Sunday, 10 March 2013

Islam Dan Kelestarian Lingkungan: Studi Tentang Fiqh Al-Biah Sebagai Solusi Alternatif Terhadap Kerusakan Lingkungan

Abstract

This article analyzed enviromental crisis that happened in the word.  Islam is completed laws offered how about overcome environmental crisis with Islamic Law about environmental (Figh Al-Bi'ah). In its beginning, the article explores environmental health in context of Islam, Environmental health in context of environmental Law in Islam. The article closed with concluding remark on Islamic Law about environmental (Figh Al-Bi'ah) as alternative solution to evercome environmental crisis in the word specially in Indonesia.

Keywords: Fiqh Al-Bi'ah, vicegerent (khalifah.) of God on earth, Environmental Crisis.

Pendahuluan

Hingga saat ini permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian besar dari hampir semua negara-negara di dunia. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah diadakannya konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stokholm pada tanggal 5 Juni 1972. Konferensi ini kemudian dikenal dengan Konferensi Stokholm, dan pada hari dan tanggal itulah kemudian ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Namun sayangnya hingga saat ini -lepas dari tiga dekade kemudian-walaupun jumlah lembaga dan aktivis environmentalism semakin bertambah dari tahun ke tahun, namun laju kerusakan lingkungan masih terus berlangsung. Kegagalan tersebut banyak diakui kalangan aktivis disebabkan karena kebijakan yang disusun tidak secara konsisten dilaksanakan.

Di Indonesia, perhatian tentang lingkungan hidup telah muncul di media massa sejak tahun 1960-an. Suatu tonggak sejarah tentang lingkungan hidup di Indonesia ialah diselenggarakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Padjajaran di Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972. Seminar itu merupakan seminar pertama tentang lingkungan hidup yang diadakan di Indonesia.( Otto Soemarwoto, 2001: 1) Selain itu pada awal Juli 1973, Sumarlin dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Dunia menyatakan adanya tiga prioritas dalam menanggulangi problematika lingkungan di negeri ini, antara lain: di lautan (pertambangan minyak di lepas pantai) dan di perkotaan (urbanisasi liar dan industrialisasi yang pincang).(A. Sonny Keraf, Kompa: 1973)

Indonesia sendiri, dalam beberapa dasawarsa terakhir, tidak henti-hentinya dirundung berbagai bencana banjir, tanah longsor, maupun polusi. Laporan UNEP memperkirakan kerugian Indonesia akibat bencana tsunami saja mencapai 675 juta dollar AS, atau setara dengan 6 triliun rupiah. Tak hanya itu, kerusakan lingkungan juga menjadi gejala umum hampir seluruh kawasan di Indonesia. Berbagai bencana yang terjadi di Indonesia, baik langsung maupun tidak langsung kemudian mendorong keterlibatan aktif peran ulama dan pemikir Islam sejak satu tahun terakhir ini, dengan mengedepankan hikmah perenial Islam, dalam upaya mengatasi persoalan lingkungan yang selama ini didominasi oleh kalangan akademisi dan birokrat. Fiqh yang merupakan salah satu dari ilmu-ilmu keislaman yang sangat dominan dalam kehidupan umat Islam, sebenarnya telah menawarkan suatu kerangka pendekatan terhadap lingkungan hidup. Akan tetapi, wacana lingkungan hidup tidak dibahas dan dikaji secara khusus dalam bab tersendiri, melainkan tersebar di beberapa bagian dalam pokok-pokok bahasan ilmu fiqh itu. Secara substansi Fiqh lingkungan hidup (Fiqh Al-Biah) berupaya menyadarkan manusia yang beriman supaya menginsyafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab manusia yang beriman dan amanat yang diembannya

Dalam tulisan ini saya akan menganalisa tentang munculnya wacana Fiqh al-Bi'ah sebagai solusi alternatif dalam mengatasi kerusakan lingkungan. Saya mengawalinya dengan sekilas membahas tentang Islam dan pelestarian lingkungan, untuk kemudian membahas tentang munculnya wacana Fiqh al-Bi'ah dikalangan umat Islam. Akhirnya, tulisan saya tutup dengan fiqh al-Bi'ah sebagai solusi alternatif terhadap kerusakan lingkungan.

