqā), tidak dapat digunakan untuk mewujudkan berbagai macam perbuatan.[45] Untuk terwujudnya suatu perbuatan, mesti ada daya Allah yang menyertainya. Manusia, menurut al-Juwayni, bebas mengarahkan daya yang diciptakan Allah itu untuk mewujudkan perbuatan perbuatannya sesuai dengan kehendak dan kemauannya. Jadi, jelas bahwa manusia, menurut al-Juwayni, mempunyai peranan efektif untuk mengarahkan daya dan mewujudkan perbuatan-perbuatan yang dikehendakinya, sedangkan daya untuk mewujudkan perbuatan itu dengan menggunakan daya Allah. Hal ini terjadi karena Allah senantiasa memberikan tambahan energi kepada manusia.
Al-Ghazali juga memberikan keterangan yang sama. Menurutnya, Allah lah yang menciptakan perbuatan manusia dan kudrat untuk berbuat dalam diri manusia.[46] Perbuatan manusia terjadi dengan kudrat Allah dan bukan dengan kudrat manusia, sungguhpun yang disebutkan terakhir ini erat hubungannya dengan perbuatan itu. Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya. Untuk itu, kata al-Ghazālī, sesuai dengan apa yang disebutkan dalam al-Qur'an, perbuatan manusia itu disebut al-kasb.[47]
Al-Ghazali memperjelas adanya kemungkinan dua kudrat dalam satu perbuatan, yaitu kudrat Allah dan kudrat manusia, karena keterkaitan antara kedua kudrat itu dengan perbuatan manusia berbeda. Kudrat Allah berkaitan dengan al-khalq (penciptaan), sementara kudrat manusia berkaitan dengan al-kasb. AI-KhaIq berasal dari Allah sedangkan al-kasb berasal daripada manusia. Karena itu, perbuatan manusia disebut al-kasb.[48]


D.      Teori Kasb Dalam Modernisasi Islam
Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa teologi al-Asy’ariyyah adalah teologi yang yang mementingkan amalan (ikhtiar), sebagaimana yang diisyaratkan dalam teori al-Kasb. Untuk itu, dalam konteks keimanan, bukan hanya mengetahui atau membenarkan bahwa Allah itu ada, tetapi juga meletakkan posisi amal (ikhtiar) amat penting dalam kehidupan. Statement ini menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh al-Asy’ariyyah dengan teori al-kasb itu ialah “perolehan” seperangkat alat untuk infrastruktur  yang diberikan kepada manusia untuk diproyeksikan dalam berbagai aspek kehidupan di dunia. Seperangkat alat itu ialah “ikhtiar dan daya” dalam perbuatan yang kemudian menimbulkan apa yang disebut  dengan ‘pahala’ dan ‘dosa’.
            Dengan teori al-Kasb maka percaya kepada takdir sama sekali tidak mengandung kesan fatalisme, sebab fatalisme itu mengandung sikap Jabariyyah, menyerah kalah, kepada nasib atau fate yang mengandung tidak ada usaha (inactivity). Karena itu, percaya kepada takdir yang dikehendaki dalam aliran al-Ash’ariyyah adalah menyuruh manusia beramal dan berusaha, dan mustahil ‘takdir’ memiliki makna menentang aktivitas dan amal perbuatan. Dengan kata lain, adanya ikhtiar dalam perbuatan, di samping tidak menafikan adanya takdir,  ia juga  membuat manusia bergairah dan dinamis dalam melakukan aktivitas.
Dengan demikian, al-kasb berarti manusia tetap memiliki peranan, yaitu berusaha melaksanakan pekerjaannya, walaupun usahanya itu berada dalam ‘batasan’ kekuasaan mutlak Allah. Dalam perkataan lain, manusia tidak dalam keadaan terpaksa, tetapi ia juga tidak bebas. Ringkasnya, manusia dalam perbuatannya tidak terpaksa secara mutlak, namun juga tidak bebas tanpa batas. Jadi, secara teori al-kasb mengandung aspek dinamisme. Menilai faktor kedinamisan dan kestatisan, keaktifan dan kepasifan sesorang, standard yang lazim dipakai adalah sejauh mana akal mendapat peranan. Dalam konteks ini, teologi al-Asy’ariyyah, di samping menggunakan argument  tekstual, ia juga menggunakan argument  rasional. Di dalam Istihsan al-khawd fi ‘ilmi al-kalam, al-Asy’ari menjelaskan betapa pentingnya penggunaan logika dalam soal ‘aqliyyah sebagaimana pentingnya menggunakan nas dalam masalah syari’at.
