Monday, 1 April 2013

FILSAFAT AL-KINDI

Oleh: Syafieh. M. Fil. I 

A.      Pendahuluan
Falsafat atau filsafat adalah merupakan kata yang berasal dari bahasa yunani yaitu philosophia sebagai gabungan dari philein yang berarti ”cinta“ dan shoppos yang berarti “hikmah“. Kemudian philosophia masuk kedalam bahasa arab menjadi Falsafat yang berarti cara berfikir menurut kogika dengan bebas, sedalam –dalamnya sampai kepada dasar persoalan.

Dari segi praktisnya berfilsafat berarti “berfikir“ . filsafat berarti “alam fikiran“ atau “alam berfikir”. Namun demikian tidak semua berfikir berarti berfilsafat.Sidi Gazalba mengartikan “berfilsafat“ berarti mencari kebenaran untuk kebenaran tentang segala sesuatu yang dimasalahkan,berfikir secara radikal, sistematis,dan universal. Dapatlah dikatakan bahwa intisari filsafat ialah berfikir secara logika dengan bebas ( tidak terikat pada tradisi, dogma dan agama ) dan dengan sedalam – dalamnya sehingga sampai ke dasar – dasar persoalan.

Agama yang berarti menguasai diri seorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada tuhan dengan menjalankan ajaran agama. intisari yang terkandung didalamnya adalah “ ikatan “. Agama mengandung arti ikatan – ikatan yanag harus dipegang dan dipatuhi manusia. Karena mempunyai pengaruh dalam aktivitas manusia. Dan ikatan itu, mempunyai kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan panca indra.

Filsafat bagi al-kindi ialah pengetahuan tentang yang benar. Disinilah terdapat persamaan filsafat dan agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar apa yang baik.demikian halnya filsafat. Agama, disamping wahyu, mempergunakan akal,dan filsafat juga menggunakan akal. Yang benar pertama bagi al-kindi ialah Tuhan dan filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan. Bahkan al-kindi berani mengatakan bagi orang yang menolak filsafat, telah mengingkari kebenaran, dan menggolongkannya kepada “kafir”, karena orang – orang tersebut telah jauh dari kebenaran, walaupun menganggap dirinya paling benar. Karena keselarasan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan:(1) ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, (2) wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian dan,(3) menurut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam Agama.

B.       Al-Kindi
1.      Biografi dan Pendidikannya
Nama lengkap beliau adalah Abu Yusuf Ya'kub bin Ishaq As-Shabbah bin 'Imran bin Ismail bin Muhammad Al-Asy'ats bin Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M). Ia termasuk keluarga yang kaya dan terhormat. Kakek buyutnya bernama Al-Asy’ats ibnu Qays yakni seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang gugur sebagai Syuhada bersama sa’ad ibnu Abi Waqqas dalam peperangan antara kaum muslimin dengan Persia di Irak. Sedangkan ayahnya bernama Ishaq ibnu As-Shabbah yakni seorang Gubernur di Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi (tahun 775-785 M) dan Al-Rasyid (tahun 786-809 M). namun ayahnya meninggal ketika ia masih usia anak-anak.[1]  

Al-kindi berasal dari Klan Kindah yakni salah satu Kabilah Arab. Selain dari itu, karena ia merupakan keturunan Arab, ia dimasukkan dalam kelompok filosof Arab.[2] Nama Al-Kindi dinisbatkan pada sukunya yakni Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku yang dikenal memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan banyak dikagumi orang dikala itu. “Suku ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang terbesar dan tersebar para kesustraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qays yang gagal untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya”.[3]

Kalau diperhatikan dari tahun kelahiran al-Kindi, kita dapat membuat sebuah kesimpulan bahwa ia hidup pada masa kekuasaan Bani ‘Abbas. Pada masa kecil ia telah merasakan masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid. Al Kindi sudah menjadi Yatim sejak ia masih berusia kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik. Al Kindi sendiri mengalami masa pemerintahan lima Khalifah Bani Abbas, yakni Al-Amin (809-813 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Al- Mu’tasim (833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M).[4]

