Sunday 26 May 2013

NASHR AL-DIN TUSI FILOSUF ISLAM PASCA IBNU RUSYD

Nashiruddin at-Tusi
Oleh : Syafieh, M. Fil. I

A.      Pendahuluan

Yang dimaksud dengan istilah Filsafat Islam Pasca-Ibn Rusyd ialah tradisi kefilsafatan yang berkembang di daerah teritorial Islam di masa setelah wafatnya Ibn Rusyd.

Istilah Filsafat Islam Pasca-Ibn Rusyd (Post-Averroes Philosophy) sendiri dipopulerkan oleh seorang ahli Iran bernama Henry Corbin, untuk membantah pandangan arus-utama bahwa setelah Ibn Rusyd praktis tradisi Filsafat Islam 'mandeg' dan 'mandul'.

Buku-buku teks standar tentang Filsafat Islam yang dikarang baik oleh orang Arab maupun orang Barat orientalist sampai saat ini masih menganggap bahwa tradisi kefilsafatan di Dunia Islam praktis hilang setelah wafatnya Ibn Rusyd.

Tuduhan ini tidak mendapatkan kebenarannya ketika melihat begitu banyaknya tokoh filsof Islam yang muncul, bahkan melebihi Ibn Rusyd itu sendiri. Contoh konkret adalah munculnya seorang tokoh filsafat dalam Islam yaitu Nasiruddin Al-Tusi. Ilmuwan serba bisa. Julukan itu rasanya amat pantas disandang Nasiruddin Al-Tusi. Sumbangannya bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern sungguh tak ternilai besarnya.

Selama hidupnya, ilmuwan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan beragam ilmu seperti, astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, hingga ilmu agama Islam.

Sarjana Muslim yang kemasyhurannya setara dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja, Thomas Aquinas, itu memiliki nama lengkap Abu Ja'far Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasan Nasiruddin Al-Tusi.

Dalam makalah ini sekilas akan diuraikan beberapa pemikiran filsafat Nnasirudin At-Tusi, biografi dan karyanya.

B.       Nashruddin Tusi

1.        Biografi dan Pendidikannya

Nama lengkapnya adalah Khwajah Nasir al Din Abu Ja’far Muhammad Ibn Muhammad Ibn Hasan. Ia seorang sarjana yang mahir dalam bidang ilmu pengetahuan matematika, astronomi, dan politik. Sesuai nama panggilannya At-Thusi karena ia dilahirkan di kota Tus pada tahun 597 H/1201 M. Ayahnya bernama Muhammad bin Hasan, yang mendidik Tusi sejak pendidikan dasar. Kemudian dia mempelajari fiqih, ilmu hikmah, dan ilmu kalam, serta isyaratnya Ibnu Sina dan matematika.[1]

Ia lahir pada awal abad ke 13 M ketika dunia Islam tengah mengalami masa-masa sulit. Karena apada masa itu tentara mongol yang begitu kuat menginvansi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan sangat kejam.[2] Thusi meninggalkan kota kelahirannya, pergi ke kota Baghdad. Di sana ia belajar tentang ilmu pengobatan dan filsafat dari guru Qutb Al Din, matematika dari Kamal Al Din ibnu Yunus, dan fiqh serta ushul fiqh dari Salim ibn Badran.

Di masa kehidupannya, Nashiruddin Ath-Thusi dikenal sebagai Ilmuwan yang serba bisa (multi talented). Sumbangannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern sungguh tidak ternilai besarnya. Selama hidupnya, ilmuwan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan beragam ilmu astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, hingga ilmu agama Islam. Sebagai seorang ilmuwan yang amat kondang pada zamannya Nashiruddin memiliki banyak nama, antara lain; Muhaqqiq Ath-Thusi, Khuwaja thusi, dan Khuwaja Nasir.

Sebagai awal karirnya ia terkenal ahli di bidang astronomi, yakni pada pemerintahan Nasir Al din ’Abd Al Rahim di benteng gunung Ismailliyah Quhistan. Popularitasnya semakin melesat sampai pemerintahan ’Ala Al Din Muhammad, Syek Agung VII dari Alamut.