Pelestarian Lingkungan hidup dalam perspektif Islam

Kata ‘lestari’ dapat diartikan sebagai tetap seperti keadaannya semula, tak berubah atau kekal. Jadi, pelestarian adalah pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.

Islam sebagai agama samawi terakhir di dunia, di bawa oleh Nabi Muhammad saw. sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya. Konsekuensinya, Islam akan dan harus bisa menjawab tantangan-tantangan dari kedinamisan yang ada di dunia sampai masa akhir nanti (kiamat). Tantangan tersebut dapat berupa tantangan yang berhubungan dengan tauhid, jinayah maupun muamalah. Walaupun tantangan dari kedinamisan perjalanan masa dapat terjawab dengan sempurna oleh Islam, namun banyak kalangan tetap berprasangka, bahwa jalan terbaik menghilangkan prasangka tersebut adalah harus dijawab secara ilmiah sehingga pemecahan persoalan terjawab secara objektif. (M. Rasjidi, 1976:7)

Dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi adalah dengan menjaga dan mengurus bumi dan segala yang ada di dalamnya untuk dikelola sebagaimana mestinya. Dalam hal ini kekhalifahan sebagai tugas dari Allah untuk mengurus bumi harus dijalankan sesuai dengan kehendak penciptanya dan tujuan penciptaannya.(Harun Nasution, 1992: 542)

Tujuan Allah mensyariatkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari kerusakan (mafsadah), baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan kemaslahatan itulah Abu Ishaq al-Syatibi, Dalam kitab al-Muwâfaqât, membagi tujuan hukum Islam (maqâshid al-syarîah) menjadi lima hal: 1) penjagaan agama (hifdz al-dîn), 2) memelihara jiwa (hifdz al-nafs), 3) memelihara akal (hifdz al-‘aql), 4) memelihara keturunan (hifdz al-nasl), dan 5) memelihara harta benda (hifdz al-mâl).(Hatim Gazali, 2005) Lebih jauh Yusuf al-Qardlawi dalam Ri’âyatu al-Bi’ah fi al-Syarî’ati al-Islâmiyyah menjelaskan mengenai posisi pemeliharaan ekologis (hifdz al-`âlam) dalam Islam adalah pemeliharaan lingkungan setara dengan menjaga maqâshidus syarî’ah yang lima tadi. Selain al-Qardlawi, al-Syatibi juga menjelaskan bahwa sesungguhnya maqâshidus syarî’ah ditujukan untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia, di mana bila prinsip-prinsip itu diabaikan, maka kemaslahatan dunia tidak akan tegak berdiri, sehingga berakibat pada kerusakan dan hilangnya kenikmatan perikehidupan manusia.(Fathurrahman Djamil, 1997:94)

Dalam konteks ajaran Islam, jauh sebelum persoalan-persoalan lingkungan hidup muncul dan menghantui penduduknya, Islam telah lebih dahulu memberi peringatan lewat ayat-ayat al-Qur'an. Urusan lingkungan hidup adalah bagian integral dari ajaran Islam. Seorang Muslim justru menempati kedudukan strategis dalam lingkungan hidup yang diciptakan sebagai khalifah di bumi ini sesuai dengan Surat Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ……﴿30﴾

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seseorang khalifah dimuka bumi"

Ayat ini ditafsirkan secara lebih spesifik oleh Sayyed Hossein Nasr, dosen studi Islam di George Washington University, Amerika Serikat.  dalam dua bukunya “Man and Nature ” dan “Religion and the Environmental Crisis ”, seperti yg dikutip Alim:

“……Man therefore occupies a particular position in this world. He is at the axis and centre of the cosmic milieu at once the master and custodian of nature. By being taught the names of all things he gains domination over them, but he is given this power only because he is the vicegerent (khalifah.) of God on earth and the instrument of His Will. Man is given the right to dominate over nature only by virtue of his theomorphic make-up, not as a rebel against heaven”.

Sebagai khalifah, sudah tentu manusia harus bersih jasmani dan rohaninya. Inilah inti dari kebersihan jasmani merupakan bagian integral dari kebersihan rohani. Jelaslah bahwa tugas manusia, terutama muslim/muslimah di muka bumi ini adalah sebagai khalifah (pemimpin) dan sebagai wakil Allah dalam memelihara bumi (mengelola lingkungan hidup).

Oleh karena itu, dalam memanfaatkan bumi ini tidak boleh semena-mena, dan seenaknya saja dalam mengekploitasinya. Pemanfaatan berbagai sumber daya alam baik yang ada di laut, didaratan dan didalam hutan harus dilakukan secara proporsional dan rasional untuk kebutuhan masyarakat banyak dan generasi penerusnya serta menjaga ekosistemnya. Allah sudah memperingatkan dalam surat al'A'raf ayat 56:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ ﴿56﴾

" Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut tidak diterima dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik". (al-A'raf:56)

Menyadari hal tesebut maka dalam pelaksanaan pembangunan sumber daya alam harus digunakan dengan rasional. Penggalian sumber kekayaan harus diusahakan dengan sekuat tenaga dan strategi dengan tidak merusak tata lingkungan dan tata hidup manusia. Perlu diusahakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan bisa menjaga kelestariannya sehingga bisa dimanfaatkan secara berkesinambungan.(Ali Yafie, 2006: 231) Kita harus bisa mengambil i'tibar dari ayat Allah yang berbunyi:

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آَمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ ﴿112﴾

"Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan(dengan) dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat". (an-Nahl :112)

Manusia Indonesia harus sadar bahwa krisis multidimensi dan bencana yang datang bertubi-tubi seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, tanaman diserang hama dan lainnya adalah karena ulah manusia itu sendiri.

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿41﴾

"Telah nampak kerusakan didarat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Alllah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan yang benar".  (QS. ar-Rum: 41).

Dalam ayat-ayat tersebut diatas  Allah SWT secara tegas menjelaskan tentang akibat yang ditimbulkan kerena perbuatan manusia  yang mengekploitasi lingkungan yang berlebihan. Ayat-ayat Al-Qur'an ini sekaligus juga menjadi sebuah terobosan paradigma baru untuk melakukan pengelolaan lingkungan melalui sebuah ajaran religi, sehingga hak atas lingkungan adalah hak bagi setiap umat di dunia. Selain itu, hak atas lingkungan sebagai hak dasar manusia juga telah menjadi kesepakatan internasional melalui butir-butir Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diratifikasi sebagai kesepakatan bersama. Dalam hal ini termasuk baik yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun dalam undang-undang lain yang bersifat parsial. Pentingnya upaya pengelolaan lingkungan hidup sudah sangat jelas implikasi yang akan ditimbulkannya apabila tidak dikelola secara baik, yaitu munculnya bencana, baik secara langsung maupun secara jangka panjang.

Dalam Islam di kenal tiga macam bentuk pelestarian lingkungan. Pertama, dengan cara ihya'. Yakni pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh individu. Dalam hal ini seseorang mematok lahan untuk dapat digarap dan difungsikan untuk kepentingan pribadinya. Orang yang telah melakukannya dapat memiliki tanah tersebut. Mazhab Syafi’i menyatakan siapapun berhak mengambil manfaat atau memilikinya, meskipun tidak mendapat izin dari pemerintah. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, beliau berpendapat, Ihya' boleh dilakukan dengan catatan mendapat izin dari pemerintah yang sah. Imam Malik juga berpendapat hampir sama dengan Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, beliau menengahi dua pendapat itu dengan cara membedakan dari letak daerahnya.

Kedua, dengan proses igta'. Yakni pemerintah memberi jatah pada orang-orang tertentu untuk menempati dan memanfaatkan sebuah lahan. Adakalanya untuk dimiliki atau hanya untuk dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu. Ketiga, adalah dengan cara hima. Dalam hal ini pemerintah menetapkan suatu area untuk dijadikan sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk kemaslahatan umum. Dalam konteks dulu, hima difungsikan untuk tempat penggembalaan kuda-kuda milik negara, hewan, zakat dan lainnya. Setelah pemerintah menentukan sebuah lahan sebagai hima, maka lahan tersebut menjadi milik negara. Tidak seorang pun dibenarkan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya (melakukan ihya'), apalagi sampai merusaknya.

Dari uraian-uraian serta wacana-wacana di atas, sekiranya sudah mencukupi untuk dijadikan sebagai kerangka teoritik guna mendapatkan analisis terhadap pandangan hukum Islam terhadap pelestarian lingkungan.

Lingkungan Hidup dalam Perspektif  Fiqh al-Bi'ah

Ilmu figh merupakan salah satu dari ilmu-ilmu keislaman (al-'ulum asy-syar'iyah) yang sangat dominan dalam kehidupan umat Islam, termasuk Indonesia. Ilmu figh pada dasarnya adalah penjabaran yang nyata dan rinci dari nilai-nilai ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur'an dan sunnah, yang digali terus menerus oleh para ahli yang menguasai hukum-hukumnya dan mengenal baik perkembangan, kebutuhan, serta kemaslahatan umat dan lingkungannya dalam bingkai ruang dan waktu yang meliputinya.

Adapun ilmu fiqh secara garis besar mempunyai empat sektor penataan. Pertama, Rab'ul al-Ibadah, yaitu menata hubungan antara manusia selaku makhluk dengan Allah SWT sebagai khaliknya, yakni hubungan transendental. Kedua, Rub'ul al-Mu'amalat, yaitu menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulannya dengan sesamanya untuk memenuhi hajat kehidupannya sehari-hari. Ketiga, Rab'u al-Munakahat, yaitu penataan terhadap hubungan manusia dalam lingkungan keluarganya. Keempat, Rab'u al-Jinayah, yaitu bagian yang menata pengamanan manusia dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin keselamatan dan ketentramannya dalam kehidupan.

Dalam memaknai fiqh sebagai sumber etika sosial dan kemaslahatn, Imam al-Syathiby membagi kemaslahatan dalam tiga tingkatan. Pertama, kemaslahatan yang bersifat primer (al-dharuriyat), yaitu kemaslahatan yang mesti menjadi acuan utama bagi implementasi syari'at Islam. Yang dimaksud kemaslahatan primer yaitu perlunya melindungi jiwa, raga, dan kehormatan manusia atau hifdh al-nafs, hifdh al-'aql (perlindungan akal), hifdh al-mal ( perlindungan harta kekayaan), hifdh al-nasb ( perlindungan keturunan), dan hifdh al-din (perlindungan agama).

Pemahaman masalah lingkungan hidup (fiqh al-Bi'ah) dan penanganannya (penyelamatan dan pelestariannya) perlu diletakkan di atas suatu pondasi moral untuk mendukung segala upaya yang sudah dilakukan dan dibina selama ini yang ternyata belum mampu mengatasi kerusakan lingkungan hidup yang sudah ada dan masih terus berlangsung. Fiqh lingkungan hidup berupaya menyadarkan manusia yang beriman supaya menginsafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab manusia yang beriman dan merupakan amanat yang diembannya untuk memelihara dan melindungi alam yang dikaruniakan Sang pencipta yang Maha pengasih dan penyayang sebagai hunian tempat manusia dalam menjalani hidup di bumi ini.

Menurut  Ali Yafie, ada dua landasan dasar dalam fiqh al-Bi'ah yaitu. Pertama, pelestarian dan pengamanan lingkungan hidup dari kerusakannya adalah bagian dari iman. Kualitas iman seseorang bisa diukur salah satunya dari sejauh mana sensitivitas dan kepedulian orang tersebut terhadap kelangsungan lingkungan hidup. Kedua, melestarikan dan melindungi lingkungan hidup adalah kewajiban setiap orang yang berakal dan baligh (dewasa). Melakukannya adalah ibadah, terhitung sebagai bentuk bakti manusia kepada Tuhan. Sementara penanggung jawab utama menjalankan kewajiban pemeliharaan dan pencegahan kerusakan lingkungan hidup ini terletak di pundak pemerintah. Ia telah diamanati memegang kekuasaan untuk memelihara dan melindungi lingkungan hidup, bukan sebaliknya mengeksploitasi dan merusaknya.

Kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi di berbagai wilayah di Indonesia mendorong para ulama bersatu menyerukan keprihatinan serta kepedulian mereka akan kelestarian lingkungan hidup. Wujud kepedulian ini dituangkan dalam sebuah pernyataan bersama yang ditandatangani oleh lebih dari 30 ulama dari pondok pesantren (ponpes) di Jawa, Lombok, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.  Pernyataan bersama ini dikeluarkan pada pertemuan bertema "Menggagas fiqh lingkungan" yang diselenggarakan INFORM (Indonesia Forest and Media Campaign) dan P4M (Pusat Pengkajian Pemberdayaan dan Pendidikan Masyarakat) di Bogor 09-12 Mei 2004. Acara ini bertujuan merumuskan fiqh lingkungan yang berdasarkan pada Qur'an, Hadits serta kitab salaf (kitab kuning).

Selanjutnya dikeluarkannya fatwa MUI tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam (Fatwa Islamic Council on Natural Resouces Management), fatwa MUI Wil. IV Kalimantan tentang Pembakaran Hutan dan Kabut Asap (Edicts of Indonesia Islamic Council on Forest Fire and Haze) dan fatwa Penebangan Liar dan Pertambangan Tanpa Izin Illegal Logging dan Illegal Mining ( Edict on Illegal Logging and Illegal Mining). Dalam fatwa MUI tersebut memutuskan dan menetapkan bahwa pembakaran hutan dan lahan untuk kegiatan kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain yang mengakibatkan kabut asap, kerusakan lingkungan serta mengganggu kehidupan manusia hukumnya haram.

Landasan yang digunakan para ulama di antaranya: Firman Allah tentang penciptaan kekayaan alam untuk kemakmuran umat manusia (QS. Baqarah: 29), Firman Allah tentang pemberian kemudahan bagi umat manusia untuk mengambil manfaatnya (QS. AlJatsiyah:13), Firman Allah tentang larangan merusak lingkungan (QS. Al 'Araf: 56),Firman Allah tentang musibah (kebakaran dan kabut asap) disebabkan tangan manusia (QS. Asyu’ara: 30), Firman Allah tentang wajib mematuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah tentang larangan membakar hutan untuk ke-maslahatan manusia (QS. An Nisa: 59).

Keputusan ini dipertimbangkan berdasarkan dampak dari pembakaran hutan di musim kemarau untuk memperluas areal perkebunan merusak lingkungan, karena hutan menjadi gundul berubah menjadi padang ilalang dan pada musim hujan terjadi banjir; bahwa dampak pembakaran hutan menimbulkan kabut asap yang mengganggu transportasi laut, darat dan udara, mengganggu kesehatan masyarakat dan mengganggu proses belajar mengajar, bukan hanya di wilayah Kalimantan bahkan kabut asap meluas ke wilayah negara-negara tetangga bahwa untuk mengatasi kebakaran hutan dan kabut asap, MUI merasa perlu menetapkan fatwa tentang hukum membakar hutan, dan lahan untuk memperluas perkebunan yang menyebabkan tersebar kabut asap yang sangat mengganggu aktifitas masyarakat, untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat.

MUI wilayah IV Kalimantan juga memutuskan bahwa Penebangan dan penambangan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat dan atau negara hukumnya haram. Semua kegiatan dan penghasilan yang di dapat dari bisnis tersebut tidak sah dan hukumnya haram. Penegak hukum wajib bertindak tegas sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Kondisi yang melatarbelakangi adalah makin maraknya penebangan liar dan penambangan tanpa izin dan bisnis ilegal logging dan ilegal mining; bahwa hal tersebut sangat merugikan masyarakat dan negara, yang menyebabkan rusaknya lingkungan dan terjadi banjir dan tanah longsor dan melawan perundang-undangan yang berlaku; bahwa untuk membatasi praktek tersebut MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang penebangan liar dan penambangan tanpa izin, bisnis ilegal loging dan ilegal mining untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat.

Sedangkan sumber Al-Qur'an yang digunakan: Firman Allah tentang penciptaan kekayaan alam seperti kayu dan tambang untuk umat manusia, QS. Al Baqarah: 29 Artinya: "Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu", Firman Allah tentang pemberian kemudahan yang menjadikan segala yang diberikan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya, QS. Al Jatsiyah: 13 Artinya "Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir" Firman Allah tentang larangan merusak lingkungan , QS. Al 'Araf: 56 Artinya: "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdo'a lah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak diterima) dan harapan (akan dikabulkan), sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik" Firman Allah tentang musibah yang terjadi disebabkan tangan manusia, QS. Asyu’ara: 30 Artinya: "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar(dari kesalahan-kesalahan mu)" Firman Allah tentang wajib mematuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah yang melarang penebangan dan menambang yang berlebihan, QS. An Nisa: 59 Artinya "Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya) dan Ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (Sunnah-Nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah, dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".

Hadis-hadis yang menerangkan wajib mentaati pemimpin (Pemerintah) di antaranya adalah : Artinya: "Hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta mentaati (pemimpin) walaupun seorang yang berasal dari budak bangsa Habsyah".

Sedangkan kaidah-kaidah fiqh yang digunakan adalah: Kebijakan Pemerintah harus untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat : Artinya: "Kebijakan (peraturan) pemerintah dalam mengatur rakyat haruslah berdasarkan kemaslahatan".

Peraturan pemerintah yang mengatur hal yang mubah yang dianggap menjadi kemaslahatan umum dan apa yang telah ditetapkan itu wajib ditaati: Artinya: "Pemerintah memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang mubah yang dianggap membawa kepada kemaslahatan umum, dan apa yang diperintah (diatur) itu hukumnya wajib ditaati".

Peraturan pemerintah tersebut menjadi bagian hukum syara' (agama) yang wajib ditaati oleh semua orang: Artinya: "Peraturan pemerintah menjadi bagian hukum syara' ( agama) yang wajib ditaati oleh seluruh masyarakat untuk melaksanakannya"

Kesadaran ulama  tentang bahayanya kerusakan lingkungan semakin masif dengan munculnya beberapa ulama NU dalam Halaqoh (pertemuan) Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (GNKL PBNU) juga turut memberikan Taushiyah tentang Pelestarian Hutan dan Lingkungan Hidup (NU Advice on Forest Protection and Environment) pada tanggal 20-23 Juli 2007 di Jakarta. Dalam taushiyahnya mendorong pemerintah Republik Indonesia, wajib bersikap dan bertindak secara nyata dalam melenyapkan usaha-usaha perusakan hutan, lingkungan hidup dan kawasan pemukiman, memberantas penyakit sosial kemasyarakatan, menuntaskan problematika ekonomi serta memerangi praktek-praktek ekonomi yang merugikan masyarakat, bangsa dan negara demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui penegakan supremasi hukum. Pencemaran lingkungan baik udara, air maupun tanah, akan menimbulkan dharar (kerusakan), hukumnya dinyatakan haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat).

Adapun yang mendasari Tausiah Ulama NU Terdapat 3 (tiga) aspek, yaitu: pertama krisis ekologi yang dapat dilihat dari parahnya kerusakan hutan, punahnya sumber-sumber mata air keanekaragaman hayati, perubahan iklim secara ekstrem, pencemaran udara, pencemaran laut pencemaran daerah aliran sungai dan perusakan kawasan masyarakat akibat kecerobohan industrialisasi, penggunaan bahan kimia, bahan uranium dan penggunaan teknologi secara massal yang membahayakan keberlanjutan kehidupan manusia dan bumi, serta mengakibatkan bencana alam, banjir, gempa bumi, angin puting beliung, tanah longsor dan rusaknya kawasan pertambangan dan sekitarnya. Kedua krisis kemasyarakatan yaitu berkembangnya sikap tidak percaya antar masyarakat kepada pemerintah, lemahnya penegakan supremasi hukum, parahnya dekadensi moral, menguatnya individualisme, hilangnya jati diri bangsa dan menipisnya rasa cinta tanah air, meningkatnya sifat konsumtif hedonisme, penyakit korupsi, penyakit malas dan kegemaran mengambil jalan pintas, yang menghalalkan segala cara dan mengakibatkan banyak kerusakan di muka bumi, dan Ketiga, krisis ekonomi yaitu meningkatnya jumlah pengangguran dan kemiskinan, dan energi nasional, melemahnya daya saing produk dalam negeri akibat penetrasi pasar global.

Peran aktif ulama Islam di Indonesia terutama sejak dua tahun terakhir disambut dengan antusias oleh berbagai kalangan untuk menjadi pemecah kebuntuan dalam penyelesaian persoalan lingkungan. Indonesia dengan populasi muslim yang paling besar di dunia dengan wilayah hutan dan keanekaragaman flora dan fauna diharapkan menjadi pelopor dalam hal ini.

Menurut Khalid, fatwa ulama mempunyai kekuatan yang luar biasa tetapi tidak cukup mudah untuk menjalankannya, termasuk memicu kesadaran pada lingkungan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Azis  bahwa aspek yang paling dominan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat biasanya tergantung pada sistem nilai yang dipegang oleh masyarakat itu sendiri baik dimensi ekonomi dan pendidikan, adat istiadat atau budaya setempat serta agama. Untuk itu, Khalid menjelaskan bahwa ulama bisa menggunakan media khotbah jumat (pengajian) atau bersinergi dengan politisi sebagai salah satu jalan untuk menggulirkan fatwa tersebut menjadi sebuah proses politik.

Fiqh Al-Bi'ah Sebagai Solusi Alternatif terhadap kerusakan lingkungan: Catatan Penutup

Pemanasan global dan perubahan iklim bukan saja menjadi ancaman dan kekhawatiran masyarakat di Barat, juga menjadi kepedulian akan dampaknya di dunia Islam. Perubahan iklim disamping telah dirasakan dengan adanya penambahan curah hujan 2-3% setiap tahun, juga membawa dampak, misalnya dengan meningkatknya tinggi permukaan laut di teluk Jakarta sebanyak 0.57 cm per tahun. Peristiwa ini telah terbukti, ketika pasang naik, beberapa kawasan di teluk Jakarta Utara, mulai terendam. Diperkirakan, tahun 2050, kawasan padat penduduk di Jakarta Utara akan tenggelam. Di samping itu, perubahan iklim juga akan berdampak terdahap produktifitas lahan akibat sebagian pinggir pantai terendam, yang berdampak pada penurunan 95% kemampuan lokal dalam produksi padi. Di sisi lain besaran kehilangan kawasan hutan selama periode 1997-2004 sebesar 4-7 kali luas lapangan bola per menit atau setara dengan 2-3,8 juta ha per tahun. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, telah nampak pula bagaimana kawasan sempadan sungai di Aceh Tamiang senantiasa menggenangi rumah dan lahan-lahan pertanian penduduk karena semakin berkurangnya kawasan resapan air. Keanekaragaman hayati yang terbentuk selama ribuan tahun sebagai rahmat Allah SWT dihancurkan secara cepat oleh berbagai kepentingan banyak pihak mulai dari militer, birokrasi, pengusaha, individu, ormas hingga rakyat jelata.

Sebagai negara berkembang yang baru saja ingin bangkit, negara-negara muslim harus berhadapan pada dualisme keadaan: antara pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pengurasan kekayaan sumber daya alam, dan keadaan lingkungan yang telah sangat cepat berubah sehingga menimbulkan krisis dan kekhawatiran yang akan menimpa. Sayangnya— seperti disadari oleh para cendekiawan muslim —ternyata selama ini pendekatan yang dilakukan untuk menggalang kesadaran lingkungan di negara-negara Muslim justru kebanyakan diadopsi berdasarkan pengetahuan dari Barat. Begitu pula adopsi sistem kawasan lindung termasuk konservasi hutan (taman nasional) dan manajemen kawasan-kawasan konservasi yang banyak mengambil pelajaran dari sistem Amerika Utara. Secara umum terminologi lingkungan hidup memang lebih banyak menggunakan kosa kata dari peradaban barat, seperti “Agenda 21”, Habitat, dan “Greenhouse effect”, “Ecolabeling”, dan “Sustainable Development”. Sehingga tumbuh anggapan yang salah bahwa hanya ahli-ahli dari negara baratlah yang menguasai masalah lingkungan hidup. Padahal untuk seorang muslim masalah lingkungan hidup sifatnya inheren sebagai bagian dari kepribadian. Namun kenyataannya banyak yang secara tidak sengaja memisahkan masalah lingkungan hidup dari urusan agama. Hal ini terjadi akibat ketidaktahuan mereka bahwa ternyata ajaran agama Islam banyak membahas soal pelestarian alam—termasuk merawat lingkungan dan mencegah penebangan hutan— atau kurangnya sosialisasi sehingga sukar dimengerti oleh masyarakat bahwa perawatan terhadap lingkungan adalah merupakan salah satu yang diwajibkan dalam Islam.

Munculnya wacana Fiqh Al-Bi'ah dalam kalangan ulama merupakan terobosan paradigma baru untuk melakukan pengelolaan lingkungan melalui sebuah ajaran religi dan sebagai solusi alternatif dalam pengelolaan lingkungan sehingga hak atas lingkungan bukan hanya milik orang Barat melainkan hak bagi setiap umat di dunia. Indonesia yang notabene masyarakatnya umat Islam kesadaran kelestarian lingkungan hidup ditentukan oleh peran para ulama dan kiyai yang berperan serta dalam pelestarian lingkungan. Oleh karena itu keluarnya fatwa mengenai pemanasan global pada pertengahan 2007 dan dua fatwa tahun sebelumnya yang menentang pembakaran dan penggundulan hutan menunjukkan betapa ulama Indonesia telah membuat lompatan maju dibanding ulama di negara Islam lainnya.

DAFTAR PUSTAKA


Alim, Yusmin, Artikel: Lingkungan dan Aksioma Kerakusan. 19 September, 2007. http://agamadanekologi.blogspot.com. Diakses pada 1 Mei 2008.

------------------, Artikel : Lingkungan dan Kadar Iman Kita. 27 Juni 2006 http;//www.hidayatullah.com. Diakses pada 29 April 2008.

Anonymous,Ulama Internasional Membahas Lingkungan Dalam Persfektif Islam. DKM 'Ibaadurrahmaan. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. 2007.


‘Afi, Hafiz Abu Bakr Ahmad ibn Husain ibn, Sunan al-Baihaqi, Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1992

Bateson, Gregory, Step an Ecology of Mind,  Paladin: t.p. 1973.


Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. II Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Djamil, Fathurahman,  Filsafat Hukum Islam, cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Gazali, Hatim (2005). Mempertimbangkan Gagasan Eco-Theology. http://islamlib.com. Diakses pada 28 April 2008.

Harahap, Adnan, Islam dan Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Suara Bhumy, 1997

Keraf, A. Sonny, Etika Lingkungan, Jakarta: Kompas, 2002

_______, “Tiga Prioritas Dalam Menanggulangi Lingkungan Hidup di Indonesia”, Kompas, 7 Juni, 1973

Mangunwijaya, Fachruddin M., 2008). Dunia Islam dan Perubahan Iklim. Tropika/Conservation International Indonesia

Nasution, Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia  Jakarta: Djambatan, 1992.

Khalid, Fazlun M., 2007. Islam dan Lingkungan Hidup: Umat Islam Indonesia Kabar Gembira Bagi Bumi. http://greenpressnetwork.blogspot.com. Didownload tanggal 29 April 2008 pk. 09.45.

Qardhawi, Yusuf al-, Islam Agama Ramah Lingkungan. Abdullah Hakam Shah, dkk. (terj.)., Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002.

Rasjidi, M, Hukum Islam dan Pelaksanaannya dalam sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

R.F Schumacher dalam A Guide for the Perplexed (1981)

Sakho Muhammad, Ahsin,  dkk., Fiqih Lingkungan, Jakarta: INFORM, 2004.

Soemarwoto,Otto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pengembangan, Jakarta: Djambatan, 2001.

Sonny, Keraf A, Sonny, “Tiga Prioritas Dalam Menanggulangi Lingkungan Hidup di Indonesia”, Kompas, 7 Juni 1973.

Yafie, Ali,  Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Amanah, 2006.

Zainal. Kelestarian Lingkungan dalam Perspektif Islam. http:// www.bangrusli.net.  Diakses pada 29 April 2008.

http://www. muslimhands.org. Diakses tanggal 08 Februari 2007.

No comments:

Post a Comment