            Kenyataan diatas semakin memperkuat keyakinan kita bahwa di dalam faham teologi al-Asy’ariyyah terdapat aspek dinamisme, suatu aspek yang memotifasi pengikutnya untuk senantiasa berfikir dan berkarya serta menciptakan penemuan-penemuan baru; mendorong atau setidak-tidaknya, membiarkan umat untuk melakukan reinterpretasi dan reaktualisasi terhadap berbagai   ajaran agama demi mengantisipasi perkembangan zaman dan pola kehidupan sosial yang selalu dinamis.
            Dengan demikian, teori al-Kasb dalam system teologi al-Asy’ariyyah dapat merefleksikan suatu sikap dan kreatifitas diri dalam menghadapi hidup dan kehidupan sehari-sehari, bahkan yang lebih penting dari  itu adalah memberi spirit untuk berbuat dan melaksanakan fungsi kekhalifahan dalam merespons segala dampak kemajuan tamaddun (peradaban) dunia saat ini. Oleh itu, konsep al-Kasb Asy’ariyah sama sekali tidak menghambat pembaharuan dalam Islam, justru sebaliknya Konsep al-Kasb Asy’ariyah memberikan spirit bagi umat Islam untuk selalu melakukan pembaharuan dalam Islam.
            Argumen di atas semakin mempertegas bahwa betapa pemahaman seseorang terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam teori al-Kasb al-Asy’ariyyah akan memberi pengaruh  positif terhadap pengembangan dan pembaharuan dalam Islam. Karena teori ini  selalu mengorientasikan penganutnya untuk senatiasa merasa dekat dengan Allah yang pada akhirnya melahirkan sebuah kesadaran sebagai manusia yang paling lemah dihadapan kekuasaan mutlak Allah, dan pada masa yang sama ia merasa paling kuat dan percaya diri, apabila berhadapan dengan makhluk ciptaan Allah, karena ia menyadari bahwa ia sedang bersama (معية الله) dengan zat Yang Maha Kuat dan Maha Berkuasa.
            Dalam teologi al-Asy’ariyyah, prinsip separti itu dikenal dengan istilah “aqidah atau tauhid”. Landasan inilah yang seharusnya mendasari sikap, gerak, dan pola pikir (ittijah) setiap Muslim. Komitmen seseorang terhadap aqidah atau tauhid ini terimplementasi dalam bentuk perilaku (suluk), moraliti (akhlaq), visi (wijhah al-Nazr), dalam meniti kehidupan nyata.   Pemahaman yang kuat terhadap konsep seperti ini akan membentuk sebuah sikap dan jati diri yang kuat dalam memproyeksikan sebuah pranata kehidupan yang dinamis,  produktif, dan cinta kemajuan.
            Sesungguhnya, bagian-bagian tertentu dari kerangka  konseptual teologis ‘tesis Max Weber’ telah banyak diapresiasi untuk mendorong umat supaya bekerja keras dalam mengatasi kemunduran mereka dalam bidang ekonomi. Sakralisasi kerja dengan formulasi “kerja adalah bagian dari ibadah” dapat dibandingkan dengan “kerja keras adalah panggilan dan harus terlaksana dalam kehidupan duniawi”. Kesuksesan hidup di dunia ini sebagai konsekwensi logis daripada kerja keras, dan itu merupakan pertanda bahwa orang itu terpilih dan mendapat keselamatan.[49]
            Keterangan di atas mengantar kita kepada sebuah keyakinan bahwa dalam menata kehidupan  yang cerah dan cemerlang di hari esok, maka yang paling produktif untuk kita lakukan adalah memperbaiki kualitas usaha ikhtiar kita (al-kasb) terhadap sesuatu yang lebih bermakna, produktif, dan prosfektif  dalam mengantisifasi kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


E.            PENUTUP
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep teologi al-Asy’ariyyah sama sekali tidak mengandung kesan fatalisme, sebab fatalisme itu mengandung sikap Jabariyyah, menyerah kalah, kepada nasib atau fate yang mengandung tidak ada usaha (inactivity). Karena itu, percaya kepada takdir yang dikehendaki dalam aliran al-Asy’ariyyah adalah menyuruh manusia beramal dan berusaha. Dengan demikian, konsep al-kasb bermakna manusia tetap memiliki peranan, berusaha melaksanakan pekerjaannya, walaupun usahanya itu berada dalam ‘batasan’ kekuasaan mutlak Allah.