Pada tahun 1259 M, Nashiruddin membentuk Observatiorium Maraghah, yakni suatu majlis yang hebat yang terdiri atas orang-orang pandai dan terpelajar dengan membuat rencana khusus untuk pengajaran ilmu-ilmu filsafat. Observatorium Maraghah mulai beroperasi pada tahun 1262 M. Pembangunan dan operasional observatorium itu melibatkan sarjana dari Persia dan dibantu oleh ahli astronomi dari Cina. Teknologi yang digunakan di Observatorium itu terbilang canggih pada zamannya. Beberapa peralatan dan teknologi penguak luar angkasa yang digunakan di Observatorium itu ternyata merupakan penemuan Nashiruddin, salah satunya adalah ’kuadran azimuth’. Selain itu, dia juga membangun perpustakaan di Observatorium itu. Koleksi bukunya terbilang lengkap, terdiri atas beragam ilmu pengetahuan. Di tempat itu, Nashiruddin tidak hanya mengembangkan dibidang astronomi saja. Dia pun turut mengembangkan matematika serta filsafat.[3]

2.        Karya-Karyanya

Nashiruddin At-Thusi adalah seorang sarjana terkenal sebagai seorang yang lebih mahir daripada ahli pikir yang kreatif. Ia banyak membuat pencerahan-pencerahan dalam agama, baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk realisasi aktifitas kesehariannya. Sebagai seorang ilmuwan tentunya tercermin dari karya-karya tulis yang bisa kita lihat sampai hari ini, di antara karya-karyanya antara lain:

1.         Karyanya di bidang logika;

a.    Asas Al-Iqtibas,

b.    At-Tajrid fi Al-Mantiq,

c.    Syarh-i Mantiq Al-Isyarat,

d.   Ta’dil Al-Mi’yar,

2.         Karyanya di bidang Metafisika;

a.    Risalah dar Ithbat I Wajib,

b.    Itsat-i Jauhar Al-Mufariq,

c.    Risalah dar wujud-i Jauhar-i

d.   Mujarrad,

e.    Risalah dar Itsbat-i ’Aql-i Fa’al,

f.     Risalah Darurat-i Marg,

g.    Risalah sudur Kathrat az Wahdat,

h.    Risalah ’Ilal wa Ma’lulat Fushul,

i.      Tashawwurat,

j.      Talkis Al-Muhassal, dan

k.    Hall-i Musykilat Al-Asyraf.

3.         Karyanya di bidang etika;

a.    Akhlak-i Nashiri,

b.    Ausaf Al-Asyraf.

4.         Karyanya di bidang teologi/dogma;

a.    Tajrid Al’Aqa’id,

b.    Qawa’id Al-’Aqa’id,

c.    Risalah-i I’tiqadat.

5.         Karyanya di bidang astronomi;

a.    Al-Mutawassithah Bain Al-Handasa wal Hai’a

b.    Kitab At-Tazkira fi al-Ilmal-hai’a

c.    Zubdat al-Hai’a (yang terbaik dari astronomi),

d.   Al-Tahsil fil An-Nujum,

e.    Tahzir Al-Majisti,

f.     Mukhtasar fial-Ilm At-Tanjim wa Ma’rifat At-Taqwin (ringkasan astrologi dan penanggalan),

g.    Kitab Al-bari fi Ulum At-Taqwin wa Harakat Al-Afak wa Ahkam An-Nujum (buku terunggul tentang Almanak, gerak bintang-bintang dan astrologi kehakiman).

6.         Karyanya di bidang aritmatika, geometri, dan trigonometri;

a.    Al-Mukhtasar bi Jami Al-Hisab bi At-Takht wa At-Turab (Ikhtisar dari seluruh perhitungan dengan tabel dan bumi),

b.    Al-Jabar wa Al-Muqabala (Risalah tentang al-Jabar),

c.    Al-Ushul Al-Maudua (Risalah mengenai Euclidas Postulate),

d.   Qawaid Al-Handasa (kaidah-kaidah geometri),

e.    Tahrir al-Ushul,

f.     Kitab Shakl Al-Qatta (Risalah tentang triteral), sebuah karya dengan keaslian luar biasa, yang ditulis sepanjang abad pertengahan.

7.         Karyanya di bidang Optik;

a.    Tahrir Kitab Al-Manazir,

b.    Mabahis Finikis Ash-shur’ar wa in Itaafiha (penelitian tentang refleksi dan dedfleksi sinar-sinar),

8.         Karyanya di bidang seni (syair), meskipun tidak sepopuler Omar Khayam dan Jalaluddin Rumi, ia juga menghasilkan karya yang diabdaikan dalam bukunya yang berjudul Kitab fi Ilm Al-Mau-siqi dan Kanz At-Tuhaf.

9.         Karya di bidang medikal adalah Kitab fi Ilm Al-Bab Bahiyah fi At-Tarakib As-Sultaniyah; buku tentang cara diet, peraturan-peraturan kesehatan, dan hubungan seksual.

3.        Pemikirannya

a.      Filsafat Metafisika

Menurut Nashiruddin Ath-Tusi, metafisika terdiri atas dua bagian, pertama ilmu Ketuhanan (’Ilmi Ilahi), kedua filsafat pertama (falsafahi ula). Ilmu Ketuhanan meliputi Tuhan, akal, dan jiwa, pengetahuan tentang alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta yang merupakan filsafat pertama. Pengetahuan tentang kelompok-kelompok ketunggalan dan kemajemukan, kepastian dan kemungkinan, esensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidak kekalan juga membentuk bagian dari filsafat pertama tersebut. Di antara cabang (furu’) metafisika itu termasuk pengetahuan ke-Nabian (nubuwwat). Jelajah subjek itu menunjukkan bahwa metafisika merupakan esensi fuilsafat Islam dan lingkup sumbangan utamanya bagi sejarah gagasan-gagasan.[4]

Bagi Ath-Tusi eksistensi Tuhan sebagai postulat (yang sudah terang akan kebenaran bahwa Allah Itu ada), harus di yakini oleh manusia , dan bukan harus dibuktikan. Pembuktian eksistensi Tuhan atau wujud Tuhan bagi manusia adalah mustahil, karena pemahaman manusia tentang wujud Tuhan sangat terbatas untuk dipikirkan. Meskipun Ath-Tusi membagi metafisika atas ilmu Ketuhanan dan filsafat pertama, tetapi di dalamnya tidak mencakup kajian pembuktian eksistensi Tuhan, karena ini suatu hal yang di luar batas kemampuan pembuktian manusia. Nashiruddin Ath Tusi berpendapat sama halnya dengan filosof lainnya yang mengulas teori cretio ex nihilo yaitu sebuah teori yang menyatakan adanya penciptaan sesuatu dari tidak ada. Sebagaimana dijelaskan Allah dalam Q.S. Yasiin: 82;

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin 36:82)

Dalam ayat ini sangat jelas bahwa dalam ajaran Islam memisahkan antara Allah dengan alam yang pada dasarnya juga berstatus pada teori cretio ex nihilo yakni bahwa alam pada mulanya tidak ada, kemudian ada dengan perintah Allah.[5] Ia berpandangan Tuhan sepadan dengan penciptaan dan merupakan hasil dari kesadaran diri-Nya. Akan tetapi, dalam Fushul, dia meninggalkan sikap itu sepenuhnya. Di situ ia menganggap Tuhan sebagai pencipta yang bebas dan menumbangkan teori mengenai penciptaan karena desakan. Jika Tuhan mencipta karena Dia butuh mencipta. Thusi mengemukakan, berarti tindakan-tindakan-Nya tentu berasal dari esensi-Nya. Dengan begitu, jika satu bagian dari dunia ini menjadi tak maujud, esensi Tuhan itu tentu juga menjadi tiada. Ini dikarenakan penyebab keberadaan-Nya itu ditentukan oleh ketiadaan bagian-bagian lain dari penyebabnya, dan seterusnya. Karena semua yang ada itu bergantung kepada keperluan Tuhan, ketiadaan mereka akhirnya menjadikan ketiadaan Tuhan sendiri.[6]

Selanjutnya,  mengenai apakah alam ini qadim atau diciptakan oleh Tuhan dari ketidakadaan (hadis), merupakan suatu masalah yang masih menjadi perdebatan dalam filsafat Islam. Ath Tusi berusaha memarpakan tentang alam ini di dalam bukunya yang berjudul Tashawwurat ( di tulis pada masa pemerintahan Ismailliah), ia melakukan sebuah perujukan atas pendapat Aristoteles dan Ibnu Maskawaih yang mengatakan bahwa dunia ini kekal, karena menyifatkan gerakannya pada penciptaan Tuhan. Ath-Tusi membantah pendapat ini, ia memulai dengan mengecam doktrin cretio ex nihilo. Pandangan yang menyatakan adanya waktu ketika dunia ini belum maujud dan kemudian Tuhan menciptakannya dari ketiadaan, “secara jelas mengisyaratkan bahwa Tuhan bukanlah pencipta sebelu adanya penciptaan dunia ini atau kekuatan penciptaan-Nya masih potensial yang pada kemudian hari baru diwujudkan, ini merupakan penyangkalan atas daya cipta-Nya yang kekal. Kemudian Ath-Tusi menutup pembahasannya dengan ungkapan bahwa dunia ini kekal karena kekuasaan Tuhan yang menyempurnakannya, meskipun dalam hak dan kekuatannya sendiri, dan ia tercipta (muhdats).

Adapun dalam karyanya yang lain berjudul Fushul (risalah yang terkenal dan paling banyak di ulas), Thusi meninggalkan sikap tersebut sekaligus mendukung sepenuhnya doktrin ortodoks mengenai cretio ex nihilo. Ia menggolongkan Zat menjadi yang pasti dan yang mungkin, dia mengemukakan bahwa eksistensi yang mungkin itu bergantung pada yang pasti; dank arena ia maujud akibat sesuatu yang lain dari dirinya, tidak dapat dikatakan bahwa ia dalam keadaan maujud sebab penciptaan yang maujud itu mustahil. Karena sesuatu yang tidak maujud itu tidak ada, begitu juga Kemaujudan Yang Pasti itu menciptakannya yang mustahil itu dari ketiadaan. Proses semacam itu disebut penciptaan dan hal-hal yang ada itu disebut yang tercipta (muhdats).

b.      Filsafat Etika

Tujuan dari filsafat etika (akhlak) Nashiruddin Ath-Tusi ini adalah untuk menemukan cara hidup untuk mencapai sebuah kebahagiaan. Agar bisa mencapai kebaikan maka dalam hal ini manusia dituntut untuk sering berbuat baik, menempatkan kebaikan di atas keadilan dan cinta.

Menurut Plato, yang termasuk perbuatan baik menyangkut kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan. Keempat hal ini termasuk pada trinitas jiwa yang meliputi akal, kemarahan, dan hasrat. Namun Ath-Tusi dalam menempatkan kebajikan-kebajikan itu bukan berasal dari teori Plato, melainkan pendapat Tusi sependapat dengan Ibnu Maskawaih. Ia menempatkan kebajikan di atas keadilan, dan cinta sebagai sumber alam kesatuan, di atas kebajikan.

Sebagaimana keadaan dari perbuatan baik, selalu di usik dengan perbuatan jahat. Aristoteles memandang kejahatan sebagai suatu kebaikan yang sudah terlalu berlebihan, baik eksesnya maupun kerusakannya. Berbeda halnya denga Ibnu Maskawaih, setelah ia menyebutkan kejahatan satu demi satu hingga sampai kedelapan terlalu kelihaian dan kebodohan (safat dan balahat), gegabah dan pengecut (tahawwur dan jubbun), pemanjaan dan pemantangan (syarakat dan khumud), kelaliman dan penderitaan (jaur dan mahanat). Berdasarkan pola Aristoteles ini, iaa menggambarkan sebab-sebab dan cara-cara menghilangkan rasa takut dan sedih. Namun, Ibnu Maskawaih tidak menjelaskan pakah rasa takut dan sedih itu membentuk keberlebihan atau kekurangan, kemarahan, dan hasrat. Maka masalah ini Tusi mengkaji dan menemukan masalahnya.[7]

Selain dari kebaikan dan kejahatan, satu hal lagi yang mempengaruhi etika adalah penyakit. Penyakit yang dimaksud dalam hal ini adalah penyakit moral manusia, dimana penyakit ini merupakan penyimpangan jiwa dari keseimbangan. Menurut Ath-Tusi, penyakit moral ini bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab, yakni; keberlebihan, keberkurangan, dan ketakwajaran akal, kemarahan atau hasrat.[8]

Dari teori tiga sebab ini, Tusi menggunakannya dengan cara menggolongkan penyakit-penyakit fatal menjadi tiga golongan penyakit-penyakit fatal akal teoritis yang terbagi menjadi tiga karakter, yaitu:

1.        Kebingungan (hairat).

Kebingungan disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan dikarenakan adanya bukti yang saling bertentangan dan argumentasi yang kacau, untuk dan terhadap suatu masalah yang kontroversial. Untuk menghilangkan kebingungan, maka Tusi menyarankan agar orang yang bingung disadarkan bahwa keterdirian dan pembagian, penegasan dan penyangkalan, itu semua bertentangan dengan sifat eksklusif, tidak dapat bermaujud dalam satu benda pada waktu yang sama, sehingga dia mungkin bisa teryakinkan bahwa jika suatu hal benar, ia tidak mungkin salah, dan jika salah, ia tidak mungkin benar. Setelah dia memahami prinsip bukti diri ini, dia bisa diberi pelajaran mengenai aturan-aturan silogisme untuk memudahkan penemuan kekeliruan dalam argumentasi.

2.        Kebodohan Sederhana (jahl-i basit).

Kebodohan sederhana terdapat pada kekurangtahuan manusia akan suatu hal tanpa mengira bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan semacam itu merupakan suatu keadaan yang bisa dijadikan titik tolak untuk mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal kalau merasa puas dengan keadaan begitu. Penyakit itu bisa disembuhkan dengan jalan menunjukkan kepada si pasien fakta bahwa pengakakanlah, dan bukannya penampilan lahiriah, yang membuat manusia berhak disebut manusia, dan bahwa manusia yang bodoh itu tidak lebih baik dibandingkan binatang; bahkan lebih buruk dari itu sebab binatang masih bisa dimaklumi karena ia tak memiliki nalar.

3.        Kebodohan Fatal (jahl-i murakkab).

Kebodohan fatal adalah kekurangtahuan manusia kan sutau hal dan dia merasa mengetahui hal itu. Walaupun dia bodoh, dia tidak tahu bahwa dia memang bodoh. Menurut Ath Tusi, penyakit ini adalah penyakit yang hampir tak dapat disembuhkan, tetapi dengan upaya keras dalam bidang matematika barangkali penyakit ini bisa ditekan kefatalannya menjadi kebodohan bersama.[9]

Pandangan Tusi secara keseluruhan, ia menganggap bahwa manusia adalah makhluk sosial, maka untuk memperkuat sikap daripada manusia itu sendiri, manusia mesti mencapai sebuah watak yang baik terhadap sesamanya samapi batas sempurna. Kesempurnaan ini disebutnya dengan perdaban. Manusia hidup saling membutuhkan maka sangat mustahil manusia bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.

c.       Filsafat Jiwa

Pandangan Tusi tentang jiwa, ia berasumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang bisa terbukti sendiri dan karena itu tidak memerlukan lagi bukti lain, lagi pula jiwa tidak bisa dibuktikan. secara kasat mata. Masalah semacam ini, pemikiran yang lepas dari eksistensi orang itu sendiri merupakan suatu kemustahilan dan kemusykilan yang logis sebab suatu argumen masyarakat tentang adanya seorang ahli argumen dan sebuah masalah untuk diargumentasikan, sedangkan dalam hal ini, keduanya sama yang bernama jiwa.[10] Jiwa mmpunyai sifat sebagai substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Jiwa berkerja untuk mengontrol tuubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasa, tetapi jiwa tidak bisa dirasa lewat alat-alat tubuh.