Al-Kindi adalah seorang yang aktif dalam segala aktivitas dilakukannya. Salah satu bentuk dalam kesibukannya ia menyibukkan dirinya untuk menerjemahkan karya-karya tulisan Yunani ke dalam Bahasa Arab, juga mengkoreksi hasil terjemahan orang lain atas karya-karya tersebut dan ia pun bekerja di Istana Khalifah Abbasiyah.  Tidak hanya itu, karena ia dipercaya oleh pihak Istana dengan kemampuannya untuk mengajar, maka iapun diangkat menjadi guru pribadi pendidik anak Khalifah di kala itu yang bernama Mu’tashim. Mu’tashim adalah Khalifah yang menggantikan Al-Makmun, sedangkan anak yang dididik oleh al-Kindi bernama Ahmad bin Mu’tashim. Namun di masa terakhir kehidupannya, ia diusir dari istana.[5] Akhirnya ia meninggal di Baghdad pada Tahun 252 H/866 M. 
Al-Kindi mulai belajar sejak ia kecil, dan ia mempelajari ilmu-ilmu sesuai dengan kurikulum pada masanya. Ia mempelajari al-Qur’an serta belajar membaca, menulis, menghitung yang diperolehnya sewaktu ia masih Sekolah Dasar di Bashrah.  Kemudian ia melanjutkan ke Baghdad hingga tamat, sehingga ia mahir dalam berbagai cabang ilmu yang ada pada waktu itu, seperti ilmu ketabiban (kedokteran), filsafat, ilmu hitung, mantigh (logika), geometri, astronomi, seni musik, ilmu ukur dan lain sebagainya. Penguasaanya terhadap filsafat telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajarannya para filosof terkemuka. Karena itulah ia dinilai pantas menyandang gelar Failasuf al-‘Arab (filosof berkebangsaan Arab).[6] Ia juga mempelajari ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani, hingga sekurang-kurangnya memahami salah satu bahasa yang menjadi bahasa ilmu pengetahuan di kala itu yakni bahasa Suryani. Dari buku-buku Yunani yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Suryani inilah Al-Kindi menerjemahkannya kedalam bahasa Arab.

2.      Karya-Karyanya
Sebagai seorang ilmuwan yang kaya dengan pengetahuan, maka al-Kindi membuat sebuah karya tulis ilmiah, dan membuat terjemahan buku-buku Yunani dan sekaligus melakukan koreksi serta perbaikan atas terjemahan orang lain. Sebagai seorang pakar ilmuan di kala itu, kita dapat melihat beberapa hasil tulisan yang dibuat oleh Al Kindi, yakni sebagai berikut:

a.     Bidang Filsafat
  1. Fi al-falsafat al-‘Ula,
  2. Kitab al-Hassi’ala Ta’allum al-Falsafat,
  3. Risalat ila al-Ma’mun fi al-illat wa Ma’lul,
  4. Risalat fi Ta’lif al-A’dad,
  5. Kitab al-Falsafat al-Dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyat wa al-Mu’tashah wa ma Fauqa al-Thabi’iyyat,
  6. Kammiyat Kutub Aristoteles,
  7. Fi al-Nafs [7]