DAFTAR PUSTAKA

al-Asy’ari, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Isma’il. 1950. Maqalat al-Islamiyyin wa ikhtilaf al-musallin. al-Qahirah: Maktabat al-Nahdah al-Misriyyah.
al-Asy’ari, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Isma’il. 1985. al-Ibanah ‘an usul al-diyanah. Bayrut: Dar al-Kitab al-’Arabi.
al-Baghdadi, 1928M/1346H, Kitab usul al-din, Bayrut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah.
al-Baghdadi, Abu Mansur ‘Abd al-Qadir ibn Tahir al-Tamimi. 1928. Kitab usul al-din. ‘onstatinople: Madrasat al- Misriyyah.
al-Baqillani, al-Qadi Abu Bakr. 1957. Kitab al-tamhil al-awa’il wa talkhis al-dala’il. Bayrut: al-Maktabah al-Sharqiyyah.
al-Baqillani. 1963. al-Insaf fi ma yajib i’tiqaduh wa la yajuz al-jahl bih. Tahqiq Muhammad Dhahib al-Kawthari, al-Qahirah: Mu’assasat al-Khanji.
al-Ghazali,  Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad.  1962. Al-iqtisad fi al-i’tiqad. Masr: Maktabat Muhammad Subayh.
al-Ghazali,  Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad.  1970. “Iljam al-’awam ‘an ‘ilm al-kalam” Masr: Maktabat al-Jundi, Jil. 1.
al-Ghurabi., ‘Ali Mustafa. 1958. Tarikh al-firaq al-Islamiyyah wa nash’at ‘ilm al-kalam. al-Qahirah: Maktabat Muhammad ‘Ali Sabih, ‘et. 2.
al-Ghurabi., ‘Ali Mustafa. 1958. Tarikh al-firaq al-Islamiyyah wa nash’at ‘ilm al-kalam. al-Qahirah: Maktabat Muhammad ‘Ali Sabih, ‘et. 2.
al-Juwayni, Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn al-Shaykh Abi Muhammad. 1959. al-Irshad ‘ala qawati’ al-adillah fi usul al-i’tiqad. Misr: Matba’at al-Sa’adah.
al-Juwayni, Abu al-Ma’ali ‘Abd al-Malik ibn al-Shaykh Abi Muhammad. 1979. al-’Aqidah al-nizamiyyah. al-Qahirah: Maktabat al-Kulliyyah al-Azhariyyah.
al-Shahrastāni. t.th.al-Milal-wa al-nihal, Bayrut: Dār al-Fikr
Ahmad Amin. 1975. Zuhr al-Islam. Al-Qahirah: Maktabat al-Nahdah al-Misriyyah, ‘et. 4.
Ahmad Amin, 1964, Duha al-Islam, al-Qahirah: al-Nahdah, Jil. 3
‘Ali Sami al-Nashar. t.th. Nash’ah al-fikr al-falsafi fi al-Islam, Masr: Dar al-Fikr al-’Arabi.
Amstrong, Karen, Berperang Demi Tuhan, Bandung: Mizan, 2002
 D.B. Ma’donald, 1903,.Deplopment of Muslim Theologi, Jurispruden’e and ‘onstitusional Theory, London: George Routledge & Sons Ltd
Fazlur Rahman. 1979. Islam, ‘hi’ago and London: University of ‘hi’ago Press, Se’ond edition
Ibn ‘Asakir, Abu al-Qasim ‘Ali ibn al-Hasan ibn Hibatullah al-Dimashqi. 1979. Tabyin kadhb al-muftari fi ma nusiba ila al-Imam Abi al-Hasan al-Asy’ari. Bayrut: Dar al-Kitab al-’Arabi.
Huntington, Samuel P,  The Clash of Civilizations and The Remaking of The World Order, New York: Simon and Schuster Paperbacks, 2003
Ibn Taymiyyah. 1980. Dar’ ta’arud al-’aql wa al-naql, Juz VI, Riyad: Jami’ah al-Imam Muhammad bin Sa’ud al-Islamiyyah,
Imarah, Muhammad Tarayat al-Fikr al-Islamiy. Cairo: Dar al-Syuruq, 1991
Jalal Musa. 1975. Nash’at al-Asy’ariyyah wa al-tatawwuruha, Bayrut: Dar al-Kitab al-Lubnani.