Kalau melihat kepada para filosof sebelumnya maka ada dikatakan dengan jiwa vegetatif yakni pada manusiawi dan hewani. Di luar dari itu, Ath Tusi menambahkan  satu jiwa lagi yakni jiwa imajinatif yang menempati posisi tengah di antara jiwa hewani dan manusiawi. Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya akal (natiq) yang menerima pengetahuan dari akal pertama. Akal itu, ada dua jenis ; (1) akal teoritis dan akal praktis, sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles. Dilihat dari pendapat al-Kindi, maka Ath Tusi beranggapan bahwa akal teoritis merupakan suatu potensialisme yang perwujudannya mencakup empat tingkatan, yaitu akal material (‘aql-i hayulani), akal malaikat (‘aql-i malaki), akal aktif (‘aql-i bi alfi’l), dan akal yang diperoleh (‘aql-i mustafad). Pada tingakatan terakhir (akal perolehan) setiap bentuk konseptual yang terdapat di dalam jiwa menjadi nyata terlihat seperti wajah seseorang yang ada di dalam kaca yang dapat dilihat oleh orang tersebut. Di sisi lain, akal praktis berkenaan dengan tindakan-tindakan yang tak sengaja dan yang disengaja. Sebab itu, potensialnya diwujudkan lewat tindakan-tindakan moral, kerumahtanggaan dan politis.[11]

Adapun mengenai tradisi yang diterima Ath Tusi dari Ibnu Sina dan al-Ghzali, ia mempercayai lokalisasi fungsi di dalam otak. Dia telah menempatkan akal sehat (mushawwirah) di awal bagian pertama ruang otak yang kedua, imajinasi di bagian depan ruang otak yang ketiga, sedangkan ingatan berada dibelakang otak (otak kecil).

C.      Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa Nasiruddin Al-Tusi adalah Ilmuwan serba bisa. Julukan itu rasanya amat pantas disandang Nasiruddin Al-Tusi. Sumbangannya bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern sungguh tak ternilai besarnya.

Selama hidupnya, ilmuwan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan beragam ilmu seperti, astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, hingga ilmu agama Islam.

Sarjana Muslim yang kemasyhurannya setara dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja, Thomas Aquinas, itu memiliki nama lengkap Abu Ja'far Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasan Nasiruddin Al-Tusi.

Pemikiran epistemologinya, At-Tusi mendukug doktrin ortodoks mengenai cretio ex nihilo. Filsafat etikanya menjelaskan bahwa manusia dalam mencapai kebaikan dituntut untuk sering berbuat baik, mendapatkan kebaikan di atas keadilan dan cinta. Sedangkan filsafat jiwannya, ia berasumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang bias terbukti sendiri dan karena itu tidak memerlukan lagi bukti lain, lagi pula jiwa tidak bias dibuktikan.

DAFTAR BACAAN

Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat Islam, penyunting: Sutardji Calzoum Bachri, Cet. Kedelapan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.

Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah, Jakarta: Rajawali, 1989.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Cet keempat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004

Nasution, Harun. Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-2, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1976

______________,Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.

Syarif, M.M. (edt), History of Muslim Philosophy, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963

Supriyadi, Dedi,  Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009

Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, terj. Hasan Basari, Jakarta: yayasan Obor, 1991.

Zar, Sirajuddin,  Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

[1] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 311

[2] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009),  hlm. 246

[3] M.M. Syarif, (edt), History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), hlm. 236

[4] M. M. Syarif, dkk, History of Muslim Philosophy…,  hlm. 252

[5] A. Mustofa., Filsafat Islam … , hlm.320

[6] H. A. Mustofa (Edit), Thusi “dalam Akhlaki Nasiri” …, hlm.321

[7]  A. Mustofa., Filsafat Islam …, hlm. 315

[8] M.M. Syarif, Para Filosof … , hlm. 214

[9] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam …, hlm. 2253-254

[10] M.M. Syarif, Para Filosof … , hlm. 249

[11] Ibid., hlm. 250

No comments:

Post a Comment