b.     Bidang Astronomi
  1. Risalah fi Masa’il Su’ila anha min Ahwal al-Kawatib (jawaban dari pertanyaan tentang planet),
  2. Risalah fi Jawab Masa’il Thabi’iyah fi Kayfiyyat Nujumiah (pemecahan soal-soal fisik tentang sifat-sifat perbintangan),
  3. Risalah fi anna Ru’yat al Hilal la Tudhbathu bi al-Haqiqoh wa innama al-Qowl fiha bi at-Taqrib (bahwa pengamatan astronomi bulan baru tidak dapat ditentukan dengan ketetapan,
  4. Risalah fi Mathrah asy-Syu’a (tentang projeksi sinar),
  5. Risalah fi Fashlayn (tentang dua musim yakni; musim panas dan musim dingin),
  6. Risalah fi Idhah ‘illat Ruju’ al-Kawakib (tentang penjelasan sebab gerak kebelakang planet-planet),
  7. Fi asy-Syu’at (tentang sinar bintang).
c.     Meteorologi
1.  Risalah fi ’illat Kawnu adh-Dhabasb (tentang sebab asal mula kabut),
2.  Risalah fi Atshar alladzi Yazhharu fi al-laww Yusamma Kawkaban (tentang tanda yang tampak di langit dan disebut sebuah planet),
3.  Risalah fi ’illat Ikhtilaf Anwa’us Sanah (tentang sebab perbedaan dalam tahun-tahun),
4.  Risalah fi al-Bard al-Musamma ”Bard al-Ajuz” (tentang dingin),

d.     Ramalan
1.  Risalah fi Taqdimat al-Khabar (tentang Prediksi),
2.  Risalah fi Taqdimat al-Ma’rifat fi al-Ahdats (tentang ramalan dengan mengamati gejala meteorolgi).

e.     Ilmu Pengobatan
1.  Risalah fi’illat Naftcad-Damm (tentang hemoptesis yakni; batuk darah dari saluran pernapasan),
2.  Risalah fi Adhat al-Kalb al-Kalib (tentang rabies).

f.     Ilmu Hitung
1.  Risalah fi al-Kammiyat al-Mudhafah (tentang jumlah relatif),
2.  Risalah fi at-Tajhid min Jihat al-’Adad (tentang keesaan dari segi angka-angka).

g.     Logika
1.  Risalatun fi Madhkal al-Mantiq bi Istifa al-Qawl fihi (tentang sebuah pengantar lengkap logika),
2.  Ikhtisar Kitab Isaghuji li Farfuris (sebuah ikhtisar Eisagoge Porphyry).

Karya-karya yang disebutkan di atas merupakan sebagian terkecil dari sekian banyak karya Al-Kindi. Karya Al-Kindi di susun oleh Ibnu An-Nadim yang menyebutkan tidak kurang dari 242 buah karya Al-Kindi, sedangkan sumber lain menyebutkan 265 buah, dan membaginya menurut pokok persoalannya menjadi filsafat, logika, ilmu hitung, sferika, ilmu kedokteran, astrologi, polemik, psikologi, politik, meteorologi, dan ramalan.[8]

3.      Pemikiran Al-Kindi
Menurut sejarah dibeberapa buku, seperti; Al-Tarikh Al-Islami, Tarikh Falasifah Al-Islam, Tarikh Al-Fikr Al-Arabi, dan Lainnya menyatakan bahwa al-Kindi adalah seorang filosof Islam yang pertama dari bangsa Arab yang berusaha memadukan antara ajaran filsafat Yunani dengan ajaran Islam. Atas perpaduan antara ajaran filsafat yunani dengan Ajaran Islam, maka ini terbukti bahwa mempelajari filsafat tidaklah memusnahkan keyakinan agama yang dimiliki umat Islam selama umat Islam tersebut sudah kokoh berpegang pada dasar-dasar Islam. Selama eksisnya dalam mempelajari filsafat, al-Kindi memberikan definisi-definisi singkat dari filsafat itu sendiri.

 Menurutnya filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia, pengetahuan dari segala pengetahuan dan kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan, hingga kesemuaanya dititik beratkan pada nilai tingkah laku manusia. Menurutnya lagi filosof adalah “orang yang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil. Filosof yang sejati adalah filosof yang mampu memperoleh kebijaksanaan dan mengamalkan kebijaksanaan itu.”[9]  

Sebagai seorang muslim, Al-Kindi berusaha menggegas agar filsafat bisa dipelajari dan berpadu dalam Islam, namun arah tujuan dari semua itu tidak untuk kebenaran yang hakiki. Untuk itu Al-Kindi yang terkenal sebagi Filosof Islam pertama kali di dunia membuat suatu usaha demi sebuah pencerahan. Salah satu usahanya adalah al-Kindi memperkenalkan filsafat ke dalam dunia Islam dengan cara mengetok hati umat supaya menerima kebenaran walaupun dari mana sumbernya. Menurutnya kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana saja sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah meremehkan dan merendahkan martabat orang yang menerimanya.[10] 

Kemudian ia Mengarahkan filsafat muslim ke arah kesesuaian antara filsafat dan agama melalui perpaduan antara akal dan agama. Kalau di gariskan maka, filsafat berlandaskan akal sedangkan agama berdasarkan wahyu. Logika (mantiq) merupakan metode filsafat sedang iman merupakan kepercayaan kepada hakikat yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagaimana diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya. Apa yang telah dinyatakan dalam al-Qur’an merupakan satu ilmu yang mesti dipelajari melalui akal dan keimanan, sebagai contoh firman Allah Swt Q.S. Al-Baqarah ayat 164 :

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
”Sesungguhnya tentang kejadian  langit dan bumi, perbedaan malam dan siang, kapal yang berlayar dilautan (membawa) barang-barang yang berfaedah bagi manusia, hujan yang diturunkan Allah Swt dari langit, lalu dihidupkanNya dengan dia bumi yang telah mati, berkeliaran diatasnya tiap-tiap yang melata, angin yang bertiup dan awan yang terbentang antara langit dan bumi, sesungguhnya segala yang tersebut itu menjadi ayat-ayat (bukti-bukti atas kekuasaan Allah Swt) bagi kaum yang berfikir”.

Dalil kedua yang dimunculkannya adalah Q.S Al-Hasyr ayat 2;

... فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ

”… maka ambillah ’ibrah (pengajaran), hai orang-orang yang mempunyai pemandangan”.

Ia juga menselaraskan antara filsafat dan agama yang didasarkan pada tiga alasan: pertama, ilmu agama merupakan bagian dari filsafat. Kedua, wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian. Ketiga, menuntut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama.[11]

Filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat segala suatu, dan ini mengandung teologi (al-rububiyah), ilmu tauhid, etika dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Kebanyakan definisi filsafat al-Kindi dikumpulkan dari karya-karya Aristoteles dan kesukaannya kepada Aristoteles tidak bisa di abaikan. Bahkan, ketika ia meringkas dari sumber-sumber lain yang secara keliru, ia menisbahkan pula kepada Aristoteles. Subjek dan susunanya sesuai benar dengan sumber Neopolitik. Pada definisi pertama, Tuhan disebut ”Sebab pertama” mirip dengan ”Agen Pertamanya” Plotinus, suatu ungkapan yang juga digunakan al-Kindi atau dengan istilahnya ”Yang Esa adalah sebab dari segala sebab”. Definisi-definisi berikutnya  dalam Risalah al-Kindi dikemukakan susunanya yang membedakan antara alam atas dan alam bawah. Yang pertama ditandai dengan definisi-definisi akal, alam, dan jiwa, diikuti dengan definisi-definisi yang menandai alam bawah, dimulai dengan definisi badan (jism), penciptaan (ibda’), materi (hayula), bentuk (shurah).[12] Dari dasar pemikiran al-kindi akhirnya timbullah pemikiran Filsafatnya antara lain:

a.    Filsafat Ketuhanan
Filsafat Ketuhanan al-Kindi merupakan awal lahirnya perbincangan Ketuhanan, namun penafsiran al-Kindi mengenai Tuhan sangat berbeda dengan pendapat Aristoteles, Plato dan Plotinius. Mengenai hakikat ke-Tuhanan ia mengatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang Esa, tidak ada sesuatu benda apapun yang menyerupai akan Tuhan, dan Tuhan tidaklah melahirkan ataupun dilahirkan, akan tetapi Tuhan akan selalu hidup dan tidak akan pernah mati. Dalam al-Qur’an Surat al-Ikhlas ayat 1 s/d 4 sebagai bukti keberadaan Tuhan.

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ * اللَّهُ الصَّمَدُ * لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ * وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
”Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,  Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia".

Dalam Islam Sang Khalik atau pencipta dan penguasa segalanya di buat sebuah penamaan yakni ”Allah Swt” sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas maka, itulah bukti yang paling kongkrit bahwa Allah swt itu ada dan hidup kekal selamanya, sedangkan manusia adalah Hamba Allah yang diberikan kehidupan hingga akhirnya mati. Bagaimana kita bisa percaya akan adanya Allah Swt, maka dari itu sebagai manusia biasa diberikan akal, hati dan nurani untuk dapat menyakini adanya Allah swt melalui bukti-bukti kekuasaan Allah Swt.

Agar manusia khususnya umat Islam tidak berselisih paham akan keberadaan Allah Swt, tentang keberadaan alam, ataupun keberadaan manusia itu sendiri, maka sebagai seorang filosof, al-Kindi membagi pengetahuan menjadi dua bahagian, yakni: pertama, pengetahuan Ilahi علم الهي (divine science). Pengetahun ini diambil langsung dari yang tercantum dalam al-Qur-an yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh Nabi dari Tuhan. Sedangkan dasar dari pengetahuan ini adalah keyakinan. Kedua, pengetahuan manusiawi علم إنسانى (human science) atau falsafat. Dasarnya ialah pemikiran (ratio-reason).

Argumen-argumen yang dibawa Qur’an lebih meyakinkan daripada argumen-argumen yang ditimbulkan falsafat. Tetapi falsafat dan Qur’an tidak bertentangan dengan kebenaran yang di bawa falsafat. Mempelajari filsafat dan berfalsafat tidak dilarang, karena teologi adalah bahagian dari filsafat, dan umat Islam diwajibkan belajar teologi.[13] 

 Kebenaran yang sesungguhnya hanya pada Allah Swt. Apa yang terlintas di akal hingga terjadi dengan sendirinya di luar akal merupakan sebuah hikmah dalam kehidupan yang mesti kita sadari bahwa terkadang suatu pelajaran sudah kita anggap benar namun akhirnya menjadi sebaliknya. Akhirnya semua akan kembali kepada al-Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk bagi kehidupan manusia. Apa yang dinyatakan dalam al-Qur’an semuanya mengandung hikmah dan pelajaran bagi seorang insan yang mau berpikir. 

Tuhan dalam falsafat al-Kindi tidak mempunyai hakekat dalam arti ’aniah atau mahiah. Tidak ’aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, kemudian tuhan tidak mempunyai hakekat dalam bentuk mahiah, karena Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah tunggal, selain dari Tuhan semuanya mempunyai arti banyak.[14]
Agar dapat memahami penafsiran al-Kindi tentang Tuhan, kita mesti merujuk pada kaum Tradisionalis dan Mu’tazilah. Kaum tradisionalis (Ibn Hanbal adalah salah seorang tokohnya) menafsirkan sifat-sifat Allah dengan nama-nama Allah, mereka menerima makna harfiyah al-Qur’an tanpa memberikan penafsiran lebih jauh. Kaum Mu’tazilah yang semasa dengan al-Kindi, secara akal menafsirkan sifat-sifat Allah demi memantapkan sifat Maha Esa-Nya. 

Walaupun al-Kindi sepaham dengan Muktazilah dalam menafikan sifat dari Zat Allah. Akan tetapi, ketika Muktazilah menyatakan bahwa Tuhan itu mengetahui dengan Ilmu-Nya dan Ilmu-Nya adalah Zat-Nya (’Alim bi’ilm wa ’ilmuh zatuh) berkuasa dengan kekuasaan-Nya dan kekuasaa-Nya adalah Zat-Nya (qadir bi qudratih wa qudratuh zaituh) al-Kindi tidak sepaham dengan pandangan ini. [15] Sesuai dengan paham yang ada dalam Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah Pencipta dan bukan penggerak Pertama sebagai pendapat Aristoteles.[16]


b.   Filsafat Alam
Mengenai alam, al-Kindi berbeda pendapat juga dengan para filosof seperti Aristoteles Plato, dan lainnya yang sebelum dia dengan mengatakan ”alam ini kekal”, sedangkan al-Kindi mengatakan ”alam ini tak kekal”. Dalam hal ini ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik. Dengan ketentuan ini, setiap benda yang terdiri atas materi dan bentuk yang tak terbatas ruang dan bergerak di dalam waktu, adalah terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.[17] 

Al-Kindi juga mengatakan alam bukan kekal di zaman lampau (qadim) tetapi mempunyai permulaan. Karena itu ia lebih dekat dalam hal ini pada falsafat Plotinus yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu. Tetapi paham emanasi ini kelihatannya tidak jelas dalam falsafat al-Kindi. Al-Farabiyah yang dengan jelas menulis tentang hal itu.[18]

Menurut al-kindi alam ini termasuk makhluk yang sifatnya baharu, sebagai bukti dari baharunya alam ia mengemukakan beberapa argumen, antara lain: pertama, semua benda yang homogen, yang tiada padanya lebih besar ketimbang yang lain, adalah sama besar. Kedua, jarak antara ujung-ujung dari benda-benda yang sama besar, juga sama besarnya dalam aktualitas dan potensialitas. Ketiga, benda-benda yang mempunyai batas tidak bisa tidak mempunyai batas. Keempat, jika salah satu dari dua benda yang sama besarnya dan homogen ditambah dengan homogen lainnya, maka keduanya menjadi tidak sama besar. Kelima, jika sebuah benda dikurangi, maka besar sisanya lebih kecil daripada benda semula. Keenam, jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan kembali kepadanya, maka hasilnya adalah benda yang sama seperti semula. Ketujuh, tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak mempunyai batas. Kedelapan, jika benda-benda yang homogen yang semuanya mempunyai batas ditambahkan ber sama, maka jumlahnya juga akan terbatas.[19]

Kesimpulan dari ungkapan al-Kindi atas ungkapannya di atas adalah alam semesta ini pastilah terbatas, oleh sebab itu ia menolak pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam semesta tidak terbatas atau qadim. Mengenai keteraturan alam dan perdaran alam ini sebagai bukti adanya Tuhan, sedangkan alam adalah buatan Tuhan.

c.    Filsafat Jiwa dan Akal
Mengenai jiwa dan akal, al-Kindi juga membantah pendapat Aristoteles. Para filosof muslim menamakan jiwa (al-nafs) seperti yang diistilahkan dalam al-Qur’an yaitu, al-ruh. Kemudian kata ruh ini di indonesiakan menjadi tiga bentuk, pertama nafsu yaitu dorongan untuk melakukan perbuatan yang diingini, jika keinginan ini berbentuk negatif maka nafsu ini mendekati dengan hawa, jadi kalau digabungkan menjadi hawa nafsu (keinginan yang jelek). Kedua nafas yaitu suatu alat pencernaan udara sebagai tanda kehidupan seseorang. Ketiga roh atau jiwa yaitu suatu zat yang tidak bisa dirangkaikan bentuknya. Karena al-Qur’an telah menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui akan hakikat roh, roh adalah urusan Allah bukan urusan manusia. Allah menyatakan akan hakikat roh dalam Q.S. Al-Isra’ 17 : 85.

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا

”Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

Sedangkan akal merupakan sebuah potensi berupa alat untuk berpikir yang hanya dimiliki oleh manusia. Setiap manusia yang terlahir ia akan membawa potensi masing-masing dari akal yang dimilikinya, semakin banyak ia berpikir semakin banyak pula ia akan mendapatkan pengetahuan, maka akan nampak sebuah perbedaan seorang yang banyak berpikir dengan akalnya untu menemukan sebuah ide-ide baru dari pada seorang yang hanya menerima hasil dari ide orang lain. Muncullah sebuah perbedaan antara seorang yang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan seperti dikatakan al-Qur’an pada Surat az-Zumar ayat 9:

 أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَاب

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.

Selanjutnya, Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi adalah badan dan bentuk adalah jiwa manusia. Hubungan dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi. Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan begitu pula sebaliknya materi atau badan tidak pula bisa berwujud tanpa bentuk atau jiwa. Pendapat ini mengandung arti bahwa jiwa adalah baharu karena jiwa adalah form bagi badan. Form tidak bisa terwujud tanpa materi, keduanya membentuk satu kesatuan yang bersifat esensial, dan kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa. Dalam hal ini al-Kindi sependapat dengan Plato yang mengatakan bahwa kesatuan jiwa dan badan adalah kesatuan Acciden, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa. Namun, ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide.

Menurut al-Kindi roh tidak tersusun (basiithah, simple, sederhana) tetapi mempunyai  arti penting, sempurna dan mulia. Substansinya (jawahara) berasal dari substansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Hanya roh yang sudah suci di dunia ini yang dapat pergi ke alam kebenaran itu. Roh yang masih kotor dan beluim bersih, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil membersihkan diri di sana, baru pindah ke Merkuri, dan demikianlah naik setingkat demi setingkat hingga akhirnya, setelah benar-benar bersih, sampai ke alam akal, dalam lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.[20]

Mengenai akal, al-Kindi juga berbeda pendapat dengan Aristoteles. Aristoteles membedakan akal menjadi dua macam, yaitu akal mungkin dan akal agen. Akal mungkin menerima pikiran, sedangkan akal agen menghasilkan objek-objek pemikiran. Akal agen ini dilukiskan oleh Aristoteles sebagai tersendiri, tak bercampur, selalu aktual, kekal, dan takkan rusak. Berbeda halnya dengan al-Kindi yang membagi akal dalam empat macam; pertama: akal yang selalu bertindak, kedua: akal yang secara potensial berada di dalam roh, ketiga: akal yang telah berubah, di dalam roh, dari daya menjadi aktual, keempat; akal yang kita sebut akal kedua. Yang dimaksudkan dengan akal ”kedua” yaitu tingkat kedua aktualitas; antara yang hanya memiliki pengetahuan dan yang mempraktekkannya.[21]

Dinyatakan lagi oleh al-Kindi bahwa; akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat aktuil jika tidak ada kekurangan yasng menggerakkannya dari luar. Dan oleh karena itu bagi al-Kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan bermakna: akal yang selamanya dalam aktualitas (al’aqlu ladzi bil fa’il abadan). Akal ini, karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal yang bersifat potensial dalam roh manusia menjadi aktuil. Bagi al-Kindi manusia disebut menjadi ’akil (’akal) jika ia telah mengetahui universal, yaitu jika ia telah memperoleh akal yang di luar itu (idza uktisab hadzal ’aklul kharaji). Akal yang selalu bertindak (akal pertama) bagi al-Kindi, mengandung arti banyak, karena dia adalah universals (al-kuliyat mutakatsarah). Dalam limpahan dari Yang Maha Satu, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang banyak (awwalu muktatsar).[22]

C.  Kesimpulann
Al-Kindi, adalah seorang  filosof yang berusaha mempertemukan agama dengan filsafat. Ia berupaya membuktikan bahwa berfilsafat tidak dilarang. Meski Al-Kindi terpengaruh pemikiran-pemikiran Plato dan Aristoteles dan memperlihatkan corak pitagorasme, namun dalam beberapa hal Al-Kindi tidak sependapat dengan para filosof Yunani mengenai hal-hal yang dirasakakn bertentangan dengan ajaran islam yang diyakininya.
Sebagai filosof islam pertama yang menyelaraskan agama dengan filsafat, ia telah melicinkan jalan bagi filosof sesudahnya, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.

DAFTAR PUSKATA
Al-Ahwaniy, Fu’ad,  al-Falsafat al-Islamiyyat, Kairo: Dar al-Qalam, 1962

Asy-Syarafa, Ismail, Ensiklopedi Filsafat, Cet.I, Jakarta: KHALIFA, 2005

Atiyeh, George N. Al Kindi Tokoh Filsafat Muslim, Terj. Kasidjo Djojo suwarno, Bandung: Salman, 1983

Fakhri, Majid,  Sejarah Filsafat Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986

Farukh, Umar,  Tarikh Al-Fikr Al-Arabi, Beirut: Dar al-Fikr, 1962

Luthfi Jum’ah, Muhammad,  Tarikh Falasifah Al-Islam, Mesir, t.tp,1927

Mustofa, A.  Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004

Nasution, Harun,  Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1973

Ridah, Abu, Rasa’il al-Kindi Al-Falsafiyah, Kairo: t.t, 1950

Salam, Abdus, Sains dan Dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni, Bandung: Salman ITP, 1983

Syahrastaniy, Al, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.t

Syarif, M.M. dkk (edt), History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963

Zar, Sirajuddin,  Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004





________________________________________
[1] Fu’ad Al-Ahwaniy, al-Falsafat al-Islamiyyat, (Kairo: Dar al-Qalam, 1962), hlm. 63
[2] Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, Cet.I, (Jakarta: KHALIFA, 2005), hlm.160
[3] Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hlm. 15.
[4] Fu’ad Al-Ahwaniy, al-Falsafat al-Islamiyyat … , hlm. 63
[5] Al-Kindi di usir dari istana karena masyarakat menganggap ia telah syirik kepada agama, sebagai seorang filosof ia pelopor yang mempertemukan agama dengan filsafat Yunani. Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat adalah semulia-mulia ilmu dan yang tertinggi martabatnya, dan filsafat menjadi kewajiban setiap ahli pikir (ulul albab) untuk memiliki filsafat. Atas pernyataan ini, al-Kindi banyak menghadapi tantangan dari ahli agama di kala itu. Ia dituduh meremehkan dan membodoh-bodohi ulama yang tidak mengetahui filsafat Yunani. Atas dasar inilah ia diusir dari Istana Abbasiyah. Lihat, Muhammad Luthfi Jum’ah, Tarikh Falasifah Al-Islam, (Mesir, t.tp,1927), hlm.1
[6] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 38
[7] M.M. Syarif, dkk (edt), History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), hlm. 423
[8] Umar Farukh, Tarikh Al-Fikr Al-Arabi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1962), hlm. 225
[9] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm.104
[10] Abdus Salam, Sains dan Dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni, (Bandung: Salman ITP, 1983), hlm. 11
[11] M. M. Syarif, (edt), History of Muslim Philosophy …, hlm. 425
[12] Abu Ridah, Rasa’il al-Kindi Al-Falsafiyah, (Kairo: t.t, 1950), hlm. 211
[13] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 15
[14] Ibid. hlm.16
[15] Al-Syahrastaniy, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 49
[16] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ..., hlm.15.
[17] M. M. Syarif, dkk, History of Muslim Philosophy…, hlm. 24
[18] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ..., hlm.15. Sebenarnya filsafat Plotinus merupakan filsafat yang murni dan orisinil dalam beberapa pemikirannya, walaupun ia sendiri mengaku bahwa dirinya hanya memaparkan filsafat Plato yang asli. Filsafatnya adalah rujukan yang sangat berharga, bukan saja dalam membaca karya Plato, tapi juga karya Aristoteles, karena menampilkan kajian dan kritik yang sangat teliti.   
[19] George N. Atiyeh, Al Kindi Tokoh Filsafat Muslim, Terj. Kasidjo Djojo suwarno, (Bandung: Salman, 1983), hlm. 50-51
[20] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ..., hlm. 17-18.
[21] M.M. Syarif, dkk, History of Muslim Philosophy …, hlm. 26-27.
[22] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ..., hlm. 19-20.




2 comments:

  1. assalamu 'alaiukum.. sory gan langsung ane kutip "Walaupun al-Kindi sepaham dengan Muktazilah dalam menafikan sifat dari Zat Allah. Akan tetapi,..." mohon di koreksi lagi postingnya gan.. kata "menafikan" menurut ane tu "menafsirkan" so kalo "menafikan" berarti al kindi mentiadakan sifat2 allah gan.. terimakasih.

    ReplyDelete