Katsir,  Ibnu Al-Bidayah wa al-Nihayah. juz VII. ‘et. I. Beirut: Dar al-Fikr, 1996
Lewis, Bernard, The ‘risis of Islam, New York: Modern Library, 2003
Nur’holish Masid, 1984. Khasanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Shubhi, Ahmad Mahmud,  Fi 'Ilm al-Kalam. juz 2. Alexandaria: Muassasah al-Tsaqafah al-Jami'iyah, 1992
Tibi, Bassam, Ancaman Fundamentamentalisme, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000
Winfield, Ri’hard Dien,  Modernity, Religion, and The War on Terror, London: Ashgate, 2007

[1] Dosen Prodi Mu’amalah Jurusan Syari’ah STAIN Zawiyah ‘ot Kala Langsa
[2] Al-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim, Al-Milal wa al-Nihal. (Tahqiq Muhammad Sayid al-Kailani. juz 1, Beirut: Dar Sh'ab, 1986),  hal. 94
[3] Ibnu Katsir. Al-Bidayah wa al-Nihayah. juz VII. ‘et. I. (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hal. 581
[4] Muhammad Imarah , Tarayat al-Fikr al-Islamiy. (‘airo: Dar al-Syuruq, 1991), hal. 165
[5] Shubhi, Ahmad Mahmud,  Fi 'Ilm al-Kalam. juz 2. (Alexandaria: Muassasah al-Tsaqafah al-Jami'iyah, 1992), hal. 45
[6] Imarah , Tarayat al-Fikr al-Islamiy…, hal.171
[7]Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, (Bandung: Mizan, 2002), h. x
[8]Bernard Lewis, The ‘risis of Islam, (New York: Modern Library, 2003), h. 85-86
[9]Modernisasi Mesir yang dilakukan Muhammad Ali Pasha. Lihat Karen Armstrong, Berperang…, h. 178-180
[10]Ri’hard Dien Winfield, Modernity, Religion, and The War on Terror, (London: Ashgate, 2007), h.78  
[11]Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and The Remaking of The World Order, (New York: Simon and Schuster Paperbacks, 2003), h. 184
 [12]Bassam Tibi, Ancaman Fundamentamentalisme, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000), h. 3-5
[13] al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, Jil. 1, hal. 315. Al-Bazdawi, Usul al-din, hal. 100.
[14] al-Shahrastani, al-Milal wa al-nihal, hal. 97
[15] al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, Jil. 2, hal. 221.
[16] al-Asy’ari, al-Luma’, hal. 76.
[17] Maksud al-Qurān, al-Saffat 37: 96.
[18] al-Asy’ari, al-Luma’, hal. 70
[19] Ibid hal. 72.
[20] Abū Zahrah, Tarikh al-madhahib al-Islāmiyyah, Jil. 1, hal. 187.
[21] al-Asy’ari, al-Ibānah, hal. 243
[22] Al-Qur’an, al-Sāffāt 37:96.
[23] al-Asy’ari, al-Luma’, hal. 70, 72
[24] Ibid, hal. 73-74.
[25] Ibid.
[26] Ibid., hal. 75-76.
[27] Al-Qur’an, al-Insan 76:30
[28] al-Asy’ari, al-Luma’, hal. 93.
[29] al-Bāqillānī, al-Tamhid, hal. 346; al-Juwaynī, al-Aqīdah al-nizamiyyah, hal. 34.
[30] Ibid., hal. 324
[31] Ibid.
[32] Ibid., hal. 324
[33] Ibid.
[34] lbid, hal. 326
[35] Ibid., hal. 331-332.
[36] Ibid., hal. 328.
[37] Al-Qur’an, al-Baqarah (2):286.
[38] Al-Qur’an, al-Talāq (65):7.
[39] Ibid., hal. 239,
[40] Al-Qur’an, al-Baqarah 2:184
[41] Al-Bāqillānī, al-Tamhid…,  hal. 239
[42] Ibid, hal. 347
[43] al-Shahrustani, hal. 97-98.
[44] al-Juwaynī, al-’Aqīdah al-nizāmiyyah, hal. 34.
[45] al-Juwaynī, al-Irshād, hal. 217.
[46] al-Ghazālī, al-Iqtisād fī al-i’tiqād, hal. 49.
[47] Ibid 314
[48] al-Ghazali, al-Iqtisad fi al-I’tiqad…,  hal. 49.
[49] Dalam tesisnya, Max Weber menegaskan adanya hubungan antar Etika Protestan dengan etos kerja para penganut Protestan. Lihat Taufik Abdullah, Ethos kerja dan perkembangan ekonomi, Jakarta, LP3ES, 1979, hal. 4-10.

1 comment: